View Full Version
Sabtu, 13 Mar 2010

My Name is Khan: Ketika Amerika Jadi Jelek

Oleh: Amran Nasution

Sesungguhnya My Name Is Khan yang beredar sejak tengah Februari di gedung-gedung bioskop Jakarta, adalah sebuah film India biasa yang berkisah tentang percintaan antar-manusia. Tapi tempat kejadian atau setting yang diambil, San Francisco, Amerika Serikat, setelah dua menara kembar WTC, New York, rubuh ditubruk pesawat bajakan teroris, 11 September 2001, membuat film ini berbeda.

My Name Is Khan menjadi media untuk memberitahukan dunia apa yang sesungguhnya terjadi di Amerika Serikat pada waktu itu. Lebih penting lagi: inilah film yang mengungkapkan penderitaan kaum Muslim Amerika Serikat setelah serangan teror World Trade Center (WTC), sesuatu yang selama ini tak banyak diketahui publik dunia.


Mereka menjadi korban fitnah, dituduh teroris oleh polisi atau FBI. Tak terhitung jumlah yang ditangkap, untuk belakangan dilepaskan karena tak ada bukti. Itu masih belum apa-apa. Tak terhitung jumlah Muslim jadi korban pengeroyokan atau penganiayaan dari orang-orang Amerika yang marah di jalan-jalan. Para wanita dibuka paksa jilbabnya. Tak terhitung rumah atau properti milik Muslim dijarah atau dirusak. Semua tindakan itu rasis. Betapa tidak?.


Ada segerombolan orang Arab yang konon dipimpin Usamah Bin Ladin dituduh melakukan teror dengan menubrukkan pesawat  terbang ke gedung World Trade Center. Akibatnya, dua menara kembar itu rubuh, dan sekitar 3000 orang di dalamnya tewas. Sungguh peristiwa yang mengerikan.

Tapi mengapa kemudian yang menjadi korban pembalasan adalah  ummat Islam di Amerika Serikat --  berjumlah sekitar 7 juta di antara 300 juta penduduk Amerika Serikat -- yang tak tahu menahu peristiwa teror itu? Jelas ini adalah akibat sikap rasisme yang bersemayam di lubuk hati banyak orang Amerika Serikat. Sikap rasis inilah dulu yang mengakibatkan musnahnya orang Indian dari Benua Amerika, atau menyebabkan terjadinya perbudakan selama ratusan tahun terhadap orang hitam dari Afrika.

Peristiwa rasisme kepada Muslim setelah 11 September memang sungguh memalukan. Soalnya, Amerika Serikat selama ini selalu ditonjolkan sebagai negara kampiun demokrasi, pendukung persamaan hak, dan pelindung hak azasi manusia. Tapi melalui My Name Is Khan dipertontonkan betapa jelek Amerika Serikat setelah 11 September 2001. Polisinya jelek, wartawannya jelek, tetangganya jelek, bahkan remajanya pun jelek. Semua tak bersahabat. Semua penuh kebencian dan rasis.
 
TANPA TARI DAN NYANYI
Seperti disebutkan di atas, My Name Is Khan adalah film percintaan yang romantik. Sebagaimana kebanyakan film Bollywood, ia kemudian menjadi melankolis, penuh adegan menguras air mata, untuk kemudian semua berakhir happy ending.

Rizwan Khan (diperankan aktor paling top dunia saat ini dari Bollywood, Shah Rukh Khan) seorang pemuda Muslim asal Mumbai, India, pergi merantau ke San Francisco, atas sponsor adik kandungnya, Zakir, yang sudah lebih dulu menetap di sana, dan sukses.

Rizwan penderita Asperger’s syndrome, semacam penyakit Autis yang lebih ringan. Hal itu membuatnya tampak beda dengan manusia lain. Ia sangat cerdas, mampu memperbaiki nyaris semua jenis mesin, tapi kesulitan berinter-aksi dengan orang baru. Ia amat takut warna kuning.

Atas bantuan Zakir, Rizwan bekerja sebagai pramuniaga produk kecantikan yang terbuat dari herbal. Semua tampak berjalan lancar. Rizwan, Zakir dan istrinya, Haseena, seorang psikolog yang memakai jilbab, tampak hidup rukun. Mereka taat beribadah.

Dalam pekerjaan, Rizwan berkenalan dengan seorang perawat kecantikan, Mandira (diperankan artis nomor 1 India, Kajol Devgan). Mandira, menjalani hidup sebagai janda dengan satu anak, Sameer alias Sam, setelah ditinggal pergi suaminya.

Singkat cerita, Rizwan dan Mandira terpaut asmara lalu menikah dan menetap di luar San Francisco, di tempat mana mereka mengusahakan salon kecantikan kecil. Mandira mau pun Sameer menambahkan Khan di belakang nama mereka. Keluarga ini akrab dengan tetangganya, Mark, seorang wartawan dengan istri (Sarah) dan seorang anak (Reese).
Semua tampak berbunga-bunga. Tapi berbeda dengan film India biasa, di sini tak ada adegan tarian dan nyanyian untuk resep penyedap. Gantinya, sejumlah lagu dimunculkan sebagai ilustrasi untuk adegan tertentu. Dengan demikian film itu tetap terasa India.

Tapi kemudian datanglah peristiwa 11 September celaka itu.  Mark, tetangga mereka yang wartawan, ditugaskan meliput perang di Afghanistan, dan terbunuh di sana. Sejak itu, sang anak, Reese, teman akrab Sameer, berubah menjadi musuh. Karena nama Khan di belakang namanya, Sameer dianggap Reese sebagai orang Afghanistan. Orang-orang lain pun memusuhi mereka.

Nasib Haseena lebih parah. Dia dikeroyok sejumlah lelaki di jalan hanya karena memakai jilbab. Penduduk Muslim lainnya mengalami nasib sama: toko dirusak, rumah ditimpuk, atau orangnya dikeroyok. Malah tak sedikit orang India penganut Sikh – memakai serban di kepala – turut jadi korban karena disangka orang Afghanistan yang Muslim. Jadi sekali lagi, semua ini menggambarkan betapa sikap rasis masih berkembang subur di dalam masyarakat Amerika Serikat.

Nasib paling parah diterima Sameer. Diawali pertengkaran dengan Reese, Sameer dikeroyok sejumlah remaja bule hanya karena kulitnya hitam. Sebenarnya Reese mencoba menyelamatkan Sameer, tapi tak berhasil. Sameer yang sekarat sempat dibawa ke rumah sakit namun nyawanya tak tertolong.

Rizwan sedih sekali karena ia sangat akrab dengan putra tirinya itu. Tapi yang terguncang adalah sang ibu, Mandira. Ia anggap ‘’bencana’’ yang menimpa mereka karena nama Khan di belakang namanya dan Sameer.  Maka Rizwan sebagai biang bencana ia usir. Ia perintahkan Rizwan mengatakan kepada orang Amerika, termasuk Presiden Amerika Serikat:  bahwa namanya Khan, tapi ia bukan teroris (My name is Khan, and I am not a terrorist).


Rizwan pun dengan ikhlas melakukan pekerjaan itu. Ia mengembara seorang diri. Dalam pengembaraan, ia sempat menghadiri sebuah acara terbuka yang dihadiri Presiden George W.Bush. Ia mendekati Presiden sembari terus berteriak: My name is Khan, I am not a terrorist. Belum sempat teriakan itu didengar Bush, para pengawal meringkusnya karena dicurigai sebagai teroris.

Apa yang ia alami, sungguh menyakitkan: ia dimasukkan ke ruangan dengan suhu yang panas, lalu dipindah ke ruangan yang amat dingin. Berbagai siksaan lainya harus ia terima. Toh akhirnya ia harus dibebaskan karena tak terbukti sebagai teroris. Itu juga berkat bantuan tiga wartawan asal India.

Nama Rizwan kemudian melambung menjadi pahlawan di televisi, karena menolong penduduk sebuah desa di Georgia yang diterjang banjir. Kebetulan penduduk desa itu orang hitam dan sama sekali tak dapat bantuan dari mana pun. Setelah berita ramai di televisi, bantuan datang dari orang-orang Muslim yang dikoordinasikan Haseena dan suaminya, Zakir.

Adegan ini tampaknya diilhami tragedi banjir bandang di New Orleans akibat terpaan badai Katrina pada 2005. Mayoritas korban banjir ini orang hitam dan berhari-hari tak dapat bantuan dari pemerintah. Peristiwa ini menyebabkan Presiden Bush diterpa kecaman keras terutama dari masyarakat kulit berwarna Amerika Serikat.
 
DI GUJARAT, 2000-AN MUSLIM DIBUNUH
Maka sekarang happy ending itu tiba. Mandira terhibur setelah polisi menangkap para remaja yang membunuh anaknya, berkat kesaksian Reese yang merasa bersalah atas tragedi itu. Mandira pun mencari Rizwan ke Georgia. Mereka berdua kemudian menghadiri sebuah acara pertemuan Presiden Barack Obama yang baru terpilih menggantikan George Bush, dengan para pendukungnya.
Mereka berhasil bertemu dengan presiden baru itu. ‘’Namamu Khan dan kau bukan teroris (Your name is Khan and you are not a terrorist),’’ ujar Presiden Obama kepada Rizwan di hadapan ribuan pendukungnya.

My Name Is Khan dirilis pertama kali di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, 10 Februari lalu. Dua hari kemudian, barulah film ini beredar di Eropa, Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan bagian dunia lainnya. Di berbagai tempat film ini dikabarkan memecahkan rekor penonton film India, seperti di Inggris, Australia, dan Amerika Serikat. Tampaknya My Name Is Khan hanya tambah memperkuat dominasi Bollywood atas perfilman dunia sekarang ini, setelah melangkahi Hollywood.

The New York Times, 13 Februari lalu, dalam resensinya menyebutkan adalah menarik melihat Amerika melalui lensa Bollywood, sekali pun yang diceritakan cuma dongeng. Misalnya, yang paling mengesankan tentang hubungan antara orang Muslim (India) dengan orang hitam Amerika Serikat di dalam film. ‘’Khan dengan mudah memancing air mata, sembari mengajarkan tentang Islam dan toleransi,’’ tulis koran Amerika Serikat itu.

Toleransi? Kata-kata itu tampaknya semakin sulit dipraktikkan sekarang. Di India sendiri, film itu beredar di tengah ancaman kekerasan tanpa toleransi dari para pendukung Shiv Sena, partai Hindu radikal dan sangat anti-Islam.

Sejumlah gedung bioskop tak berani memutar My Name Is Khan. Ketika film ini dirilis di Mumbai, kota utama dan pusat perfilman India, 12 Februari lalu, ribuan polisi terpaksa dikerahkan mengawal gedung bioskop dari aksi Shiv Sena. Kelompok itu sempat menurunkan pamplet dan poster film dari  berbagai gedung bioskop. Guna mengamankan pemutaran film sekitar dua ribu pendukung partai radikal itu terpaksa diamankan polisi.

Sebenarnya aksi Shiv Sena, menurut banyak pengamat, berfokus pada pemeran utama film itu, Shah Rukh Khan, yang kebetulan beragama Islam. Khan yang oleh Majalah Newsweek dicantumkan sebagai salah satu dari 20 tokoh paling berpengaruh dunia, sedang berada di luar negeri mempromosikan filmnya, ketika Shiv Sena beraksi di Mumbai.

Melalui twitter Khan menulis bahwa ia tak ingin filmnya mengganggu suasana kota kelahirannya itu. ‘’Saya harap perdamaian menang dan Kota dalam keadaan tenang,’’ tulisnya. Untuk diketahui penduduk Muslim yang berjumlah 140-an juta di antara 1 milyar penduduk India, beberapa kali menjadi korban kekerasan dari kelompok mayoritas Hindu.


Di Mumbai, misalnya, di tahun 1993 meletus kerusuhan anti-Islam yang antara lain dikobarkan Partai Shiv Sena. Pada tahun 2002, meletus kerusuhan anti-Islam di Gujarat selama beberapa bulan, menyebabkan 2000-an Muslim terbunuh.

Seperti ditulis Profesor Martha Nussbaum, pakar hukum dan etik dari University of Chicago di dalam bukunya The Clash Within (Harvard University Press, 2008), pembunuhan kaum Muslim di Gujarat oleh kelompok radikal Hindu amat kejam. Yang dibantai bukan hanya wanita dan anak-anak. Wanita hamil dikeluarkan oroknya, lantas dilemparkan ke tengah kobaran api. Pemerkosaan wanita Muslim banyak terjadi.


Yang lebih parah, kerusuhan ini melibatkan institusi polisi, intelijen, atau birokrat Hindu, bahkan Ketua Menteri Negara Bagian Gujarat, Narendra Modi. Setelah kerusuhan banyak properti milik Muslim yang ditinggal lari, diambil alih orang-orang Hindu. Itulah yang terjadi di India, yang sering dibanggakan sebagai negeri demokratis itu.

source : www.suara-islam.com


latestnews

View Full Version