View Full Version
Ahad, 13 Jun 2010

Jeritan Hati Muslimah Perantauan, Curhat untuk Muslimah Indonesia

Duhai ukhti di tanah air yang kucintai karena Allah,

Perkenankan aku membagi ungkapan hati ini kepadamu, ukhti di tanah air. Mungkin tidak ada yang menarik dari rintihan jiwa kami di negeri seberang ini. Namun aku berharap engkau sudi membacanya sebentar, dan kumohon maaf jika surat ini kurang memberimu manfaat maupun keuntungan materi.

Ukhti yang dirahmati Allah, tahukah engkau nasib kami di negara di mana muslim menjadi minoritas? Tahukah ukhti beban yang menohok kami kaum muslimah di negeri rantau?

Ukhti, kami merindukan kerudung lebar, mengingat derasnya fitnah yang menerpa zaman, juga karena takutnya akan azab pedih di neraka kelak. Tetapi, berada di negara orang sebagai pekerja kasar, tidak memungkinkan kami menutupi aurat dengan kerudung panjang. Sungguh, hati menjerit dengan kondisi ini, namun apalah daya, kami tidak punya pilihan. Dan kami tidak menyerah dengan keadaan ini, tetap berkerudung panjang meski harus menjadi bulan-bulanan tuan rumah. Semua keadaan itu membuat kami kian gencar memperjuangkan hak sebagai muslimah, karena kami malu jika aurat ini menjadi tontonan gratis lelaki bukan mahram.

Ukhti yang dimuliakan Allah, tahukan engkau, kami harus menempuh jarak beberapa kilometer dengan kendaraan umum jika ingin mendengar alunan azan di masjid. Itupun hanya dapat kami lakukan di hari libur, karena pekerjaan kami tidak bisa ditinggal. Kondisi keseharian kami tidak memungkinkan untuk pergi ke masjid yang jumlahnya hanya ada tiga saja di negeri ini. Namun semua ini tidak menghalangi langkah kami untuk tetap pergi ke masjid, mendengar alunan merdu, untaian sejuk perkasanya kalimat azan. Karena jiwa kami kering kerontang merindu kalimat azan yang suci. Hati kami yang gersang mendambakan kalimat yang dapat menenggelamkan kami dalam renungan panjang akan keagungan Ilahi.

Ukhti di tanah air, tahukah engkau bagaimana kami dan rekan-rekan di sini menjalankan shalat? Sebagian dari kami melakukan shalat di pinggir jalan, di teras taman, di dekat tempat pembuangan sampah, juga di tempat ala kadarnya. Karena aturan ketat yang melarang shalat membuat kami harus cerdik menyiasati kondisi, di manapun tempat, asal bersih akan kami jadikan tempat untuk meresapi keagungan Allah melalui shalat, tak peduli derasnya cacian ataupun makian yang menganggap kami gila. Walhamdulillah… kami tidak mengeluh keadaan ini, bersyukur masih diberi kesempatan menikmati khusyu’nya shalat di tengah ujian yang berat, kami membutuhkan shalat, kami membutuhkan Allah dalam setiap helai nafas.

Ukhti yang baik hati, tahukah engkau apa yang dilakukan orang-orang terhadap kami para pekerja wanita? Kami sering mendapat perlakuan diskriminasi, baik dari sesama warga Indonesia maupun negara tujuan. Kami mendapat banyak cibiran akan status kami, direndahkan secara terang-terangan, hanya karena bergelar TKW. Yang membuat kami heran, apa bedanya pekerja kantor maupun kuli kasar, toh juga sama-sama pekerja, nyatanya status kami ini membuat orang gerah, dengan embel-embel negatif tentang TKW.

Terkadang kami disalahkan karena bershafar tanpa mahram. Tidak salah cercaan itu, namun kami butuh solusi nyata, bukan hujatan keji yang menghinakan.

Bagaimana mungkin kami para wanita diam saja di rumah, sedangkan anak-anak kami, adik-adik kami, saudara kami, semuanya membutuhkan perjuangan kami?  Keringat kami di negeri asing ini sangat mereka butuhkan demi sesuap nasi dan demi biaya pendidikan untuk masa depan. Sementara negara tidak mampu membantu keadaan kami.

Yaa ukhti, kami diperlakukan tidak ramah oleh orang-orang Indonesia yang katanya ditugaskan mengurus masalah rakyat Indonesia di negara kami bekerja, walaupun sesungguhnya devisa atas kerja keras kami tidak kecil sumbangsihnya buat negara, dan asuransi yang menjadi hak kami tidak jelas ditelan siapa.

Saudara-saudara kami dimurtadkan karena ekonomi, bagaimana mungkin kami berdiam diri menunggu nasib tanpa ikhtiar?

Kami berusaha tegar akan semua ini, karena perjuangan kami hanya untuk Allah, biarkan Allah yang menilai niat kami.

Tapi ukhti, bukan perlakuan tak manusiawi tiu yang membuat hati kami merintih dan menangis. Aku dengar, kalian di negara sendiri malah berani menanggalkan hijab, membuka aurat untuk jadi konsumsi umum, membiarkan tubuh seksimu dilihat secara sukarela oleh lelaki di jalanan, bahkan shalatmu telah dialihkan oleh sinetron-sinetron murahan, pacaran sebelum nikah menjadi kebiasaan. Ukhti, kami menangis dengan berita itu.

Ya Allah, betapa tragis kenyataan ini. Di saat kami harus berjuang dengan air mata dan beban berat di negara orang, saudara-saudara kami di tanah air justru mengotori kesucian Islam dengan kesenangan dunia yang penuh tipu daya. Mereka menghancurkan Islam dengan memberi teladan buruk pada generasi mendatang.

Ukhti, jangan kau biarkan dirimu tertipu oleh kaum yang menginginkan agama yang agung ini binasa. Engkau telah lemah ukhti, lemah dalam menyaring apa yang diberitakan media. Engkau telah tersesat oleh opini yang hendak membuatmu kehilangan harga diri.

Yaa ukhti, kuharap engkau sudi mencerna akan surat ini, marilah kita siapkan diri kita menjadi mujahidah seperti Khodijah, Asyia, Khaula binti Azwar, Fatimah, Maryam, dan wanita-wanita pilihan yang telah memberi sumbangsih besar akan kemenangan islam.

Kuakhiri surat ini ukhti, dengan kerendahan hati, aku minta maaf andai ada kata yang membuatmu tidak berkenan.

North Point – Hong Kong, Medio Juni 2010

[Yuli Anna Pendamba Surga]


latestnews

View Full Version