View Full Version
Jum'at, 20 Aug 2010

Meluruskan Salah Kaprah Kata ''Ramadhan'' dan ''Ramadan''

Oleh: Akhmad Sekhu

Bulan suci Ramadhan disambut dengan penuh suka cita oleh umat Islam. Berbagai kesibukan untuk menyiapkan hidangan makanan sahur dan berbuka puasa turut serta mewarnainya. Tak ketinggalan mereka saling mengirimkan ucapan untuk menyambut Ramadhan, baik dengan hp lewat sms, maupun dengan memanfaatkan berbagai jejaring sosial, seperti facebook, twitter, plurk, dll.

Ada yang perlu diwaspadai dalam penulisan kata “Ramadhan,” yaitu jangan sampai kita menghilangkan huruf “h” sehingga kemudian menjadi “Ramadan” karena dengan begitu pengertiannya akan berubah total.

“Ramadhan” berarti panas yang menyengat atau kekeringan, khususnya pada tanah. Di Jazirah Arab memang menggunakan luni-solar calendar (penghitungan tahun berdasarkan bulan dan matahari sekaligus) dan bulan ke sembilan selalu jatuh pada musim panas yang sangat menyengat. Musim panas yang waktu siangnya lebih panjang daripada waktu malamnya. Hal itu terjadi berhari-hari, sehingga setelah beberapa pekan bisa terjadi akumulasi panas yang menghanguskan. Hari-hari itu disebut bulan Ramadhan, bulan dengan panas yang menghanguskan.

Setelah umat Islam mengembangkan kalender berbasis bulan (qomariyah), yang rata-rata sebelas hari lebih pendek dari kalender berbasis matahari, bulan Ramadhan tak lagi selalu bertepatan dengan musim panas. Orang lebih memahami ‘panas’nya Ramadhan secara metafora (kiasan). Karena di hari-hari Ramadhan orang berpuasa, tenggorokan terasa panas karena kehausan. Dari akar kata tersebut kata “Ramadhan” digunakan untuk mengindikasikan adanya sensasi panas saat seseorang kehausan.

Pendapat lain mengatakan bahwa kata “Ramadhan” digunakan karena pada bulan itu dosa-dosa dihapuskan oleh perbuatan baik sebagaimana matahari membakar tanah.

…Kata “Ramadan” (tanpa huruf h) dalam bahasa Arab berarti orang yang sakit mata mau buta, sehingga tak dapat disamakan dengan “Ramadhan”…

Namun kata “Ramadan” (tanpa huruf h) dalam bahasa Arab artinya orang yang sakit mata mau buta, sehingga tidak dapat disamakan artinya dengan “Ramadhan.”

Kecerobohan Kamus Besar Bahasa Indonesia

Sangat disayangkan penulisan ejaan “Ramadhan” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dengan kata “Ramadan”. Entah mengapa para ahli bahasa yang menyusun KBBI sangat ceroboh menuliskannya begitu. Apakah mereka tidak sengaja atau apa? KBBI tentu menjadi rujukan masyarakat Indonesia dalam menggunakan bahasa Indonesia dengan benar dan baik (bukan baik dulu, baru kemudian benar). Jadi para ahli bahasa yang menyusun KBBI harus hati-hati dalam menyusun kata-kata dalam kamus pedoman itu. Apalagi kata “Ramadhan” adalah salah satu kata yang paling banyak digunakan oleh masyarakat. Terlebih lagi, penduduk Indonesia paling besar adalah memang beragam Islam. 

Bahasa Indonesia dalam perkembangannya mengakomodasi kata-kata dari banyak bahasa: Arab, Belanda, Inggris, Latin, Prancis, Sanskerta, Spanyol, Tionghoa, Yunani dan lain-lain. Dalam bidang agama, ratusan kata berasal dari Bahasa Arab, termasuk salah satunya kata “Ramadhan” yang sedang kita bicarakan. Kata-kata dalam Bahasa Indonesia yang ada hubungannya dengan bahasa negara lain, sangat dimungkinkan muncul gagasan, konsep, atau barang baru yang datang dari luar budaya negara itu. Tapi karena kata “Ramadhan” memang sangat berbeda artinya dengan kata “Ramadan” tentu harus tetap digunakan kata “Ramadhan”.

…Jangan dibiarkan kesalahan penggunaan kata “Ramadhan” dengan “Ramadan,” karena melahirkan salah kaprah…

Jangan dibiarkan kesalahan penggunaan kata “Ramadhan” dengan “Ramadan”. Karena kita tahu sendiri dalam menggunakan bahasa di tengah masyarakat kita sering terjadi salah kaprah, artinya menggunakan bahasa pada awalnya salah dan karena yang salah dibiarkan tetap salah maka masyarakat kemudian menganggapnya itu sebagai bahasa yang umum digunakan sehingga masyarakat akhirnya tidak merasa salah kalau menggunakannya. Padahal penggunaan bahasa itu keliru. Oleh karena itu juga yang salah akan tetap salah dan janganlah dilakukan yang nantinya akan berakibat menjadi lebih fatal lagi sehingga akhirnya kekeliruan itu walaupun salah sekalipun tapi karena umum dilakukan sehingga akan menjadi kebiasaan.

*) Penulis adalah pengamat bahasa alumnus Universitas Widya Mataram Yogyakarta, kini tinggal di Jakarta dan Tegal.


latestnews

View Full Version