View Full Version
Jum'at, 01 Oct 2010

Festival Film Homoseks di Jakarta, Lagi-lagi Atas Nama HAM

Demokrasi, entahlah sistem yang baik atau buruk yang menjadi landasannya. Hak asasi manusia (HAM) memanglah dijunjung tinggi bahkan merupakan salah satu hal yang substansial dalam sistem itu, namun atas nama hak asasi itu pula banyak sekali terjadi penyimpangan yang mengatas namakan hak asasi manusia.

Seperti halnya kejadian yang berlangsung belakangan ini, Q! Film Festival yang menayangkan film tentang lgbt (lesbian, gay, biseks dan transgender) yang kita ketahui sendiri jika semua hal itu adalah penyakit penyimpangan seksual yang justru anehnya didukung oleh banyak kalangan yang lagi-lagi mengatas namakan hak dan juga menghargai perbedaan.

Beberapa orang yang mendukung Q! Film Festival itu menanggapai bahwa hal seperti itu (penyimpangan perilaku sexual) bukanlah urusan orang lain, agama atau negara. Apa karena demokrasi itukah jadi banyak masyarakat yang “tidak mau diatur” oleh negara, agama dan norma sosial yang jelas-jelas menjabarkan bahwa hendaklah laki-laki kodratnya bersama wanita dan sebaliknya?

Belum lagi Indonesia dikenal dengan adat ketimuran dan keagamaan yang kental –islam pada khususnya- pastilah menentang dengan lantang hal-hal seperti itu. Jika hal ini dibiarkan terus menerus, jelaslah demokrasi ini sudah kebablasan dan membawa mudharat bagi Indonesia, dan lebih lagi, Indonesia yang tertatan oleh adat timur dan agama ini mengarah kepada liberal dan bebas laiknya amerika dan belanda yang melegalkan penyakit masyarakat itu atas nama menghargai perbedaan.

Sarana Edukasi?
Sah-sah saja jika Q! Film Festival berargumen lewat twitternya menyatakan jika acara mereka yang diadakan di beberapa pusat kebudayaan perancis (CCF), Jerman (Goethe) dan Belanda (Erasmus) adalah sarana edukasi bagi masyarakat untuk menghargai perbedaan.

Dengan sistem yang bebas dan “mengharagai” hak asasi ini mereka jadi bisa melegalkan perilaku menyimpangnya? Bagaimana jika sekelompok perampok, pembunuh, pemerkosa, begal dll bersatu membuat satu partai, menyusun satu acara pemutaran film sebagai sarana edukasi agar masyarakat bisa menghargai perbedaan pekerjaan yang menyimpang itu?

Oleh karena jika hak asasi “tidak mau di atur” pastilah akan berbenturan dengan norma-norma yang ada, hendaknya bisa melihat keadaan sekitar, norma yang berlaku dan mencoba untuk menjaga hak yang satu tidak bersinggungan dengan norma yang sudah ada.

Kita haruslah menyadari bahwasanya ini Indonesia, negara di tenggara Asia yang menganut adat timur dan kental akan tradisi agamanya, bukan eropa ataupun amerika dan tentu treatment yang sama untuk menghargai perbedaan tidak akan sama seperti halnya Belanda yang melegalkan homoseksual. Demokrasi dan menghargai hak asasi memang baik, tapi jika kebablasan, rusaklah moral bangsa ini.

(Muhammad Q Rusydan, mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta)


latestnews

View Full Version