View Full Version
Selasa, 02 Nov 2010

Surat Terbuka untuk Sultan Yogyakarta dan Pejabat Pusat dan Daerah

Assalamu’alaikum warahmatullahi wa barakatuh.

Saya ikut prihatin atas musibah meletusnya Gunung Merapi yang mengeluarkan awan panasnya mengakibatkan tewasnya 37 orang, 300an sapi, dan  korban luka bakar 3 orang. Penduduk yang menyingkir ke pengungsian di Sleman mencapai 18.929 orang. Di Magelang ada 25.354 orang pengungsi, di Klaten 3.500 orang, dan di Boyolali 3.970 orang, menurut  detikNews, Ahad, 31/10/2010 11:22 WIB.

Sepulang dari pengungsian nanti, tempat tinggal, kendaraan, hewan piaraan, pohonan dan tanaman yang mereka miliki pun telah musnah.

Meletusnya Gunung Merapi Selasa sore 26 Oktober 2010 / 18 Dzulqa’idah 1431H saat jamaah haji dari Indonesia tengah diberangkatkan ke Makkah ini beriringan pula dengan musibah tsunami di Mentawai Sumatera Barat. Bahkan korbannya lebih banyak lagi:

Data dari BPBD Sumbar pukul 10.00 WIB, korban tsunami Mentawai yang meninggal 449 orang. Sementara jumlah korban hilang di Mentawai ada 96 orang, luka berat 270 orang, dan luka ringan 142 orang. Adapun jumlah orang yang mengungsi mencapai 14.983 jiwa. . (detikNews. Ahad, 31/10/2010 11:22 WIB).

Perlu diingat, menurut satu sumber, pada 1930-1931, Merapi meletus dengan tipe Plinian, menghasilkan aliran lava, piroklastika, dan lahar hujan, juga awan panas. Korbannya mencapai 1.369 orang. Hujan abu sangat meluas saat itu, hingga orang tua-tua yang jauh dari Merapi (tempat saya 70-an kilometer ke arah timur) kalau mengingat peristiwa masa lalu maka ukurannya zaman “udan awu” (hujan abu).

Pada tahun 1994 tepatnya 22 November 1994, penduduk Turgo tertimpa musibah letusan Gunung Merapi  yang mengeluarkan awan panas menewaskan 69 orang, serta sembilan orang lainnya cacat seumur  hidup karena luka bakar.

Saat itu, saya Alhamdulillah berkesempatan mengikuti Menteri Agama Tarmizi Taher untuk mengunjungi para pengungsi puluhan kepala keluarga (KK) dari Turgo dan 68 KK (234  orang) dari Kaliurang Barat dan Timur di tempat pengungsian,di Pakembinangun dan Kaliurang. Kemudian membezuk sejumlah korban yang luka bakar di Rumah Sakit Dr Sardjito Yogyakarta.

Astaghfirullah… begitu memelasnya, mereka terbakar, melepuh sekujur tubuhnya, berwarna coklat, dan muka mereka sangat mengerikan dipandangnya. Maaf, baunya sangat anyir.

Ketika dokter saya tanya, dia menjawab bahwa korban ini yang masih tersisa, yang lainnya sudah meninggal.

Bagaimana, apakah mereka masih bisa sembuh?

Sebagian mungkin bisa. Tetapi yang sudah parah terbakarnya, seandainya masih hidup, maka akan menderita seumur hidup.

Lho, kenapa?

Karena ketika sembuh, kemungkinan kulitnya tidak berfori-fori, jadi sangat menderita, karena uap panas dari dalam badan tidak dapat keluar. Itu akan sangat tersiksa seumur hidup.

Subhanallah! Berarti ketika normal, sebenarnya fori-fori pemberian Allah Ta’ala ini sangat besar manfaatnya…

Ternyata belakangan saya baca di sebuah situs, ada 9 korban luka bakar pada musibah awan panas tahun 1994 itu yang kemudian sembuh, hanya saja cacat seumur hidup.

Dalam musibah meletusnya Gunung Merapi Oktober 2010 kini ada yang menjadikan perasaan trenyuh (trenyuh Jawa, terharu bercampur sedih). Ketika merapi meletus, dan tsunami menerjang Mentawai, tahu-tahu para pengungsi Palestina di Gaza dan Suriah akibat keganasan penjajah Israel, justru mereka menyumbang untuk korban tsunami dan Merapi.

Biarpun hidup di bawah penjajahan dan teror Israel, para pengungsi Palestina di Suriah dan Gaza masih sempat mengirimkan bantuan dana untuk saudara-saudaranya korban Tsunami di Mentawai dan korban letusan Gunung Merapi di Yogyakarta.  

Ziad asal Gaza yang juga Direktur Al-Sarraa Foundation mengatakan, “Sumbangan itu hasil keputusan musyawarah antara ulama dan rakyat Palestina, baik yang ada di Jalur Gaza maupun di Suriah. Bantuan untuk korban Tsunami di Mentawai sebesar 2 ribu dolar disampaikan lewat Ustadz Ferry Nur, Ketua KISPA (Komite Indonesia untuk Solidaritas Palestina), sedangkan bantuan untuk korban letusan Gunung Merapi juga sebesar 2 ribu dolar disampaikan lewat Amirrul Iman, Direktur Operasional Sahabat Al-Aqsha.” (lihat Sahabatalaqsha.com).

Kenapa para ulama dan masyarakat pengungsi Palestina rela menyumbang? Padahal mereka sendiri dalam penderitaan? Itu tak lain karena merasakan sependeritaan sebagai sesama  Muslim. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menuntun umatnya, dalam hadits diriwayatkan:

Dari 'Amir dia berkata; saya mendengar An Nu'man bin Basyir berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Kamu akan melihat orang-orang mukmin dalam hal saling mengasihi, mencintai, dan menyayangi bagaikan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh tubuhnya akan ikut terjaga dan panas (turut merasakan sakitnya)." (HR. Al-Bukhari, Ahmad, At-Thabrani, dan Al-Baihaqi).

Bagimana tidak trenyuh, ketika orang-orang yang mengungsi akibat ditindas penjajah kejam Israel, mereka terketuk hatinya untuk menyumbang kepada korban tsunami dan letusan Merapi. Itu panggilan iman, untuk membantu sesama Muslim.

Dalam kaitan ini, kepercayaan masyarakat Muslim dunia, jangan sampai kita sia-siakan. Perhatian mereka merupakan benarnya firman Allah Ta’ala dan sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antaranya digambarkan bagaikan satu tubuh. Itu karena diikat oleh aqidah, keyakinan dalam hati. Dan itu, terketuknya hati, itu adalah karena digerakkan oleh Allah Ta’ala.

Hubungan mesra itupun insya Allah akan dirasakan sampai di akherat kelak, dengan syarat mengikuti apa yang telah diatur oleh Allah Ta’ala. Dalam hal keyakinan, hendaknya mengimani Allah Ta’ala, menyembah hanya kepada Allah, dan mesti mengingkari thaghut.

Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembah- nya* dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira; sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba- hamba-Ku, (QS Az-Zumar/ 39: 17).

*Thaghut ialah syaitan dan apa saja yang disembah selain Allah s.w.t

Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu", maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya**. Maka berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul). (QS An-nahl/ 16: 36).

**Maksudnya: masing-masing orang memikul dosanya sendiri-sendiri.

Bagimanapun, yang mampu menyelamatkan manusia, ataupun yang memberi musibah dan menghilangkannya, itu hanyalah Allah.

Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak kurniaNya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS Yunus/ 10: 107).

Dan jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang menghilangkannya melainkan Dia sendiri. Dan jika Dia mendatangkan kebaikan kepadamu, maka Dia Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu. Dan Dialah yang berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya. Dan Dialah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. Katakanlah: "Siapakah yang lebih kuat persaksiannya?" Katakanlah: "Allah." Dia menjadi saksi antara aku dan kamu. Dan Al Quran ini diwahyukan kepadaku supaya dengan dia aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al-Quran (kepadanya). Apakah sesungguhnya kamu mengakui bahwa ada tuhan-tuhan lain di samping Allah?" Katakanlah: "Aku tidak mengakui." Katakanlah: "Sesungguhnya Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa dan sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan (dengan Allah)."  (QS Al-An’am: 17, 18, 19).

Banyaknya musibah di suatu negeri itu pertanda penduduknya bukan orang baik-baik. Dan ukuran baik itu adalah baik menurut Allah Ta’ala, yakni yang taat kepada-Nya. Allah menegaskan:

Dan Tuhanmu sekali-kali tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zalim, sedang penduduknya orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Hud: 117).

Dengan demikian, perlu kita mengoreksi diri, banyaknya bencana dan musibah, bahkan bareng-bareng di berbagai tempat, bahkan pula beruntun di mana-mana, dapat dimaknakan bahwa penduduk negeri ini kondisinya belum mencapai sebagai orang-orang yang berbuat kebaikan yang sesuai dengan ajaran dari Allah Ta’ala.

Sementara itu terjadinya kerusakan tidak lain adalah akibat dari tangan-tangan manusia:

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (QS. Ar-Rum: 41).

Kalau kita menengok sejarah, kerusakan yang jelas-jelas dibuat oleh tangan manusia di antaranya sebagai berikut:

Penjajah Belanda yang beragama Kristen, dan mereka itu adalah minoritas di Nusantara, terbukti telah bercokol mencengkeramkan kuku-kukunya di Nusantara selama 350-an tahun dengan aneka pelanggaran dan pemerkosaan hak-hak sipil. Berapa ribu ulama yang telah dibantai dengan cara diadu domba. Contohnya, di zaman Amangkurat I, pengganti Sultan Agung di Kerajaan Mataram Islam, di Jogjakarta, Amangkurat I mengadakan perjanjian dengan Belanda, lalu para ulama tidak setuju, maka dikumpulkanlah para ulama itu di alun-alun (lapangan) sejumlah 5.000-an ulama, lalu dibantai. Sejarahnya sebagai berikut:

Amangkurat I membantai ribuan ulama

            Pembantaian terhadap umat Islam kadang bukan hanya menimpa umat secara umum, namun justru inti umat yang dibantai, yaitu para ulama. Pembantaian yang diarahkan kepada ulama itu di antaranya oleh Amangkurat I, penerus Sultan Agung, raja Mataram Islam di Jawa, tahun 1646.

            Peristiwa itu bisa kita simak sebagai berikut:

‘Penyebaran Islam menjadi benar-benar terhambat dan sekaligus merupakan sejarah paling hitam tatkala Amangkurat I mengumpulkan 5000 sampai 6000 orang ulama seluruh Jawa dan membunuhnya seluruhnya secara serentak.’[1]

            Masalah ini ditegaskan lagi oleh Sjamsudduha pada halaman lain: ‘Penyebaran Islam pernah mengalami hambatan yang bersifat politis, yaitu adanya pergolakan intern dalam kerajaan-kerajaan Islam. Hambatan yang paling hebat dalam proses penyebaran Islam terjadi ketika Amangkurat I melakukan pembunuhan besar-besaran terhadap lima sampai enam ribu ulama dan keluarganya. Penyebaran Islam di Jawa mengalami stagnasi untuk beberapa lama karena kehabisan muballigh, dan perasaan takut.’[2]

            Dibantainya lima ribu sampai enam ribu ulama itu adalah masalah yang sangat besar. Sumber yang lain menyebutkan:

            ‘Amangkurat I, juga terkenal dengan nama Amangkurat Tegal Arum atau Tegal Wangi (karena mangkat di tempat tersebut) ialah putera Sultan Agung; naik tahta Mataram (1645) sebagai pengganti ayahnya. Berlainan dengan Sultan Agung yang bijaksana, Amangkurat I pada waktu hidupnya membuat beberapa kesalahan dan sebagai tanda kelemahan ia mengadakan perjanjian perdamaian dengan Kompeni Belanda  (1646). Tindakannnya ini ditentang oleh beberapa golongan, di antaranya para alim ulama, sehingga mereka ini disuruh bunuh.’[3]

            Peristiwa besar berupa pembantaian terhadap ribuan ulama  itu tidak terjadi kecuali di belakangnya ada penjajah Belanda yang menyetir Amangkurat I.  (lihat buku Hartono Ahmad Jaiz, Mengungkap Kebatilan Kyai Liberal Cs, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2010, halaman 150-151).

 Perkara membunuh orang mu’min, jelas sangat berat. Karena Allah Ta’ala telah berfirman: “Dan barangsiapa yang membunuh seorang mu'min dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya. (QS An-Nisaa’: 93).

 

Bagaimana pertanggungan jawabnya di hadapan Allah Ta’ala, ketika yang dibunuh itu ribuan ulama?

Betapa dahsyatnya. Namun, ternyata masih ada pula yang tidak kalah dahsyatnya, ketika yang dibunuh itu bukan orangnya tetapi keimanannya, diarahkan kepada kemusyrikan dengan aneka cara dan bentuk, termasuk diantaranya memberi  persembahan kepada roh atau apapun yang dianggap menyelamatkan atau ditakuti bahayanya, yang sifatnya gaib. Allah Ta’ala menegaskan: “Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh.” (QS. Al-Baqarah: 217).

Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh.” (QS. Al-Baqarah: 191).

Imam Subki berkata, bahwa asal lafal fitnah itu adalah menimpakan bala’ dan ujian, maka tafsiran ayat Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh adalah: Dan menimpakan bala’ kepada orang mukmin mengenai agamanya sehingga ia kembali menjadi musyrik kepada Allah setelah Islamnya adalah lebih besar dosanya dan lebih berbahaya daripada membunuh (orang yang) dalam keadaan masih tegak di atas agamanya, memegangi keyakinannya, lagi membenarkannya. Sebagaimana riwayat dari Mujahid (Tabi’ien) dalam Firman Allah Ta’ala  Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh, ia berkata: “Mengembalikan orang mukmin kepada berhala (kemusyrikan) itu lebih besar dosanya daripada membunuh.”

Dan dari Qatadah,  mengenai Firman Allah Ta’ala  Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh, ia berkata: “Kemusyrikan itu lebih besar dosanya daripada membunuh.” (Fatawa As-Subki juz, 1 halaman 35).

Menugasi bahkan mengerahkan manusia untuk mempersembahkan sesaji, entah itu disebut larung laut, labuh ini itu di gunung, sedekah bumi, tumbal untuk jembatan, bangunan, sembelihan untuk disajikan bagi roh kubur, punden, dan aneka bentuk semacamnya adalah perbuatan yang diancam oleh ayat tersebut. Dan itu tidak kalah dahsyatnya dibanding yang menimpakan bala’ kepada orang mu’min sampai membunuhi ribuan ulama itu.

Dengan demikian, siapapun yang ingin dirinya selamat di akherat kelak, mesti sangat hati-hati dan menghindari jauh-jauh dari perbuatan yang sangat berbahaya bagi keimanan dan keselamatan di akherat itu.

Meneruskan upacara atau perbuatan yang telah diancam oleh Allah Ta’ala, berarti merugikan diri sendiri dengan serugi-ruginya. Sebaliknya menyudahi, menghentikan, bahkan mencegahnya dan bertaubat darinya, adalah perbuatan yang insya Allah mengakibatkan selamat di hadapan Allah Ta’ala kelak.

Orang yang bijaksana adalah orang yang mampu mengoreksi dirinya.

Dari Syaddad bin Aus dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam beliau bersabda: "Orang yang cerdas adalah orang yang memperhitungkan dirinya dan beramal untuk hari setelah kematian, sedangkan orang yang bodoh adalah orang yang jiwanya mengikuti hawa nafsunya dan berangan-angan kepada Allah." (HR. At-Tirmidzi 2383, dia berkata: Hadits ini hasan, dan riwayat Ibnu Majah, dan Ahmad). 

At-Tirmidzi berkata: Maksud sabda Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam, "Orang yang memperhitungkan  dirinya" yaitu orang yang selalu mengoreksi dirinya pada waktu di dunia sebelum dihisab (diperhitungkan) pada hari Kiamat.

Apa yang dikemukakan ini agaknya serasi pula dengan unen-unen tiyang Jawititenono tembe mburine, bakal ngunduh wohing pakerti…  (waspadailah dan ingatlah akibat belakangnya, kelak akan mengunduh buah kelakuan…).  (kata-kata orang Jawa),

Jakarta, November 2010/ Dzulqa’dah 1431H

Nuwun (hormat saya)

 

Hartono Ahmad Jaiz

Penulis Buku Islam dan Al-Qur’an pun Diserang



[1] Sjamsudduha, Penyebaran dan Perkembangan Islam- Katolik- Protestan di Indonesia, Usaha Nasional, Surabaya, 1987, halaman 119.

[2] Ibid, halaman 167.

[3] Prof. Mr, AG. Pringgodigdo –Hassan Shadily MA, Ensiklopedi Umum, Penerbit Yayasan Kanisius, Yogyakarta, 1977, halaman 45.


latestnews

View Full Version