View Full Version
Rabu, 09 Feb 2011

Sikap Adil terhadap 'Agama' Ahmadiyah: Kedepankan Hujjah & Objektifitas

Oleh: Muhammad Rizki Utama
Mahasiswa Arsitektur Institut Teknologi Bandung

“Akan muncul di kalangan umatku para pendusta besar sebanyak 30 orang, semua mengaku dirinya Nabi padahal aku adalah penutup para nabi, tidak ada lagi nabi setelahku” (HR Abu Dawud, Tirmidzi dan Ahmad)

Pasca tragedi Cikeusik Banten, kajian dan pembahasan tentang Ahmadiyah mulai menyebar di mana-mana. Hal ini disebabkan karena munculnya korban tewas dari pihak Ahmadiyah, bagaimanapun juga hal ini cukup disesalkan oleh banyak pihak.

Terlepas daripada itu, sebenarnya kita harus bisa melihat permasalahan yang ada. Apakah memang masyarakat berbuat dengan tiba-tiba begitu saja? Tentunya hal ini tidak mungkin terjadi, karena pada kenyataannya, yang digembar-gemborkan media masa sangat tidak berimbang

Ada hal-hal yang secara jernih harus kita susun ulang berdasarkan fakta dan bukti yang ada. Sudah 65 tahun Indonesia merdeka dan mayoritas penduduk umat Islam. Tapi apakah kasus seperti di Cikeusik  itu sudah terjadi berapa kali selama di Indonesia? Apakah secara empirik terbukti bahwa setiap masyarakat desa akan melakukan aksi anarki terhadap Ahmadiyah? Apakah ini pernah terjadi kepada umat lain? Jika kita melihat fakta, bahkan kondisinya menjadi terbalik.

Umat Islam dan Umat lain hidup berdampingan dan saling toleransi. Dalam Islam, aturan tentang aqidah sudah jelas dalam surat Al-Kafirun, “Bagiku agamaku, bagimu agamamu”.

Dengan ayat ini, tentang ibadah, aqidah, keyakinan umat Islam saling bertoleransi dan terbukti nyata dalam masyarakat. Jika secara benar dan tidak ada masalah, maka umat Islam hidup berdampingan dengan umat lainnya selama puluhan tahun dengan aman dan nyaman.

Permasalahan dalam kasus Ahmadiyah muncul ketika ia tidak menjadi umat bagian agama lain, tapi mengklaim bagian dari Islam. Ini adalah suatu sikap yang tidak jelas. Mudahnya, jika Ahmadiyah tidak menjadi bagian dari Islam, maka akan seperti umat-umat lainnya. Sudah ada fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan juga dari lembaga-lembaga internasional tentang kafirnya Ahmadiyah. Sejak tahun 1980-an, Ahmadiyah sudah difatwakan sesat oleh MUI.

Dalam tataran Aqidah, penegakan  hujjah telah dilakukan dan tidak ada perbedaan pendapat tentang kesesatan Ahmadiyah. Hal ini dapat dilihat pada pengakuan ‘nabi’ Mirza Ghulam Ahmad dalam kitab Tadzkirahnya. Dan juga penafsiran-penafsiran terhadap Al-Qur’an yang serampangan. Ada juga pihak Ahmadiyah sendiri yang berkata bahwa Mirza Ghulam Ahmad hanyalah mujaddid, tapi fakta dalam sumber primer Ahmadiyah mengatakan lain.

Yang aneh, di Indonesia Ahmadiyah dibiarkan dalam ketidakjelasan, tak seperti negara lain yang pemerintahnya dengan tegas menyatakan Ahmadiyah  terlarang dan bukan agama Islam.

Tiga Pihak dalam Kasus Ahmadiyah

Dalam tragedi Cikeusik beberapa hari yang lalu, dapat kita lihat permasalahannya dengan jernih.

Pertama, masyarakat yang bertindak anarkis. Perilaku masyarakat yang anomali ini perlu diperjelas. Tidak mungkin  tidak ada penyebab utama yang menjadikan mereka menjadi  bertindak anarkis. Banyak dalam media disebutkan  bahwa mereka menyerang, tapi tidak disebutkan mengapa? Dalam hal ini banyak versi yang menyebutkan bahwa Ahmadiyah mendatangkan anggotanya dari luar kota dan membuat keresahan, bahkan polisi pun sudah tahu aka nada penertiban jemaat Ahmadiyah itu sendiri. Tetapi, bagaimanapun juga tindakan ini tidak dapat dibenarkan secara hukum dan  juga secara syariat.

Kedua, pihak Ahmadiyah. Hal ini yang jarang dibahas oleh media. SKB Tiga Menteri yang sudah disepakati juga tidak dipatuhi oleh pihak Ahmadiyah yang masih menyebarkan keyakinannya. Dan yang paling mendasar adalah klaim kenabian  setelah Muhammad. Klaim ini termasuk kezaliman terberat, kedustaan terbesar atas nama Allah. Tidak ada kezaliman yang  lebih besar dosanya daripada orang yang membuat kedustaan atas nama Allah dan mengklaim Allah mengutusnya sebagai nabi atau rasul.

Lantas, apakah umat Islam dilarang ‘marah’ bila Tuhan, Rasul dan kitab sucinya dilecehkan? Maka, apakah tidak aneh jika umat Islam dizalimi, tetapi yang dibela adalah yang menzalimi? Ini adalah logika berpikir yang cacat!!

Ketiga, pihak yang ikut bermain air keruh di dalamnya, dengan berbagai kepentingan. Mengangkat isu, menambah opini yang membuat  menjadi kabur. Kelompok yang mengait-ngaitkan  kasus Ahmadiyah dengan HAM, toleransi, pluralisme, dan orang–orang seperti ini yang sering ‘berkicau’ dan diekspos oleh media masa. Padahal urusan ini seharusnya diserahkan kepada ulama dan orang yang faham akan duduk perkara sebenarnya.

Sikap Adil terhadap Ahmadiyah, Kedepankan Hujjah!

Menyikapi ketiga pihak yang terlibat dalam tragedi Cikeusik, maka seharusnya dikembalikan lagi kepada orang-orang yang memang mumpuni menjadi penengah dalam masalah ini. Pada pihak pertama yaitu masyarakat, harus diperjelas penyebab terjadinya kericuhan, Ini juga refleksi bagai para Ulama dan juga umat Islam seluruhnya, bahwa  pemahaman masyarakat di desa-desa  harus diperhatikan. Islam adalah agama yang mengedepankan dialog dan diskusi. Hujjah  harus dikedepankan.

Sudah kita ketahui dalam kehidupan bermasyarakat, jika mereka dibuat resah akan ada pergerakan defensif, dan ini yang mungkin membuat kebanyakan masyarakat  melakukan hal yang anarki. Selain itu, agaknya  kita harus bekerja keras, memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang lembutnya dakwah, dengan cara yang baik dan  memberikan hikmah.

Untuk status Ahmadiyah sendiri, sebenarnya pembahasan sudah tuntas. Rabithah Al-Islami (Dewan Ulama Dunia) sudah menyebutkan  Ahmadiyah kafir. Fatwa MUI tahun 1980 yang dipimpin oleh HAMKA menyatakan Ahmadiyah adalah jama’ah di luar Islam, sesat dan menyesatkan. Malaysia telah melarang ajaran Ahmadiyah di seluruh Malaysia sejak tanggal 18 Juni 1975. Brunei Darus Salam juga telah melarang ajaran Ahmadiyah di seluruh Negara Brunei Darus Salam. Pemerintah Kerajaan Arab Saudi telah mengeluarkan keputusan bahwa Ahmadiyah adalah kafir dan tidak boleh pergi haji ke Makkah. Pemerintah Pakistan telah mengeluarkan keputusan bahwa Ahmadiyah golongan minoritas non Muslim. Oleh karena itu, pemerintah harus bertindak tegas agar hal semacam ini tidak terulang lagi. Dan dari Ahmadiyah sendiri sudah kehilangan hujjah untuk mengkalim tetap bagian dari Islam.

Namun, tetap saja, ada pihak-pihak yang bermain air keruh dalam fenomena ini. Memutarbalikkan fakta dengan media mereka dan menjadikan Ahmadiyah menjadi pihak yang seolah-olah ‘terzalimi’ (secara mendasar), padahal sesungguhnya, umat Islamlah yang terzalimi. Pemerintah sudah mengeluarkan  Undang-undang Nomor 5 tahun 1969 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Apakah mereka tidak mengakui keabsahan undang-undang ini?

Ada juga yang membahas tentang toleransi. Toleransi di bagian mana? Apakah mereka memang mengaku berbeda agama? Tidakkah kita melihat persoalan bahwa justru Ahmadiyah yang tidak toleran.

Walhasil, orang-orang yang ‘berkicau’ dengan agenda masing-masing ini justru yang diangkat oleh media massa. Jika memang permasalahan ingin selesai, orang-orang ini tidak perlu dilibatkan, karena pada dasarnya permasalahan Ahmadiyah, hanya pada Umat Islam dan pihak Ahmadiyah, bukan pada pihak ‘netral’ atau ‘kaum pengusung HAM’ dan sejenisnya. Solusinya jika melihat pihak yang terlibat cukup mudah untuk saat ini, yaitu bubarkan Ahmadiyah dan tindak  pelaku penistaan agama. Jika tidak mau dibubarkan jadilah agama baru, yaitu agama Ahmadiyah. [voa-islam.com]


latestnews

View Full Version