Partai Keadilan Sejahtera (PKS) akhir-akhir ini sedang menjadi sorotan publik. Partai yang sebelumnya bernama Partai Keadilan (PK) ini sedang mendapat guncangan dari salah seorang founding father partai yang mengungkap adanya banyak penyelewengan dilakukan oleh elit yang sekarang menjabat dalam struktur kepengurusan partai. Dialah Yusuf Supendi, namanya kini melesat bak roket karena sering menghiasi media massa.
Nama baik PKS menjadi tercemar gara-gara kasus ini. Kubu PKS sendiri mangklaim yang dilakukan oleh Yusuf, lelaki yang pernah menjabat sebagai dewan syuro partainya itu merupakan efek sakit hati atas pemecatan dirinya tahun 2010 silam. Para elit partai ini pun mengelak atas tuduhan Yusuf Supendi tersebut.
Sementara itu, menurut pendiri PKS lain, Syamsul Balda berkomentar bahwa Yusuf Supendi tidaklah mungkin gegabah dengan menyebut petinggi PKS menggelapkan uang partai. Yusuf dinilai memiliki bukti dan saksi. “Menurut saya, orang sekaliber Pak Yusuf Supendi yang juga salah satu pendiri PK, dia tidak mungkin sembarangan. Kalau dia menuduh pasti punya data dan fakta, punya bukti dan saksi,” katanya pada wartawan (21/3/2011).
....orang sekaliber Pak Yusuf Supendi yang juga salah satu pendiri PK, dia tidak mungkin sembarangan. Kalau dia menuduh pasti punya data fakta, bukti dan saksi....
Banyak pihak bertanya-tanya untuk apa semua ini dilakukan oleh seorang Yusuf Supendi yang dikenal sebagai orang jujur dan terpercaya ini. Apakah benar ini adalah motif sakit hati dari pribadi Yusuf sebagaimana menurut para elit PKS, atau mungkin ada niat baik dari sesepuh partai ini yang ingin memperbaiki partai yang saat ini sudah banyak melenceng dari garis perjuangan.
Mengingat sebagaimana dijelaskan Imam An-Nawawi dalam kitab Syarah Shahih Muslim dan Riyadhus Shalihin menyatakan bahwa menyebutkan aib atau menggibah saudara muslim diperbolehkan asal dengan beberapa alasan:
Pertama, mendapat tindakan pendzaliman, melaporkan kezaliman kepada penguasa atau hakim atau yang memiliki kekuasaan dan kekuatan kemampuan untuk menasihati bertindak kepada yang dhalim, dia berkata: fulan telah menzalimi aku” dan seterusnya. Kedua, Memohon bantuan untuk mengubah kemungkaran, mengembalikan orang yang bermaksiat kepada kebenaran. Ketiga, memohon fatwa.
Keempat, memperingatkan kaum muslimin dari kejelekan dan menasehati mereka, yang salah satu diantara bentuknya: Apabila ada seorang yang faqih, berilmu berulangkali melakukan perbuatan fasiq atau bid’ah sedangkan orang itu menjadi rujukan ilmu sementara kemudharatan yang ada di dalam perbuatan itu masih tersembunyi maka hendaklah engkau menasihatinya dan menjelaskan perbuatannya itu dengan tujuan memberikan nasihat.
Kelima, ketika seseorang menampakkan kefasikannya. Dan keenam, memanggil seseorang yang dia terkenal dengan nama itu.
Apapun itu, kasus menghebohkan ini sudah telanjur menggelinding ke tengah-tengah masyarakat, bahkan sudah masuk ke BK DPR dan KPK. Maka sudah sewajarnya bila kisruh ini mesti dituntaskan. Jangan lagi ada dusta di antara kita. Begitu memang seharusnya.
....Partai Islam yang kini menjadi partai terbuka perlu mengkaji ulang arah perjuangan. Utamakan idealisme Islam ketimbang jalan pragmatis yang cenderung menghalalkan berbagai cara demi meraih tujuan sesaat.....
Resiko berkecimpung dalam sistem sekuler demokrasi memang cukup berat, banyak godaan, rayuan atau bujukan yang acapkali datang untuk pembiasan perjuangan. Tergelincir sedikit saja dari track, maka akan seperti kecanduan.
Karena itu, partai Islam yang kini bermetamorfosa menjadi partai terbuka inipun sepertinya perlu untuk mengkaji ulang arah perjuangan. Sebagai partai Islam, sudah menjadi kewajiban untuk mengutamakan idealisme ideologi Islam ketimbang memilih jalan pragmatis cenderung menghalalkan berbagai cara demi meraih tujuan sesaat. Kalau tidak, bukan tidak mungkin partai ini akan terus ditinggalkan oleh satu demi satu para kadernya.
Allah berfirman dalam surat Ali Imran 104: "(Dan) Hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada Al Khair (Islam), menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar, dan merekalah orang-orang yang beruntung." Wallahu a’lam. [Ali Mustofa Akbar]