TKI atau Tenaga Kerja Indonesia, ngetrendnya BMI atau Buruh Migrant Indonesia, selama ini akrab dengan berbagai tuduhan dan gelar buruk, di antaranya: sebagai kaum miskin, terbelakang, bodoh, tertindas, terpinggir, status sosial yang rendah dan klaim-klaim negatif lain seakan melekat pada diri TKI atau BMI. Di sisi lain, beragam respon 'angin surga' terlontar jika sudah membahas tentang TKI. Ada yang mengatakan mereka adalah pahlawan devisa, pahlawan keluarga, pahlawan bangsa, dan seterusnya.
Ada pula yang menjuluki TKI sebagai korban perbudakan abad modern –istilah para politikus, TKI adalah korban eksploitasi negara. Tuduhan lainnya, umumnya dari para agamawan, TKI adalah orang yang tidak qona’ah karena tidak mau ikhlas hidup sederhana. Ada pula orang berpikir realistis, beranggapan TKI sebagai orang-orang pemberani, meninggalkan negara dengan resiko apapun demi sesuap nasi dan tanggung jawab keluarga di kampung halaman.
Memang tidak mudah menyimpulkan, mengingat setiap TKI memiliki latar belakang yang berbeda, alasan yang beragam, lingkungan keluarga yang berbeda dan cara berpikir yang berbeda pula. Tidak dipungkiri, memang banyak dari mereka berasal dari keluarga yang cukup, namun karena pengaruh lingkungan atau punya masalah yang ingin dihindari, menjadikan mereka nekad keluar negeri menjadi TKI. Namun jumlah pada kelompok ini hanya beberapa persen saja, nyatanya rata-rata mereka memang dari latar belakang ekonomi yang memprihatinkan.
Ada perdebatan yang menarik. Seorang TKI dicibir dengan nada sinis, “Apa sih yang dapat dibanggakan menjadi TKI?” Dengan sigap, sang TKI menjawab dengan pertanyaan balik, “Siapa sih yang mau ditakdirkan jadi TKI?”
Kepada para agamawan yang melontarkan tuduhan bahwa TKI adalah contoh manusia yang tidak qona’ah, penulis mengimbau agar mereka menilai dengan nurani yang jujur, perut yang butuh makan harus diisi atau dibiarkan?
Sudah terlalu banyak klaim buruk ditambah lagi dengan klaim yang membuat dada sesak, TKI adalah manusia-manusia miskin dan bodoh. Tidak bisa mengelak memang dari realita ini, tetapi apakah publik tahu kalau hari ini telah banyak juga TKI-TKI yang mampu menghasilkan karya dan prestasi cemerlang yang tidak bisa dilakukan sarjana-sarjana lulusan universitas ditanah air? Belum lagi perjuangan mereka dalam mengemban dakwah terhadap negara yang tidak mengutamakan agama, apakah ini dianggap remeh?
Suatu ketika saya pernah mewawancarai seorang tokoh terkenal untuk liputan salah satu media tanah air. Tokoh tersebut adalah seorang ustadz, motivator bisnis, dan penulis buku pernikahan yang best seller ditanah air. Penulis bertanya kepada tokoh tersebut, “Orang ditanah air banyak yang menganggap TKI Hong Kong murahan dan dekat dengan zina, bagaimana pendapat anda?”
....Orang Indonesia harus bercermin sebelum menuduh TKI, faktanya di negara kita perzinaan menjadi 'wajar' dilakukan ABG, moral mereka tidak mencerminkan sebagai manusia yang baik....
Dengan sangat bijak dan santun beliau menjawab, “Orang Indonesia harus bercermin sebelum menuduh demikian, faktanya di negara kita hari ini perzinaan menjadi 'wajar' dilakukan ABG, moral mereka tidak mencerminkan sebagai manusia yang baik, sedangkan kasus BMI yang rusak cuma beberapa persen saja." Begitulah kurang lebih jawabannya, sungguh jawaban yang sangat arif dan lugas.
Hari ini telah tercatat majalah-majalah Islam hasil karya TKI, buku-buku karya TKI, mereka juga menggalang dana untuk bencana alam dan berbagai prestasi mereka dalam memberikan sumbangsih negara, meski negara enggan memberikan bantuan dan perlindungan pada mereka. Banyak memang TKI yang masih terbelakang dan sulit berpikiran maju, tapi itu tidak seluruhnya. Banyak memang TKI yang tidak mengerti apa makna ghazwul fikri dan propaganda, namun itu juga tidak semuanya. [yuliana/voa-islam.com]