View Full Version
Sabtu, 23 Apr 2011

Politisi Kutu Loncat, Buah Pragmatisme Partai Politik!!

By: Ali Mustofa Akbar

Akhir-akhir ini begitu marak kader potensial partai politik berpindah haluan. Kasus seperti ini yang kemudian mendapat tren istilah politisi “kutu loncat”. Demokrat, parpol pemenang pemilu 2009 pun panen anggota baru strategis, bisa diibaratkan seperti gadis cantik yang dikerubuti oleh banyak pria.

Banyak kalangan menilai, peluang karir yang dipandang lebih menjanjikan menjadi alasan utama kepindahan para politisi tersebut. Selain itu, menurut Indria Samego (pengamat LIPI), kepindahan politisi dilakukan sebagai upaya untuk mengamankan diri, mengingat hampir semua kepala daerah memang tidak ada yang “bersih”, dan mendekati partai penguasa adalah jurus ampuh untuk menghindari pengusutan kasus korupsi.

Bagi partai yang menjadi tambatan baru “si kutu loncat”, tentu akan dengan senang hati membuka lebar-lebar pintu partainya, mengingat para politisi tersebut bisa menjadi “setrum” bertambahnya pundi-pundi suara pada pemilu mendatang. Sebaliknya, bagi partai korban peloncatan, hal ini merupakan peristiwa tak menggembirakan, yang dapat berdampak pada pelemahan infrastruktur partai pada pemilu selanjutnya.

Sebut saja seperti Wakil Gubernur Jawa Barat Dede Yusuf dari PAN, Gubernur Sulut Sinyo Harry Sarun dajang dari PDI-P, Gubernur NTT Zainul Majdi yang adalah kader PBB, dan Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin, mereka semua kini telah meninggalkan partai yang telah membesarkan namanya untuk bergabung dengan Demokrat.

Fenomena politisi kutu loncat ini setidaknya memberi sedikit gambaran bagi masyarakat bahwa slogan-slogan untuk kepentingan rakyat adalah cuma sebuah trik politik belaka, realitanya hanyalah untuk kepentingan pribadi mereka. Karena semua yang berbicara adalah tahta dan harta.

Buah Pragmatisme Partai

Di samping karena faktor pribadi, sejatinya serial kutu loncat politisi ini juga buah dari eksperimen pragmatisme politik yang dilakukan oleh hampir semua partai. Hal inilah yang kemudian menular ke pragmatisme politisi.

Pengamat politik dari Center for Strategic and International Studies (CSIS), J Kristiadi, juga menyatakan saat ini terjadi kesalahan pola pikir dalam partai politik di Indonesia. Partai itu melihat konstituen untuk dimanfaatkan pada arena pemilihan lima tahun sekali. (bataviase.co.id 8/4/10)

Pragmatisme Politik ini begitu kentara juga terjadi saat pemilu-pemilu daerah, dimana partai yang berseberangan idealisme bisa duduk bersama mengusung calon mereka. Gambaran semacam ini menunjukkan bahwa Ideologi partai-partai peserta pemilu bisa dikatakan sama tidak jelasnya. 

Karenanya tak heran jika hari kian hari kepercayaan masyarakat semakin merosot, hal ini setidaknya terbukti dari hasil-hasil survei lembaga-lembaga survei yang menunjukkan penurunan kepercayaan masyarakat pada parpol. Demikian halnya dengan menurunnya tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilu nasional maupun daerah.

Wakil Ketum Dewan Pimpinan DPP Pusat Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Chozin Chumaidy pernah mengemukakan, sekitar 75 persen dari jumlah penduduk di Indonesia tidak lagi mempercayai partai politk sebagai saluran aspirasinya. (republika 2/4/2011). Hal ini di dasari karena kecenderungan parpol yang hanya mementingkan kepentingan sepihak. Hanya untuk mancari keuntungan dan mementingkan partainya namun mengabaikan kepentingan rakyat.

Dukung Partai Ideologis

Dalam Islam, sebuah jamaah atau partai (hizb) dibangun berdasar firman Allah SWT: (Dan) Hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada Al Khair (Islam), menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar, dan merekalah orang-orang yang beruntung." (QS. Ali Imran 104).

Imam Ibnu Katsir di dalam memaknai ayat ini menyatakan bahwa maksud dari ayat ini adalah hendaklah ada satu kelompok dari kalangan umat Islam ini untuk melakukan perkara yang dituntut tadi sekalipun melaksanakan perbuatan tersebut wajib atas setiap individu dari umat sesuai dengan kemampuannya (Qur`anil ‘Azhim  1/478). Sedang Sayid Qutb mengatakan tugas kelompok ini adalah menyeru kepada Islam serta melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar (Fi Zhilalil Quran, 4/27).

Bagi umat Islam, tidak ada pilihan lain kecuali untuk mendukung partai yang berpegang teguh pada ideologi Islam. Baik fikrah maupun thariqahnya tidak melenceng dari track Islam, yang tidak tergoda untuk mengambil jalan pragmatis.

Kabar menggembirakan datang ketika dukungan kepada syariah dan khilafah kini semakin menguat. Sebuah pertanda bahwa arus ideologi Islam semakin mendapat tempat di hati masyarakat. Karena mereka yakin Syariah Islamlah yang mampu menyelamatkan Indonesia.

Maka adalah bentuk blunder politik jika partai Islam justru tak berani menampakkan ideologinya, lebih-lebih malah ada yang memproklamirkan dirinya menjadi partai terbuka. Sampai ada yang mengatakan jika perjuangan syariah Islam adalah agenda masa lalu partai, menyebut perjuangan khilafah adalah syair-syair lapuk, dll. Sangat disayangkan memang.

Sebuah keniscayaan pula bilamana para kadernya yang ideologis kemudian memilih keluar dari partai pragmatis tersebut. Namun tidak selamanya istilah kutu loncat itu bercitra negatif. Tidak selamanya pula didasari oleh kepentingan duniawi semata. Sebagai contoh ialah kader yang memilih untuk pindah ke partai ideologis, setelah partai lamanya kini menjadi pragmatis. Ini yang disebut kutu loncat positif yang didasari kesadaran ideologi Islam.

Demokrasi memang sudah cacat sejak lahir, keterpurukan Indonesia terjadi bukan sekedar human error (pada manusianya) dalam penerapannya, justru demokrasi itulah yang membuat manusianya bisa menjadi error. Selamatkan Indonesia dengan syariah dan khilafah. Wallahu a’lam. [voa-islam.com]


latestnews

View Full Version