KH Said Aqil Siradj menuding dua belas yayasan Islam sebagai yayasan Wahabi yang mengajarkan ideologi Islam Radikal sehingga lahirlah aksi pemboman masjid Cirebon.
“Yayasan-yayasan itulah yang mengajarkan ajaran Islam radikal atau Wahabi. Pelaku bom Masjid Mapolresta Az-Zikra di Cirebon, Gus Syarifuddin adalah jebolan As-Sunnah Cirebon. Bahkan telah mengafirkan bapaknya sendiri. Begitu juga dengan pelaku pengeboman Gereja Bethel di Solo, yakni Gus Ahmad Yosefa juga merupakan alumunus As-Sunnah. Lalu pelaku bom Ritz Carlton, Syaifuddin ternyata dari Manis Lor Kuningan,” tukas Said Agil.
Komentar kami, tudingan itu tidak urut, tidak rinci, tidak menyebut data kongkrit materi yang dia sebut ideology Islam Radikal, dan tidak ada qarinah yang sambung persis ke arah yang ia sebut melahirkan aksi pemboman masjid Cirebon. Hanya dia sebut si anu si anu pelaku bom itu keluaran yayasan anu.
Kalau mau bicara urut, teratur, rapi, dengan bukti konkret, dan qarinah jalur yang bersambung secara pasti (tanpa dapat diragukan lagi), maka tudingan-tudingan Said Aqil itu baru perlu dianggap untuk dapat dikategorikan sebagai ucapan yang boleh didengar. Tetapi ketika hanya seperti itu, maka tidak lebih dari bocah-bocah yang duduk-duduk (Jawa: thenguk-thenguk) di buk (jembatan) malam-malam, lalu cerita tentang Genderuwo, Wewe Gombel dan semacamnya. Di pojok sana-sana dan sana itu ada Genderuwonya, ada Wewe Gombelnya, ada perinya yang punggungya growong dan sebagainya. Alasannya, karena ada orang jatuh ketika naik sepeda malam-malam di pojokan sana itu, jatuhnya itu karena keburu-buru akibat ketakutan Genderuwo, hingga akhirnya tak dapat mengendalikan sepeda motornya dan terjebur ke jurang, lalu mati.
Bedanya, cerita yang dilontarkan bocah ini tidak ada dampak apa-apa. Temannya pun hanya menganggapnya sebagai omongan bualan belaka. Dan lain kali ketika si bocah itu bercerita lagi, maka temannya cukup bilang: prek..!!
Tetapi kalau yang “bercerita” itu seorang tokoh bergelar Kyai Haji, Professor Doktor, yang menjabat ketua umum organisasi Islam terbesar di Indonesia, walau mutunya tak lebih dari bocah yang thenguk-thenguk di buk malam-malam itu, namun sebagian orang yang memang kurang dapat berpikir, akan sedikit terpengaruh. Apalagi cerita itu disampaikan di acara resmi dengan tema mentereng, di hotel mewah, tentunya dengan biaya besar. Maka seolah yang dia ceritakan itu sesuatu yang berharga. Walau pada hakekatnya mungkin justru masih lebih mengesankan cerita Genderuwo oleh bocah yang thenguk-thenguk di buk malam-malam itu. [nahimunkar.com]