View Full Version
Senin, 11 Jun 2012

Krisis Ulama Suburkan Takhayul, Bid'ah, Khurafat dan SEPILIS

Oleh: Ahmad Antawirya

Perkembangan Islam nusantara, khususnya di Pulau Jawa, beberapa kali mengalami kemunduran (setback) karena kehilangan ulama-ulama terbaik. Itulah mengapa Islam di Jawa hari ini sangat jenuh memuat praktik bid’ah dan berbagai bentuk kebodohan yang sulit dibersihkan sehingga menghambat kemajuan umat.

Di antara peristiwa setback adalah yang terjadi pada 1647, ketika Raja Mataram Amangkurat I yang bersekutu dengan VOC, memancung kepala 6.000 ulama Jawa beserta keluarganya di alun-alun Kraton Plered, Yogyakarta. Syiar Islam di Tanah Jawa, pasca era Wali Songo, pun mandeg.

Krisis ulama membuat ajaran Islam bercampur-aduk dengan adat-istiadat. Mana ajaran Islam dan mana yang bukan, menjadi sulit dibedakan. Tauhid dan syirik tercampur tidak karuan. Dalam ranah ibadah, tidak jelas mana praktik beribadah yang dicontohkan Rasulullah SAW dan mana yang mengada-ada. Dalam domain adab, akhlak-akhlak mulia yang bertahan tidak dikenali lagi sebagai bersumber dari Islam. Orang-orang di Jawa selama beberapa generasi tidak tahu persis bahwa sunat (khitan) bersumber dari Islam. Bahkan hari ini, tidak setiap orang tahu, bahwa pembiasaan memberi dan menerima dengan tangan manis (tangan kanan) yang berlaku di masyarakat Jawa (muslim maupun non-muslim) itu, bersumber dari Hadits. Begitulah nasib umat yang mengalami krisis ulama. Tidak ada penunjuk dan penuntun untuk mengenali yang haq dan batil.

Islam di Jawa seperti restart. Jawa memerlukan lebih dari satu setengah abad sejak itu untuk melahirkan ulama sebesar Diponegoro (1785-1855), dan dua setengah abad untuk mencapai kemunculan Achmad Dahlan (1868-1923) dkk yang berusaha memberantas Takhyul-Biddah-Churafat (TBC). Sampai hari ini kita masih berjuang dengan sangat payah untuk mengkalibrasi keislaman kita, sementara kemunduran pada masa lampau masih menyisakan kebodohan yang membuat kita gemar bersilang-sengketa tanpa dasar.

Pada saat yang sama, kita terus menghadapi percobaan-percobaan pemunduran dengan cara lama maupun baru, yang membuat kita cenderung menjauhi, bahkan memusuhi, ulama.

Cara lama, melalui pelenyapan dan penindasan terhadap ulama, silakan mengingat berapa ulama yang tewas atau hilang selama kurun orde-baru, dalam peristiwa Lampung, peristiwa Priok, dan pembantaian kyai di Jawa Timur. Ingat juga bagaimana Hamka dijebloskan ke penjara. Cara baru, adalah melalui penetrasi paham SEPILIS (sekularisme, pluralisme dan liberalisme). Tamu tidak diundang ini masuk melalui media, buku, dan LSM. Bahkan acapkali melalui anak-cucu yang kuliah di luar-negeri.

Lihatlah hasil ujian kita baru-baru ini. Untuk sekadar bersikap terhadap rencana konser Lady Gaga dan isu kesetaraan gender saja, betapa banyak energi yang kita buang percuma untuk bersilang pendapat? Berapa banyak dari kita yang berusaha bersikap berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits? Berapa banyak yang mau menanya atau mendengar pendapat ulama? Banyak dari kita yang limbung dan gamang dengan test fungsi al-Furqan yang sederhana itu.

Agaknya, software al-Furqan di benak kita musti diinstall ulang. Sumbernya tidak boleh bajakan. Jangan pula cover version atau beta. Harus original dan full version, dengan dibantu teknisi (baca: ulama) yang kompeten, kredibel dan punya komitmen kuat untuk menegakkan Al-Qur’an dan Hadits shahih. Insya Allah. [voa-islam.com]


latestnews

View Full Version