BANDUNG (voa-islam.com) - Syahdan, di Negeri Sungai Nil yang subur, sang Raja sedang berkeliling melihat kondisi rakyat. Ia bersama bendahara Negara, bernama Yusuf, dengan cermat memperhatikan kebutuhan masyarakatnya.
Suatu malam, sang raja bermimpi aneh. Ia bermimpi, melihat tujuh ekor lembu betina yang dimakan habis oleh tujuh ekor lembu yang kurus. Kemudian terdapat pula tujuh biji gandum yang subur hijau dan juga tujuh biji gandum yang kering kerontang. Yusuf, yang dikenal sebagai penafsir mimpi dan juga nabi diminta menafsirkan mimpi sang Raja.
Atas petunjuk Allah, Yusuf menjelaskan bahwa makna dari mimpi Raja bahwa akan datang masa subur selama tujuh tahun dan setelah itu akan datang pula masa paceklik selama tujuh tahun. Penguasa Mesir itu merasa senang dan juga bingung. Bagaimana nanti nasib rakyatnya kelak? Ia meminta masukan kepada Yusuf. Yusuf, atas petunjuk Allah memberikan masukan kepada sang Raja.
“Yusuf berkata: "Supaya kamu bertanam tujuh tahun (lamanya) sebagaimana biasa; maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan dibulirnya kecuali sedikit untuk kamu makan.” (QS Yusuf [12]:47).
Yusuf membuat dua strategi sekaligus yaitu kegiatan menanam secara serius untuk waktu yang lama (7 tahun), dan strategi menyimpannya. Menyimpan gandum, padi dan sejenisnya dalam ‘bulirnya’ adalah strategi untuk mempertahankan agar padi atau gandum tersebut awet, tidak rusak dan tetap bisa menjadi benih yang sempurna bila kelak akan ditanam kembali.
Hari-hari berlalu memasuki masa subur. Yusuf bersama masyarakat berpeluh keringat bersama-sama bertani, memanen, menjaga lingkungan, menyiapkan sumber-sumber air untuk pertanian. Berbulan-bulan, hasil panen disimpan dalam suatu lumbung, tempat penyimpanan hasil panen. Sedikit demi sedikit, lumbung semakin penuh. Semua produksi dilakukan dalam negeri sendiri. Hingga akhirnya, masa paceklik itu tiba. Masa –masa yang menakutkan itu datang menyapa.
Cadangan makanan dalam negeri mulai didistribusikan untuk masyarakat. Lumbung-lumbung cadangan pangan negara dan juga masyarakat secara berkala dapat menyediakan pangan. Tujuh tahun lamanya, negeri dilanda tahun kelabu. Namun, masyarakatnya tidak mengalami masalah ketahanan pangan. Malah, negeri-negeri tetangga, datang ke Mesir, meminta bantuan, membeli (impor) makanan, hingga masa paceklik lewat. Mesir tak mengalami krisis pangan. Itulah negeri sungai Nil berabad silam.
Problem Ketahanan Pangan
Berbilang abad, melompat ke negeri nan subur, makmur, hasil bumi bertabur. Indonesia, tempat diri berpijak, mencari secercah cahaya kehidupan. Negeri ketika tongkat, kayu, dan batu menjadi tanaman. Negeri ketika emas bertaburan dibalik tanah. Negeri tempat tetumbuhan begitu subur nan hijau. Negeri buah-buahan berlimpah ruah.
Namun, kini, tak seperti dulu lagi. Alam yang semestinya bersahabat mulai rusak. Global warming dan Climate Change terjadi. Alam seperti monster yang lama terlelap. Ia bisa terbangun setiap saat, menebar horor yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Lingkungan rusak, hutan menjadi gundul, sawah berganti perumahan. Ratusan ribu hektar sawah yang menguning kini sedikit demi sedikit berganti menjadi hamparan beton. Negeri yang (katanya) subur ini lagi-lagi harus mendatangkan pangan dari luar untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya.
Ketua Lajnah Siyasiyah DPP Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Ustadz Yahya Abdurrahman dalam makalahnya yang berjudul “Ketahanan Pangan Dalam Perspektif Syariah Islam”, mengatakan bahwa ketahanan pangan dalam Islam mencakup: (1) Jaminan pemenuhan kebutuhan pokok pangan; (2) Ketersediaan pangan dan keterjangkauan pangan oleh individu masyarakat; dan (3) Kemandirian Pangan Negara.
Masih menurut Yahya, ketersediaan pangan yang dimaksudkan adalah tersedianya stok pangan yang memadai untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat. Sementara keterjangkauan pangan adalah tersedianya pangan secara merata di semua wilayah dengan tingkat harga yang wajar.
Untuk menjamin produksi pangan, tambah Yahya, setidaknya negara harus melakukan hal-ha berikut: Negara harus menjamin pelaksanaan politik pertanian dan politik pertanahan syariah. Hal itu akan menjamin ketersedian lahan dan produktivitas lahan. Dalam Islam, tanah-tanah mati yaitu tanah yang tidak tampak adanya bekas-bekas tanah itu diproduktifkan, maka tanah mati itu bisa dihidupkan oleh siapa saja baik dengan cara memagarinya dengan maksud untuk memproduktifkannya atau menanaminya dan tanah itu menjadi milik orang yang menghidupkannya itu. Rasul bersabda: Siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu menjadi miliknya (HR. Tirmidzi, Abu Dawud)
Ustadz Yahya menukil Humaid bin Zanjawaih an-Nasa’iy dalam kitab al-Amwâl meriwayatkan dari jalan Amr bin Syu’aib bahwa Nabi saw memberikan tanah kepada orang-orang dari Juhainah lalu mereka membiarkannya dan menelantarkannya, lalu datang kaum yang lain dan menghidupkannya.
Kemudian orang-orang Juhainah itu mengadukannya kepada Umar bin Khathab, lalu Umar berkata : seandainya itu dari pemberianku atau dari Abu Bakar maka aku tidak akan ragu, tetapi itu adalah pemberian Rasulullah saw (artinya sudah ditelantarkan lebih dari tiga tahun). Dan Umar berkata : Siapa saja yang memiliki tanah lalu ia telantarkan tiga tahun tidak ia gunakan, lalu orang lain menggunakannya maka orang lain itu lebih berhak atas tanah itu.
Dengan demikian, maka tanah akan terdistribusi kepada rakyat. Dan lebih dari itu akan terjamin bahwa tanah yang ada akan produktif dan meminimalkan bahkan menghilangkan adanya tanah terlantar. Dan ketahanan pangan pun adalah sebuah keniscayaan. Wallahu a’lam. [desastian]