Oleh : Nayla Ridla, MSi
( Penggiat CIIA Devisi Kajian Sosial Budaya )
JAKARTA (voa-islam.com) - Menteri Kesehatan Dr. Nafsiah Mboi, sebagaimana dikutip Detik dalam Konferensi Pers Hari AIDS Sedunia di Sekretariat Komiter Penanggulangan AIDS Nasional, Jl Johar Menteng, Jakarta, Sabtu (30/11/2013), mengatakan tujuan Pekan Kondom Nasional adalah untuk mengurangi penularan virus HIV melalui perilaku seks berisiko.
Menkes beralasan, jika tidak ada program terobosan dalam penanggulangan AIDS maka pada tahun 2025 akan ada 1.817.700 orang terinfeksi AIDS. Menurutnya, satu-satunya cara untuk mencegah penularan itu adalah “dengan menggunakan kondom dari laki-laki yang berisiko kepada perempuan pekerja seks maupun istrinya.”(bbc.co.uk/indonesia, 25/6/ 2012).
Namun ternyata dibalik pernyataan Menkes yang mengundang kontroversial, ada udang di balik batu, sebab sebagaimana dijelaskan oleh Kementerian Kesehatan melalui Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen P2PL) saat memberikan penjelasan kepada DPR dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi IX DPR RI (2/12/2013) dinyatakan bahwa yang saat ini sedang berlangsung, Pekan Kondom Nasional (PKN), bukan Program Kemenkes RI. Pembagian kondom gratis bukan program Kemenkes. Ini adalah kegiatan swasta yang diselenggarakan perusahaan kondom. Tidak ada kebijakan Kemenkes terkait pembagian kondom ke masyarakat luas.
Nah lho? Kalau begitu atas nama apa Menkes bicara tentang PKN dan kondomisasi? Sedangkan PKN bukan program Kemenkes?
Jika atas nama pribadi, berarti Menkes telah memanfaatkan jabatan untuk kepentingan diri sendiri dan bisnis perusahaan kondom. Atau Menkes telah menjadi model iklan dan ikon perusahaan kondom? Mengabdikan diri pada perusahaaan kondom dengan mengabaikan kepentingan rakyat bahkan berpotensi merusak generasi muda agar terinspirasi dan termotivasi menggunakan kondom sesuai fungsinya?
. . . Atau Menkes telah menjadi model iklan dan ikon perusahaan kondom? . . .
Mengapa Menkes begitu tega melakukan kebohongan publik? Mempengaruhi masyarakat terutama generasi muda dengan pemikiran sesat bahwa kondom aman untuk sex di luar nikah. Sama saja menyuruh " berzinalah, berperilaku sex bebas lah sesuka kalian, ada pengaman sang kondom kok yang bisa didapat dengan gratis."
Bukankah Menkes, sebagai seorang wanita tahu bahayanya sex di luar nikah terhadap masa depan seseorang? Bukankah sex di luar nikah berpotensi kehamilan yang digugurkan dan membahayakan kesehatan reproduksi?
Bukankah Menkes sebagai seorang Ibu juga tak rela bila darah dagingnya terjerumus dalam pergaulan dan perilaku sex bebas? Apalagi bila sampai berhubungan sex dengan penderita HIV/Aids meski menggunakan kondom? Bukankah Menkes pun tahu banyaknya perusahaan kondom di dunia tetap tak mampu mencegah penularan penyakit seksual HIV/Aids, herpes, raja singa dll? Bukankah Menkes pun tahu satu-satunya obat HIV/Aids hanyalah kematian?
Bukankah Menkes tahu? Pada Konferensi AIDS se-Dunia di Chiangmai, Thailand tahun 1995, diumumkan hasil penelitian ilmiah, bahwa kondom tidak dapat mencegah penularan HIV/AIDS . Sebab ukuran pori-pori kondom jauh lebih besar dari ukuran virus HIV. Ukuran pori-pori kondom sebesar 1/60 mikron dalam kondisi normal dan membesar menjadi 1/6 mikron saat dipakai. Sedangkan ukuran virus HIV hanya 1/250 mikron. Jelas virus HIV sangat mudah bebas keluar masuk melalui pori-pori kondom. Maka, jika dikatakan kondomisasi dapat menangkal penularan virus HIV/AIDS, itu jelas menyesatkan dan membodohi masyarakat.
Bersyukur sekali sekarang PKN telah dihentikan. Ke depannya semoga tidak akan pernah ada lagi upaya-upaya kondomisasi atau semacamnya meski dalam "lipstik" yang berbeda, yang pada hakikatnya sama dengan membodohi, membohongi bahkan menghancurkan nilai sosial kemasyarakatan.
Sebuah pelajaran dapat diambil dari peristiwa ini, bahwa Pemerintah dibawah Kemenkes belum memiliki program dan roadmap yang jelas dalam usahanya memerangi HIV/Aids, sehingga mudah dimanfaatkan oleh orang-orang tak bertanggungjawab dengan memanfaatkan fasilitas negara. Terlihat betapa kentalnya permainan swasta terutama perusahaan-perusahaan kondom dalam mempengaruhi kebijakan Menkes, yang dalam hal ini dapat dikatakan Kemenkes kecolongan oleh Menterinya sendiri.
. . . gencar menggulirkan kondomisasi/ perilaku sex bebas secara nasional, maka Menkes Nafsiah Mboi tidak berlebihan jika mereka dijuluki " Miss Condom Indonesia" . . .
Seharusnya Menkes dan jajarannya menggulirkan program-program yang mendidik pada masyarakat. Misalnya dengan mengajari dan memberikan penyuluhan pada masyarakat betapa hina, berdosa dan berbahayanya perilaku sex bebas itu. Bahaya dunia akhirat. Di dunia penyakit HIV/Aids, herpes dll menanti. Di akhirat siksa amat pedih pun menunggu bila tak segera bertobat. Sex bebas juga hal yang amat terlarang dalam agama. Bahkan dalam Islam sanksinya amat berat, dibunuh dengan cara rajam atau dilempar batu sampai mati bagi pelaku yang pernah menikah. Dan dicambuk 100 kali bagi pelaku yang belum pernah menikah. Satu kali cambuk yang sekali mengenai kulit, perlu waktu satu bulan untuk penyembuhan.
Kemenkes bisa datang ke sekolah-sekolah menengah, kampus-kampus, ke lokalisasi, ke pertemuan ibu-ibu PKK, ke perusahaan-perusahaan dll dengan menggandeng para ulama untuk memberi pemahaman bahwa sex di luar nikah adalah perbuatan keji yang termasuk dosa besar. Sama saja seperti perilaku binatang. Jadi jangan sampai melakukannya. Sekali coba sama saja menjerumuskan diri sendiri dalam lembah kehinaan. Hal ini semoga sekaligus juga bisa meredam kenaikan angka perselingkuhan di Indonesia.
Bila setelah ini Ibu Menkes atau lembaga dan pihak manapun tetap gencar dengan kondomisasi, dengan "baju yang berbeda", tetap mengabdikan diri pada pemodal kapitalis perusahaan kondom demi eksistensi bisnis mereka, dan mengabaikan nilai-nilai agama dan kemanusiaan, maka jangan salahkan masyarakat jika menganggap mereka pada dasarnya adalah budak perusahaan kondom. Jika tetap tak berubah dan gencar menggulirkan kondomisasi/ perilaku sex bebas secara nasional, bahkan di masa-masa yang akan datang maka tidak berlebihan kiranya jika mereka dijuluki " Miss Condom Indonesia".
Khusus untuk ibu Menkes, seandainya di masa mendatang tetap getol memperjuangkan kondomisasi, tetap tak mau mengubah kesalahan paradigma berpikirnya bahwa kondom mampu menanggulangi berkurangnya HIV/Aids, maka jangan salahkan jika ada yang menilai "Menkes Bakul Kondom". [PurWD/voa-islam.com]