View Full Version
Rabu, 25 Dec 2013

Buya Hamka & Tekanan Untuk Cabut Fatwa Haram Natal MUI 1981

Saya Pembaca atau silent reader Voa Islam..

Saya terusik berita Sudah Dua Kali Kicau Fahri Hamzah Ucapkan Selamat Natal. Ada Apa PKS?  dan saya teringat tulisan kenapa hal ini bisa terjadi. Boleh jadi PKS sudah membaca dibatalkannya Fatwa MUI tentang haramnya mengucapkan selamat natal yang dibuat Buya Hamka, sehingga mereka bebas saja ucapkan selamat natal. Meski faktanya tetap salah toh... 

Cerita dibawah ini mendeskripsikan kalo sejak dulu Islam selalu di tekan. Ngurusin perkara menegakkan aqidah Islam atas perayaan Natal akan menemukan tembok tebal penguasa dan tekanan pihak islamophobia.  

Pada hari itu, 21 Mei 1981 mungkin hanya satu hari yang berat bagi Buya Hamka yang menulis sebuah surat pendek. Surat itu ditujukan pada Menteri Agama RI Letjen. H. Alamsyah Ratuperwiranegara. Isinya pemberitahuan bahwa sesuai dengan ucapan yang disampaikannya pada pertemuan Menteri Agama dengan pimpinan MUI pada 23 April, Hamka telah meletakkan jabatan sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Bagi banyak orang pengunduran diri Hamka sebagai Ketua Umum MUI mengagetkan. Timbul bermacam dugaan tentang alasan dan latar belakangnya.

Namun pemerintah sadar akan kemungkinan percik gelombang yang ditimbulkannya dan mengkondisikan agar mundurnya Hamka jangan sampai dipergunakan golongan tertentu untuk merusak kesatuan dan persatuan bangsa, apalagi merusak umat lslam sendiri.

Pertanyaanya Kenapa Hamka mengundurkan diri? 

Buya Hamka lalu mengungkapkan pada pers, pengunduran dirinya disebabkan oleh fatwa MUI 7 Maret 1981.

Fatwa yang dibuat Komisi Fatwa MUI tersebut pokok isinya mengharamkan umat Islam mengikuti upacara Natal, meskipun tujuannya merayakan dan menghormati Nabi Isa.

Menurut K.H.M. Syukri Ghozali, Ketua Komisi Fatwa MUI, fatwa tersebut sebetulnya dibuat untuk menentukan langkah bagi Departemen Agama dalam hal umat Islam. “Jadi seharusnya memang tidak perlu bocor keluar,” katanya.

Fatwa ini kemudian dikirim pada 27 Maret pada pengurus MUI di daerah-daerah. Bagaimanapun, harian Pelita 5 Mei 1981 memuat fatwa tersebut, yang mengutipnya dari Buletin Majelis Ulama no. 3/April 1981.

Buletin yang dicetak 300 eksemplar ternyata juga beredar pada mereka yang bukan pengurus MUI.

Ironis memang, sehari setelah tersiarnya fatwa itu, dimuat pula surat pencabutan kembali beredarnya fatwa tersebut. Surat keputusan bertanggal 30 April 1981 itu ditandatangani oleh Prof. Dr. Hamka dan H. Burhani Tjokrohandoko selaku Ketua Umum dan Sekretaris Umum MUI.

Menurut SK yang sama, pada dasarnya menghadiri perayaan antar agama adalah wajar, terkecuali yang bersifat peribadatan, antara lain Misa, Kebaktian dan sejenisnya. Bagi seorang Islam tidak ada halangan untuk semata-mata hadir dalam rangka menghormati undangan pemeluk agama lain dalam upacara yang bersifat seremonial, bukan ritual.

Tapi bila itu soalnya, kenapa heboh? Rupanya “bocor”nya Fatwa MUI 7 Maret 1981 itu konon sempat menyudutkan Menteri Agama Alamsyah. Hingga, menurut sebuah sumber, dalam pertemuannya dengan pimpinan MUI di Departemen Agama 23 April 1981, Alamsyah sempat menyatakan bersedia berhenti sebagai Menteri.

Kejengkelan Menteri Agama agaknya beralasan juga. Sebab rupanya di samping atas desakan masyarakat, fatwa itu juga dibuat atas permintaan Departemen Agama. “Menteri Agama secara resmi memang meminta fatwa itu yang selanjutnya akan dibicarakan dulu dengan pihak agama lain. Kemudian sebelum disebarluaskan Menteri akan membuat dulu petunjuk pelaksanaannya,” kata E.Z. Muttaqien, salah satu Ketua MUI.

Ternyata fatwa itu keburu bocor dan heboh pun mulai. Melihat keadaan Menteri itu, Hamka kemudian minta izin berbicara dan berkata, menurut seorang yang hadir, “Tidak tepat kalau saudara Menteri yang harus berhenti. Itu berarti gunung yang harus runtuh.”

Kemudian inilah yang terjadi: Hamka yang mengundurkan diri. “Tidak logis apabila Menteri Agama yang berhenti. Sayalah yang bertanggungjawab atas beredarnya fatwa tersebut …. Jadi sayalah yang mesti berhenti,” kata Hamka pada Pelita.

Tapi dalam penjelasannya yang dimuat majalah Panji Masyarakat 20 Mei 1981, Hamka juga mengakui adanya “kesalahpahaman” antara pimpinan MUI dan Menteri Agama karena tersiarnya fatwa itu.

Kepada TEMPO Hamka mengaku sangat gundah sejak peredaran fatwa itu dicabut. “Gemetar tangan saya waktu harus mencabutnya. Orang-orang tentu akan memandang saya ini syaithan. Para ulama di luar negeri tentu semua heran. Alangkah bobroknya saya ini, bukan?” kata Hamka. Alasan itu agaknya yang mendorong lmam Masjid Al Azhar ini menulis penjelasan, secara pribadi, awal Mei lalu.

Di situ Buya menerangkan: surat pencabutan MUI 30 April itu “tidaklah mempengaruhi sedikit juga tentang kesahan (nilai/kekuatan hukum) isi fatwa tersebut, secara utuh dan menyeluruh.” HAMKA juga menjelaskan, fatwa itu diolah dan ditetapkan oleh Komisi Fatwa MUI bersama ahli-ahli agama dari ormas-ormas Islam dan lembaga-lembaga Islam tingkat nasional — termasuk Muhammadiyah, NU, SI, Majelis Dakwah Islam Golkar.

Buya Hamka tercatat sebagai ketua MUI pertama sejak tahun 1975. Keteguhannya memegang prinsip yang diyakini membuat semua orang menyeganinya.

Pada zamam pemerintah Soekarno, Buya Hamka berani mengeluarkan fatwa haram menikah lagi bagi Presiden Soekarno. Otomatis fatwa itu membuat sang Presiden berang ’kebakaran jenggot’.

Tidak hanya berhenti di situ saja, Buya Hamka juga terus-terusan mengkritik kedekatan pemerintah dengan PKI waktu itu. Maka, wajar saja kalau akhirnya dia dijebloskan ke penjara oleh Soekarno.

Bahkan majalah yang dibentuknya ”Panji Masyarat” pernah dibredel Soekarno karena menerbitkan tulisan Bung Hatta yang berjudul ”Demokrasi Kita” yang terkenal itu. Tulisan itu berisi kritikan tajam terhadap konsep Demokrasi Terpimpin yang dijalankan Bung Karno. Ketika tidak lagi disibukkan dengan urusan-urusan politik, hari-hari Buya Hamka lebih banyak diisi dengan kuliah subuh di Masjid Al-Azhar, Jakarta Selatan.

Ketika menjadi Ketua MUI, Buya Hamka meminta agar anggota Majelis Ulama tidak digaji. Permintaan yang lain: ia akan dibolehkan mundur, bila nanti ternyata sudah tidak ada kesesuaian dengan dirinya dalam hal kerjasama antara pemerintah dan ulama.

Mohammad Roem, dalam buku Kenang-kenangan 70 tahun Buya Hamka, menyebut masalah gaji itu sebagai bagian dari “politik Hamka menghadapi pembentukan Majelis Ulama”.

Ulama mubaligh ini, menurut Roem, kuat sekali menyimpan gambaran “ulama yang tidak bisa dibeli“. Walaupun gaji sebenarnya tidak usah selalu menunjuk pada pembelian, kepercayaan diri ulama sendiri agaknya memang diperlukan.

Di Indonesia memang aneh, umat Islam bersikap tegas pada perayaan natal tak boleh. Dari dulu hingga kini Islam selalu di marjinalkan penguasa dan kekuatan tertentu.

Buya Hamka saja harus turun gelanggang karena Fatwa MUI tentang haram natal. Fahri Hamzah mungkin takut bernasib bagai Buya Hamka. Kasihan umat Islam Indonesia pada khususnya, dan dunia pada umumnya.... :( 

pengirim: M. Rachmat Hidayat, Jakarta Timur, sumber islampos/tempo/panji masyarakat


latestnews

View Full Version