View Full Version
Rabu, 15 Jan 2014

Dilema Rakyat Memilih Pemimpin

JAKARTA (voa-islam.com) - Kurang dari 13 minggu lagi atau tepatnya pada tanggal 9 April 2014 mendatang rakyat Indonesia akan melaksanakan pemilihan umum atau biasa disebut pesta demokrasi. Dimana seperti tahun-tahun sebelumnya, rakyat harus memilih calon presiden dan wakil presiden untuk akhirnya diamanahkan mengurusi seluruh kepentingan dan kebutuhan rakyatnya.

Meskipun berdasarkan hasil survei. mayoritas publik yaitu sebanyak 40 persen menyatakan tidak percaya dan sebanyak 39,2 persen publik menyatakan kurang percaya terhadap partai politik. Hanya 9,4 persen publik yang masih menaruh harapan terhadap partai dan sisanya menyatakan tidak tahu (Republika.co.id).

Berbeda dengan pemilu 2009 dimana pesertanya berjumlah 38 parpol, pemilu 2014 nanti hanya akan diikuti oleh 12 partai politik (Kompas.com). Sehingga ketika ditanya mengenai siapa kemungkinan pemimpin yang akan dipilih pun, rakyat merasa bingung.

Karena sudah tidak ada kepercayaan apalagi menaruh harapan pada pejabat pemerintahan yang pada masa kampanye-nya membius rakyat dengan kata-kata manis yang sudah menjadi citra buruk mereka. Karena janji-janji palsu itu terdengar sumbang dan tampaknya semu jika dihadapkan pada keadaan bangsa Indonesia saat ini.

Menjadi rahasia umum jika pejabat-pejabat tinggi di Indonesia kehilangan mukanya di hadapan rakyatnya. Alih-alih mengurusi rakyat, para petinggi ini malah mengurusi perut mereka sendiri.

Sibuk dengan partainya, dan mencari celah untuk menambal dana-dana bekas kampanye untuk kepentingan partainya sendiri saja, Slogan “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat” pun dusta belaka. Yang terjadi sekarang adalah “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk pejabat”.

Banyak kebijakan yang dibuat pemerintah perlahan-lahan akhirnya membunuh rakyat Indonesia karena hanya pro pada kepentingan segelintir orang saja.

. . . Yang terjadi sekarang adalah “dari rakyat,, oleh rakyat dan untuk pejabat”. . .

Berbanding terbalik dengan rancangan APBN yang baru-baru ini ditetapkan oleh DPR, yang mencapai angka yang fantastis yaitu Rp. 1.842,49 triliun. Di belahan Indonesia yang tidak terjamah oleh pemerintah, banyak tubuh yang tumbang hanya karena makan nasi basi.

Lalu, dimana keberadaannya wakil-wakil rakyat kita yang seharusnya jika rakyatnya tidur beralaskan tikar, maka pemimpinnya tidur beralaskan lantai. Karena seharusnya jika kita ingin melihat kesejahteraan suatu rakyat, lihatlah keadaan pemimpinnya. Sebagai “wakil rakyat” tentu pemimpin sebagai “orang kedua” yang keadaannya berada pada satu level di bawah rakyatnya.

Mari sejenak kita tengok asal muasal kelahiran demokrasi. Jika kita lihat dalam setting sosio-historisnya di Barat, demokrasi lahir sebagai solusi dari dominasi gereja yang otoritarian dan absolut sepanjang Abad Pertengahan (abad V-XV M).

Di satu sisi ekstrem, dominasi gereja yang berkolaborasi dengan para raja Eropa menghendaki tunduknya seluruh urusan kehidupan (politik, ekonomi, seni, sosial, dll)  pada aturan-aturan gereja. Di sisi ekstrem lainnya, dominasi gereja ini ditentang oleh para filosof dan pemikir yang menolak secara mutlak peran gereja (Katolik) dalam kehidupan.

Terjadinya Reformasi Gereja, Renaissance dan Humanisme, menjadi titik tolak awal untuk meruntuhkan dominasi gereja itu. Akhirnya, pasca Revolusi Prancis tahun 1789, terwujudlah jalan tengah dari dua sisi ekstrem itu, yang terumuskan dalam paham sekularisme, yakni paham pemisahan agama dari kehidupan.

Agama tidak diingkari secara total, tetapi masih diakui walaupun secara terbatas, yaitu hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan. Lalu hubungan manusia dengan manusia siapakah yang mengatur dan membuat hukumnya? Jawabannya, tentu manusia itu sendiri, bukan Tuhan atau agama. Pada titik inilah demokrasi lahir.

Bagaimanapun juga, meski memiliki akal yang menjadikannya sempurna, manusia tidak akan pernah bisa membuat hukum-hukum untuk dirinya sendiri. Karena apa yang dihasilkannya pun nanti tidak akan sempurna.

Mungkin karena hal ini pula lahir pemikiran “peraturan dibuat untuk dilanggar”. Lalu, kenapa manusia membuat peraturan jika akhirnya dilanggar? Jelas bahwa ini adalah sifat alami manusia. Maka hukum atau peraturan tersebut haruslah dibuat oleh yang mengatur manusia itu sendiri yaitu Tuhan.

Di dalam Islam, Allah menciptakan manusia lengkap dengan peraturan hidupnya, yaitu Al-quran. Di dalam al-Quran terdapat semua hal yang berkaitan dengan perilaku manusia di dunia.

Siapa yang lebih mengetahui keadaan dan kelemahan manusia selain Allah swt, Sang Pencipta manusia itu sendiri? Oleh karena itu, sumber hukum yang benar-benar valid adalah Al-Quran yang diturunkan oleh Allah swt untuk seluruh ummat manusia.

Berkaitan dengan fungsi legislasi, setiap muslim yang beriman kepada Allah SWT, wajib taat kepada syariah Islam yang bersumber dari al-Quran dan As-Sunnah, baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, maupun dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Tidak ada pilihan lain bagi seorang muslim kecuali menerapkan hukum syariah Allah SWT. Allah SWT telah menegaskan,

“Keputusan (hukum) itu hanyalah kepunyaan Allah.” (QS. Yusuf [12]: 40)

Lalu bagaimana kondisinya dengan keberadaan negri kita yang menganut demokrasi? Dimana kedaulatan ada di tangan manusia. Hal ini jelas bertentangna dengan Islam. Tentunya sebagai seorang muslim kita harus cerdas memilih.

Yaitu pilihan yang tidak bertentangan dengan syariat Islam. Kita sebagai rakyat harus memilih sosok pemimpin yang mau menerapkan Islam sepenuhnya dalam bingkai kehidupan. Tentu bukan dalam demokrasi yang secara asas pun sudah bertentangan dengan Islam.

Tetapi dalam bingkai keberadaan khilafah Islamiyah. Jikalau saat ini khilafah belum ada, inilah yang harus dilakukan seorang muslim yaitu menegakkan kembali khilafah Islamiyah. Allahualam bis shawab. [PurWD/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version