Oleh : Abdus Salam
(Ketua Lajnah Siyasiyah Hizbut Tahrir Indonesia DPD Sulawesi Selatan)
Tiga point kesepakatan di dalam kantor Gubernur Sulsel tanggal 7 Pebruari 2014 hasil dialog antara GNP 33 UUD 1945, Pemprov Sulsel, yang diwakili oleh Asisten III Bidang Kesejahteraan Rakyat Pemprov Sulsel, Dr Bambang Arya, dan Kepala Dinas Kesehatan Sulsel Dr. dr. Rahmat Latief pantas diapresiasi.
Tiga point itu antara lain : Pertama, Pemprov Sulsel akan tetap menjalankan program Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) dengan tanggungan 4,2 juta jiwa. Kedua, melalui program Jamkesda ini, Pemprov akan meningkatkan kualitas layanan dengan meningkatkan biaya tanggungan dari 6000 rupiah/orang sakit menjadi 10.000 rupiah/orang sakit. Ketiga, Pemprov Sulsel akan membuat surat edaran ke semua RSUD dan RS Swasta di Sulsel terkait kebijakan melanjutkan program Jamkesda ini.
Kesepakatan itu mengindikasikan penolakan tegas terhadap program SJSN oleh BPJS. Dan penolakan itu wujud dari penolakan terhadap liberalisasi di sektor kesehatan.
Liberalisasi melalui Intervensi Asing
Dan pada faktanya liberalisasi itu melibatkan intervensi asing. Yakni Asia Development Bank (ADB) tahun 2006 yang bertajuk "Financial Governance and Social Security Reform Program (FGSSR). Dalam dokumen tersebut antara lain disebutkan : "ADB Technical Assistance was provided to help develop the SJSN in line with key policies and priorities established by the drafting team and other agencies." (Bantuan Teknis dari ADB telah disiapkan untuk membantu mengembangkan SJSN yang sejalan dengan sejumlah kebijakan kunci dan prioritas yang dibuat oleh tim penyusun dan lembaga lain). Nilai bantuan program FGSSR ini sendiri sebesar US Dolar 250 juta atau 2,25 triliun (kurs 9.000/US Dollar). Selain ADB juga ILO (International Labour Organization) yang bangkit membantu pemerintah Indonesia Indonesia dan para pemangkunya dengan mengusung isu "social security and social protection floor"- perlindungan sosial universal untuk seluruh penduduk yang disampaikan pada Expert Meeting : Learning from regional experiences, Jakarta, 12-15 Desember 2013. Yang terakhir adalah keterlibatan World Bank yang terungkap dari pertemuan ILO tersebut bahwa tengah mempersiapkan skenario implementasi program jaminan pensiun SJSN. Mitchell Winner, pakar jaminan pensiun World Bank Jakarta, menyampaikan desain reformasi program jaminan pensiun dan perluasan kepesertaan jaminan pensiun.
Secara konten UU BPJS telah mengkonstruksi layanan pemenuhan hak dasar kesehatan masyarakat menjadi beban masyarakat secara sistemik. Sehingga wajar muncul banyak penolakan. Selain pemprov Sulsel, pemprov Sumsel juga menolak kebijakan ini. Padahal seharusnya pemenuhan hak dasar kesehatan masyarakat terutama layanan gratis pada masyarakat miskin menjadi tanggung jawab pemerintah.
Penyimpangan pada UU SJSN dan UU BPJS
Beberapa catatan persoalan substansi pada UU SJSN dan UU BPJS ini antara lain :
Pertama, Di dalam UU SJSN pasal 17 ayat (1) disebutkan keharusan setiap orang yang menjadi peserta JKN membayar iuran yang besarannya ditentukan berdasarkan persentase upah atau nominal tertentu. Dengan UU Ini, setiap warga negara dipaksa membayar iuran kepada BPJS untuk mendapatkan layanan kesehatan. Jenis layanan yang didapatkan disesuaikan dengan besaran iuran yang dibayarkan. Bagaimana mungkin layanan kesehatan masyarakat diibaratkan seperti ikatan transaksional jual beli ? Sementara secara faktual ada kelompok masyarakat kategori miskin yang tidak memiliki keberdayaan untuk membayar layanan kesehatan.
Kedua, dengan mengadopsi sistem Asuransi Sosial, dengan mengharuskan pesertanya membayar iuran/premi, sistem JKN sebetulnya tidak pantas disebut sebagai sistem jaminan kesehatan. Karena konsep jaminan kesehatan meniscayakan semua tanggungan atau biaya pemeliharaan kesehatan rakyat ditanggung oleh negara. Sementara dalam sistim JKN, biaya pemeliharaan kesehatan ditanggung masing-masing pribadi atau individu.
Ketiga, dengan mengadopsi sistem asuransi sosial, sistem JKN ini sangat berorientasi keuntungan (profit). Akibatnya, urusan kesehatan rakyat dijadikan lahan bisnis dan korupsi oleh lembaga semacam BPJS. Mengumpulkan dana dari rakyat. Dan kemudian nanti mereka bisa investasikan guna menggali keuntungan.
Kontradiksi Legal Of Frame
Terdapat kontradiksi di antara kerangka legislasi tentang jaminan kesehatan di negeri ini.
Pertama, sebagaimana diketahui bahwa saat ini kebijakan SKN diatur di dalam aturan yang lebih tinggi, yakni PerPres No. 72/2012 sesuai dengan amanah UU No.36/2009 tentang Kesehatan. Sedangkan kebijakan JKN diatur di dalam aturan yang setingkat dengan SKN, yakni PerPres No. 12/2013 sesuai dengan amanah UU No. 40/2004 tentang SJSN dan UU No. 24 tahun 2011 tentang BPJS. Pasal 13 dari UU Kesehatan mengamanahkan agar disusun tata cara penyelenggaraan SJSN di dalam suatu peraturan perundang-undangan. Faktanya, UU SJSN sendiri sudah disahkan 5 tahun sebelum UU Kesehatan. UU BPJS sama sekali tidak menyebutkan UU Kesehatan sebagai alasan pertimbangan hukumnya. UU BPJS disusun hanyalah atas dasar UU SJSN. Tidak dimasukkannya UU Kesehatan sebagai pertimbangan hukum UU BPJS merupakan bukti awal bahwa kebijakan jaminan sosial ‘mengingkari’ kebijakan kesehatan di Indonesia. Ini menjadi tanda tanya besar dalam implementasi pembangunan jangka panjang di bidang kesehatan.
Kedua, PerPres No.12/2013 tentang JKN sama sekali tidak menjadikan kebijakan SKN sebagai dasar pertimbangan hukum. Padahal kebijakan SKN telah disahkan satu tahun sebelum kebijakan JKN. Artinya, kebijakan JKN ini sudah berdiri sendiri dan terpisah dari kebijakan SKN. Hal ini berdampak luas dalam implementasi pembangunan kesehatan di Indonesia yang seharusnya terpadu, berkesinambungan, adil, merata, dan merdeka. Kebijakan JKN dilaksanakan melalui suatu rencana paksa yang semakin jauh meninggalkan pembangunan di bidang kesehatan lainnya, terutama di bidang pelayanan kesehatan dan sumber daya kesehatan. Pemerintah sedang berkhayal jika kebijakan JKN ini diterapkan sesegera mungkin, maka masalah pelayanan kesehatan dapat terselesaikan.
Ketiga, bertentangan dengan UUD 1945 antara lain : 1) Pasal 28H ayat 1 UUD 1945, setiap orang berhak memperoleh pelayanan kesehatan. 2) Pasal 28H ayat 2 UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak mendapat perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. 3) Pasal 28H ayat 3 menjelaskan bahwa setiap orang berhak atas jaminan sosial. Ketiga pasal tersebut menyatakan bahwa setiap orang berhak memperoleh pelayanan kesehatan dengan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan melalui suatu jaminan sosial. 4) Pasal 34 ayat 2 UUD 1945 menegaskan kewajiban negara untuk mengembangkan jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. 5) Pasal 34 ayat 3 UUD 1945 menyatakan negara bertanggung jawab atas fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. Kedua ayat pada pasal 34 tersebut juga menandaskan bahwa jaminan sosial harus didukung oleh fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak, tidak berjalan sendiri, dan tidak saling mengingkari. Dan negara wajib mengembangkan jaminan sosial dengan dukungan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
UU SJSN dan UU BPJS mengindikasikan terjadinya liberalisasi semua sektor termasuk di sektor kesehatan. Menambah deretan liberalisasi di sektor yang lain melalui kerangka legislasi. Di sektor pendidikan UU No 20/2003 dan UU No 9/2009 (BHP). Di sektor Ekonomi UU No 22/2001 (Migas), UU No 23/2010 (Minerba) dan UU No 7/2004 (SDA). Dan sektor-sektor yang lain. Perlu perenungan mendalam untuk merubah referensi ideologi negara negeri ini yang banyak pengamat menyebut sebagai "Neo Liberalis" ke arah referensi ideologi negara yang menjamin pemenuhan layanan umum masyarakat secara menyeluruh. Sebuah ideologi negara yang teruji secara historis, empiris dan konseptual. Yakni ideologi islam melalui penerapan syariah dalam bingkai khilafah. Wallahu a'lam bis shawab.