Tanggal 2 Mei diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Walaupun beberapa tahun belakangan ini, penetapan tersebut digugat oleh para sejarawan, seperti Ahmad Mansur Suryanegara dalam bukunya “Api Sejarah”, karena lebih menghormati Ki Hajar Dewantoro -seorang penganut ajaran kebatinan serta dekat dengan penjajah- dibandingkan dengan ulama-ulama karismatik pendidik umat dan pahlawan Islam yang melawan penjajah, seperti KH. Hasyim As’ari atau KH. Ahmad Dahlan.
Perkembangan pendidikan di Indonesia dikatakan oleh para ahli pendidikan, masih belum menggembirakan. Pendidikan di Indonesia sampai saat ini, dinilai masih sangat berorientasi kepada materialisme dengan kecerdasan otak sebagai mahkotanya. Kecerdasan spiritual atau nilai-nilai keagamaan dengan akhlakul kharimah sebagai buahnya dinomorduakan, dipinggirkan, bahkan belakangan ini cenderung ingin dihilangkan. Secara sederhana pendidikan di Indonesia memisahkan ilmu, kehidupan duniawi dengan agama. Istilahnya sekulerisme.
Dari sistem pendidikan seperti itu –yang bersifat sekuler– hasilnya sudah terbukti sangat mengerikan. Ada seorang guru besar yang cerdas dalam bidang hukum melakukan tindakan korupsi yang merugikan rakyat. Ada seorang guru melakukan tindakan kejahatan seksual kepada gurunya. Ada seorang politisi yang melakukan tindakan asusila. Ada seorang dokter, polisi, pengacara, diplomat, teknisi, arsitektur, dan sebagainya mengkhianati profesinya dengan merugikan pasien, klien dan masyarakat.
Baru-baru ini, dunia pendidikan tanah air, khsususnya Kementerian Pendidikan Nasional yang diketuai oleh M. Nuh ini, kembali mendapatkan tamparan keras dengan dua kasus. Pertama, kasus penyimpangan dan kejahatan seksual terhadap anak-anak di bawah umur, yang terjadi di TK Jakarta International School (JIS).
Kedua, tewasnya taruna Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaram (STIP) Dimas Dikita Handoko. Diguga Dimas tewas akibat kekerasan yang dilakukan oleh para seniornya. Dua kasus yang terjadi hampir bersamaan ini, jelas-jelas menampar dunia pendidikan di Indonesia, di tengah usaha Kementerian Pendidikan Nasional mensosialisasikan Kurikulum 2013.
Akan seperti ini teruskah pendidikan di Indonesia, negeri yang mayoritas penduduknya beragama Islam? Tentu saja jawabannya tidak. Pendidikan harus dikembalikan kepada tujuannya awalnya, yaitu menjadikan orang-orang bertaqwa dan berakhlakul karimah. Nilai-nilai Islam harus menjadi dasar dari setiap pelajaran yang dipelajari oleh siswa, pelajar, sampai dengan mahasiswa.
Aqidah dan tauhid harus menjadi pondasi para penuntut ilmu mulai dari jenjang pendidikan PAUD, TK, SD, SMP, SMA, sampai dengan perguruan tinggi. Baik di sekolah negeri, sekolah swasta, sekolah agama, maupun pesantren. Tujuannya agar ilmu yang dimilikinya menghantarkan ia dekat kepada Allah SWT. Menjadi para pejuang untuk tegaknya hukum-hukum Allah di bumi ini, dan juga ilmu yang dimilikinya dapat digunakan untuk membantu orang banyak. Wallahu’alam. [PurWD/voa-islam.com]
* Penulis: Adi Perman Sidiq