View Full Version
Jum'at, 20 Jun 2014

Berharap Pada Demokrasi? No Way!

Menjelang pilpres 9 Juli mendatang, Kampanye Politik yang dilakukan capres-cawapres terus mendapat sorotan publik. Capres-Cawapres pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa mendapat sorotan dari kalangan aktivis perempuan. Kedua pasangan ini dinilai minim isu tentang pemberdayaan dan kesetaraan gender.

Salah seorang aktivis perempuan yang pernah terlibat membidani lahirnya Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, Ita Fatia Nadia mengatakan bahwavisi misi Prabowo-Hatta polanya mirip cara pandang rezim Orde Baru yang  memandang perempuan sebagai kelompok rentan yang harus dilindungi.

Ita berpendapat, visi misi Prabowo-Hatta soal perempuan akan merugikan kaum perempuan ke depan. Pasalnya, mereka memandang perempuan sama dengan anak-anak, difabel yang dikategorikan sebagai kelompok rentan yang harus dilindungi. Padahal, perempuan itu harus dipandang sama dengan laki-laki, memiliki kemandirian dan integritas sebagai manusia.

Cara pandang yang menempatkan perempuan sebagai kelompok rentan ini, sambung Ita, akan terus berpotensi menjadikan perempuan sebagai kelompok yang rentan terhadap perilaku kekerasan. Perempuan akan cenderung dinilai sebagai pelengkap penderita semata. Dan cara pandang seperti ini, menurut Ita, tak ubahnya seperti pola Orde Baru. Padahal lanjutnya, perempuan harus diberikan ruang gerak yang setara dengan laki-laki di setiap lini pemerintahan dan pembangunan ke depan.

Harapan akan hadirnya solusi bagi persoalan perempuan terus mewarnai perjuangan kaum gender. Mereka masih memupuk harapan, bahwa persoalan perempuan bisa diselesaikan jika kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemimpin baru nanti berpihak pada perempuan. Maka, kalangan ini terus menyoroti visi-misi capres-cawapres yang ada dari sisi keadilan dan kesetaran gender.

Maka, besar harapan para penggiat gender ini kepada pemimpin baru agar mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender.

 

Demokrasi Sistem Rusak

Demokrasi yang diterapkan saat ini di banyak negara di dunia, termasuk Indonesia, adalah bentuk pemerintahan yang menjadi trend dunia pasca sekularisme politik di Eropa selepas Perjanjian Westphalia 1648. Kekuasaan politik benar-benar dilepaskan dari kekuasaan agama agar dapat benar-benar berjalan sesuai dengan idealitas rasionalitas manusia. Perjanjian Westphalia dianggap sebagai titik lahirnya negara-negara nasional yang modern. Melalui Perjanjian Westphalia hubungan negara dilepaskan dari hubungan kegerejaan (keagamaan). Perjanjian Westphalia meletakkan dasar bagi susunan masyarakat Internasional yang baru, baik mengenai bentuknya yaitu didasarkan atas negara-negara nasional (tidak lagi didasarkan atas kerajaan-kerajaan) maupun mengenai hakikat pemerintahannya yakni pemisahan kekuasaan negara dan pemerintahan dari pengaruh gereja (agama).

Demokrasi meniscayakan sterilisasi dari aturan Tuhan, sehingga kehidupan diatur dengan aturan yang lahir dari idealitas rasionalitas manusia. Maka standar baik-buruknya bukanlah pada standar halal-haram.

Demokrasi mengakomodir kebebasan manusia, antara lain kebebasan berpendapat dan kebebasan bertingkah laku. Ide Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG) ini tentu saja dijamin dalam demokrasi yang mengagungkan kebebasan.

Keinginan para penggiat gender agar terwujud keadilan dan kesetaraan gender diberbagai lini kehidupan merupakan ide yang absurd. Dalam terminologi kaum feminis, gender sendiri didefinisikan sebagai perbedaan perilaku (behavioral differences) atau sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan kultural. Karena itu, gender juga sering disebut sebagai ‘jenis kelamin sosial’.

Berdasarkan kerangka berfikir ini, kaum feminis kemudian menolak konsep pembagian peran sosial yang dikaitkan dengan perbedaan biologis. Mereka terobsesi untuk mengubah masyarakat yang patriarki menjadi masyarakat yang berkesetaraan. Baik melalui perubahan secara kultural, maupun struktural.

Secara kultural, mereka berupaya merubah pola pendidikan dan pengasuhan anak yang tidak membeda-bedakan antara anak laki-laki dan perempuan, mengubah persepsi agama yang dianggap bias gender, dan lain-lain.

Secara struktural, mereka berupaya mengubah kebijakan yang patriarki menjadi kebijakan yang pro perempuan, atau yang berkesetaraan. Semisal tentang kebijakan kuota 30 persen keterwakilan perempuan di parlemen.

Jika dicermati, secara konseptual maupun praktis, ide kesetaraan gender ini sangat absurd dan utopis. Hal ini dikarenakan mereka seolah tidak menerima mengapa manusia lahir dengan membawa kodrat maskulinitas dan feminitas, sementara pada saat yang sama, mereka tidak mungkin mengabaikan fakta, bahwa di dunia ini ada dua jenis kelamin yang berbeda, laki-laki dan ada perempuan. Perbedaan kelamin manusia ini memiliki peran dan fungsi yang berbeda. Semisal perempuan hamil, melahirkan dan menyusui, tidak bisa digantikan oleh laki-laki.

Dalam kacamata feminis, adanya ketidaksetaraan gender dianggap sangat merugikan perempuan, karena ketidaksetaraan ini memunculkan berbagai ketidakadilan sistemik terhadap perempuan. Seperti ketidakadilan dalam bidang ekonomi, politik, sosial dan budaya.

Kalangan feminis menilai bahwa liberlisasi/pembebasan kaum perempuan akan membuat kaum perempuan lebih maju. Liberlisasi dianggap sebagai pondasi untuk mencapai kemajuan. Isu liberalisasi ini kemudian menjadi isu sentral perjuangan mereka.

Liberalisasi menjadikan kaum perempuan bebas mengekspresikan dirinya, bekerja di bidang apapun yang diinginkannya, berbuat apapun yang disukainya, tanpa harus merasa takut dengan berbagai tabu (termasuk konsep kodrat) yang selama ini dianggap mengekang mereka.

Isu liberalisasi ini membawa dampak buruk bagi kaum perempuan. Masyarakat secara keseluruhan kian rancu terhadap relasi dan pembagian peran di antara laki-laki dan perempuan. Runtuhnya struktur keluarga, meningkatnya angka perceraian, merebaknya free sex, meningkatnya kasus-kasus aborsi, dilema wanita karir, sindrom Cinderella complex, eksploitasi perempuan, pelecehan seksual, anak-anak bermasalah, dan lain-lain.

Melihat realitas dari arus liberalisasi yang diusung oleh kaum feminis, sangat jelas, liberalisasi hanya akan membawa keburukan bagi kaum perempuan dan masyarakat. Liberlisasi adalah jargon kosong yang tak layak diemban, apalagi diperjuangkan.

Kalangan feminis menilai bahwa salah satu faktor penyebab langgengnya ketidakadilan gender adalah budaya patriarki yang diantaranya dilegitimasi oleh keberadaan pandangan keagamaan yang dianggap bias gender (sexist) dan misognis (pembenci perempuan). Dalam hal ini, Islam menjadi sasaran bidik utama kalangan feminis, karena dalam Islam terdapat teks-teks keagamaan yang terkesan mengukuhkan terjadinya rezimisasi budaya Islam laki-laki dan sekaligus merendahkan kaum perempuan. Seperti aturan jilbab/hijab, perbedaan hak waris, poligami, hak talak pada suami, konsep nusyuz, perwalian, persaksian, kepemimpinan laki-laki dalam keluarga dan kekuasaan, dan lain-lain.

Sesungguhnya perbedaan hukum yang dianggap merugikan kaum perempuan, adalah kekhususan hukum saja, tidak ada kaitannya dengan pembedaan derajat laki-laki dan perempuan, melainkan terkait dengan pemecahan problem kehidupan manusia yang terdiri atas laki-laki dan perempuan. Bahkan jika dicermati secara objektif, maka akan didapati bahwa Islam sangat memuliakan kaum perempuan. Kalaupun ada penyimpangan dalam implementasi hukum Islam, maka harus dipahami bahwa itu merupakan kesalahan penerapan saja yang dalam kondisi tidak adanya sistem Islam.

Islam : Jalan Kemuliaan

Dalam perspektif Islam, kemuliaan seseorang tidak dipandang dari jenis kelamin laki-laki atau perempuan, tetapi dari derajat ketakwaannya kepada Sang Pencipta manusia, alam semesta dan kehdiupan, yaitu kepatuhan dan ketaatannya kepada seluruh aturan yang diturunkan Allah SWT untuk mengatur seluruh sendi kehidupan. Maka, bersandar kepada ide KKG adalah sandaran yang salah. Semestinya sandarannya dikembalikan kepada aturan Pencipta, Allah SWT.

Islam memandang bahwa persoalan yang muncul pada sebagian individu, termasuk persoalan perempuan, adalah persoalan manusia/masyarakat secara keseluruhan dengan pandangan yang holistik dan sistemik. Dengan begitu, solusi yang dihasilkan pun akan menyelesaikan persoalan secara tuntas dan menyeluruh. Persoalan perempuan bukan hanya milik kaum perempuan yang harus diselesaikan oleh kaum perempuan. Persoalan kaum perempuan yang juga dialami oleh laki-laki membutuhkan solusi yang komferensif. Solusi tersebut ada dalam hukum-hukum Islam.

Perempuan akan maju bukan dengan mengembang liberalisme dan berupaya meliberalisasikan kaum perempuan. Ide liberalisasi tidak akan memajukan kaum perempuan, namun hanya akan menjerumuskan kaum perempuan ke lembah kehinaan. Memajukan kaum perempuan adalah dengan mengemban ideologi Islam. Dengan meningkatkan taraf berfikir kaum perempuan dengan ideologi Islam, kemajuan kaum perempuan menjadi sebuah keniscayaan.

Harapan akan hadirnya solusi atas berbagai persoalan perempuan tidaklah cukup digantungkan pada janji-janji para pemimpin baru.

Kampanye untuk menghadirkan konsep jaminan Pemberdayaan ekonomi dan politik bagi Perempuan, tidak akan menyelesaikan masalah. Solusi tuntas adalah mencampakkan sistem sekuler demokrasi dan sistem ekonomi liberal. Menyelamatkan masa depan perempuan Indonesia dan penuntasan masalah perempuan adalah dengan penegakkan Negara Khilafah Islamiyyah.

Khilafah semestinya diperjuangkan agar tegak, sehingga rahmat bagi seluruh alam akan terwujud. Indonesia akan lebih baik dengan tegaknya Khilafah. Khilafah menajdi harapan baru terwujudnya Indonesia yang lebih baik.

Maka, masih berharap pada demokrasi tidak akan mengubah apapun, hanya akan melanggengkan kesengsaraan dan kehinaan kaum perempuan. Katakan tidak pada demokrasi! Wa Allahu ‘alam. [PurWD/voa-islam.com]

  • Penulis: Lilis Holisah, Pendidik Generasi di HSG SD Khoiru Ummah Ma’had al-Abqary, Serang – Banten.

latestnews

View Full Version