View Full Version
Kamis, 28 Aug 2014

Harta sebagai Sumber Zakat

Oleh Ust Ahmad Shonhaji (Deputi Direktur Zakat dan Wakaf Dompet Dhuafa)

Dalam sebuah harta ada hak dari muslim lain. Kita pun bertanya, apakah harus ada zakat dari harta yang kita milki?

Zakat menjadi pembersih dari harta yang kita miliki. Harta yang tak dizakatkan akan menimbulkah mudharat bagi pemiliknya Sejarah Islam mengajarkan pada kita bagaimana seorang yang sudah mampu menunaikan zakat, tetapi ia enggan menunaikan zakat. Mari kita belajar pada seorang bernama Tsa’labah.

Tsa’labah adalah yang sangat miskin. Saat salat berjamaah ia selalu pulang terburu-buru karena kainnya cuma satu untuk dipakai bergantian dengan istrinya. Sampai satu ketika Tsa’labah menghadap kepada Rasulullah, “Ya Rasululllah, berikan kepadaku jalan untuk menjadi kaya,” ucapnya memelas di hadapan Nabi. Nabi menjawab, “Tsa’labah, terimalah dengan tawakal rezeki yang ada. Nikmatilah dengan rasa sukur, pasti Allah akan membalasmu.”

Tsa’labah berkeras ingin menjadi hartawan. Rasulullah pun memberinya modal sepasang domba untuk dijadikannya berusaha. Dengan izin Allah, ternaknya berkembang biak hingga berjumlah ratusan. Kebun kurmanya luas dan subur. Tsa’labah pun semakin lupa dengan Islam karena hartanya. Solat berjamaah telah ditinggalkan karena sibuk mengurus ternak dan kebun.

Tsa’labah akhirnya terkenal sebagai hartawan. Ternak yang banyak dan kebun yang subur sudah dimilikinya. Sampai akhirnya wahyU untuk berzakat turun kepada Rasulullah. Nabi pun meminta Ali menagih zakat kepada Tsa’labah. “Ali, Tsa’labah sudah mencapai martabat hartawan yang wajib mengeluarkan zakat. Tagihlah kepadanya.”

Ali pun datang kepada Tsa’labah untuk menagih zakat kepadanya. “Rasulullah mengatakan, engkau harus membayar sebagian dari kekayaanmu untuk fakir miskin.”

“Buat apa? Zakat bagi fakir miskin?’ jawab Tsa’labah seraya mengernyitkan dahi. “Maaf, Ali. Orang-orang miskin itu adalah pemalas-pemalas. Aku sendiri, kalau duduk berleha-leha, mana mungkin bisa mengumpulkan kekayaan sebanyak ini?”

“Tapi rukun Islam telah menetapkan, atas orang yang mampu, diwajibkan menunaikan zakat sekadar sebagian kecil,” jawab Ali.

Tsa’labah naik pitam. “Apa? Aku harus memberi makan kepada mereka, yang Allah sendiri tidak sudi memberikan rezeki atas orang-orang itu? Tidak. Saya menolak membayar zakat.”

Rasulullah berduka memikirkan Tsa’labah. Ia kasihan, kalau-kalau Tsa’labah dilaknat lantaran pembangkangannya itu. Maka disuruhlah Ali menagih sampai tiga kali. Setelah Tsa’labha masih juga menampik, Rasulullah hanya menggumam, “Hartanya tidak menyelamatkan dirinya”

Ramalan Rasulullah pun benar. Tiba-tiba wabah menyerang ternak Tsa’labah. Hama mengeringkan tanam-tanamannya. Sebelum ludas seluruhnya, Tsa’labah datang menghadap Nabi hendak membayar zakat. Nabi menolak zakat yang akan dibayarkan Tsa’labah. Lalu Tsa’labah datang kepada Abubakar dengan niat serupa. Abu Bakar menyahut, “Maaf, aku tak kan menerima yang ditolak oleh Rasulullah.”

Hancurlah kehidupan Tsa’labah. Kekayaannya musnah, nasibnya telunta-lunta, dan dosanya menggunung. Jadi, mengapa masih ada yang rela menjadi Tsa’labah di kurun ini, ketika sedekah dan zakat masih ada yang mau menampung? Tidakkah tergerak hati kita untuk menunaikan kewajiban agama demi kepentingan kemanusiaan dan keberuntungan bersama? Bukankah dengan mengeluarkan zakat, para hartawan tidak akan jatuh melarat? 

Dengarkanlah wahai hati yang bening, betapa Rasulullah mengingatkan,”Kokohnya dunia ini karena empat perkara. Dengan ilmu para ulama, dengan kedermawanan orang-orang kaya, dengan doa-doa orang fakir miskin, dan dengan keadilan para penguasa.”

Kisah Tsa’labah mengajarkan kita untuk berzakat. Ada hak seorang muslim pada zakat yang dimiliki seseorang. Berzakatlah, inshaAllah akan memberi keberkahan pada kita dalam bekerja. Harta yang tak dizakatkan hanya memberi mudaharat bagi pemiliknya. (man/evi/advertorial)

Sumber foto: http://www.kampoengternak.or.id/


latestnews

View Full Version