Sahabat VOA-Islam yang Dirahmati Allah SWT...
Kenaikan BBM yang telah ditetapkan oleh pemerintah (Selasa,18/11/2014) tepat pukul 00.00 WIB, memunculkan berbagai protes dari berbagai kalangan masyarakat. Protes penolakan ini pun terjadi bukan setelah adanya ketetapan pemerintah tentang dinaikkannya BBM, namun sejak awal kali isu kenikan BBM ini ada.
Alasan yang dikemukakan oleh pemerintah, tentu membuat masyarakat tidak mampu untuk berharap banyak, bahkan masyarakat pun hanya mampu menjerit dalam kesakitan. Subsidi BBM yang pada realitasnya belum mampu memberikan kesejahteraan pada rakyat, kini harus berakhir dengan adanya pencabutan subsidi BBM.
Menurut Susi, BBM bersubsidi adalah sumber maksiat karena memancing orang untuk menyelewengkannya. "Penyaluran subsidi negara akhirnya tidak tepat sasaran," kata dia dalam diskusi bersama pengusaha perikanan di kantornya [tempo.com/11/11/2014].
Alasan diatas tentu bukanlah alasan yang tepat, bahkan apabila solusi yang dipakai untuk menyelesaikan permasalahan di atas adalah dengan menaikannya harga BBM dan mencabut subsidi, sungguh tidaklah rasional. Negeri ini memiliki potensi SDA luar biasa yang mampu menjadikan kehidupan bangsa indonesia sejahtera. Luas hutan indonesia 94.432.000 ha [bank dunia 2010] mampu menghasilkan pendapatan Rp. 2.000,- Triliun, luas lahan pertanian sekitar 188 juta hektar dan hampir seluruhnya bisa difungsikan sebagai lahan pertanian, dan masih banyak lagi data yang lain terkait potensi SDA Indonesia. [Mediaumat.com/edisi 316]
Produksi batubara, misalnya, mencapai 421 juta ton tahun 2013. Jika harga produksi rata-rata perton sebesar US$ 20 dan harga pasar tahun 2014 US$ 74 per ton maka potensi pendapatannya mencapai Rp 250 triliun. Contoh lainnya tembaga. Pada tahun 2012, produksinya mencapai 2.4 juta ton. Biaya produksinya sebesar US$ 1,24 per pound dan harga jualnya sebesar US$3.6 per pound (Laporan Keuangan PT Freeport McMoran, 2013). Dengan demikian, potensi pendapatannya sebesar Rp 124 triliun. Dari dua komoditas ini saja potensi pendapatannya sudah mencapai Rp 374 triliun. Sudah lebih dari cukup untuk menutupi belanja subsidi BBM yang nilainya mencapai Rp 291 triliun.
Negeri nan amat kaya tentu harus bisa menjadikan rakyat nya sejahtera, namun karena tidak mampu nya pemerintah dalam mengelola kekayaan tersebut maka terjadilah liberalisasi migas di negeri ini. Harga-harga semakin naik, dan rakyat pun semakin tercekik. Inilah gambaran buruknya pengelolaan SDM di sektor migas yang terjadi dalam negeri ini dikarenakan diterapkannya sistem kapitalis. Membiarkan tangan-tangan asing dengan bebas mengendalikan pengelolaan migas, hingga akhirnya sampai kepada liberalisasi migas.
Kebijakan menaikan BBM merupakan implikasi penerapan sistem Kapitalisme yang digunakan dalam mengelola ekonomi negara ini termasuk dalam penyusunan APBN
Rakyat pun menjadi korban, laki-laki dan perempuan kini tak mampu menghentikan liberalisasi ini. Perempuan pun harus kembali menjadi tenaga pekerja yang menghalalkan segala cara. Lagi-lagi solusi yang diberikan adalah solusi yang menimbulkan permasalahan baru. Kebijakan menaikan BBM merupakan implikasi penerapan sistem Kapitalisme yang digunakan dalam mengelola ekonomi negara ini termasuk dalam penyusunan APBN.
Jadi, siapapun rezimnya, selama masih tunduk kepada Kapitalisme, akan bersikap sama, termasuk rezim Jokowi yang mengklaim merakyat. Problem yang dihadapi Pemerintah dan masyarakat negara ini, termasuk dalam masalah energi, sesungguhnya amat mudah solusinya jika negara ini diatur berdasarkan syariah Islam. Dalam sistem tersebut, misalnya, barang-barang tambang yang jumlahnya melimpah adalah milik umum (rakyat) yang tidak boleh diserahkan kepada swasta apalagi asing. Negara seharusnya mengelola semua itu dengan baik dan hasilnya digunakan untuk kepentingan rakyat.
Untuk itu satu-satu jalan untuk membebaskan diri penjajahan ini adalah dengan menegakkan Khilafah yang akan menerapkan syariah Islam. Walhasil, penegakan Khilafah seharusnya menjadi agenda utama bangsa ini untuk membebaskan diri dari penjajahan Kapitalisme.
Penulis: Kania Halisandi (Mahasiswi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)