Seperti yang ramai diberitakan, hujan yang mengguyur Banjarnegara dan sekitarnya sejak Rabu hingga Kamis (10-11/12/2014), selain mengakibatkan meluapnya sungai Serayu yang menyapu beberapa kawasan persawahan di daerah lintasan aliran sungai serayu dari kabupaten wonosobo - Banjarnegara - Banyumas. Namun Kabupaten Banjarnegara menjadi kawasan yang paling banyak mengalami kerusakan, salah satunya ialah akses jembatan sampih yang menghubungkan desa Bandingan kecamatan sigaluh dengan kecamatan sukoharjo wonosobo. [http://youtu.be/N_GXrTisOj4]
Tak berhenti sejenak musibah pun nampaknya masih berlanjut, menurut narasumber yang dihubungi oleh penulis tepat pada Jumat (12/12), sekitar pukul 17.30 WIB, juga terjadi longsor hebat di Dusun Jemblung, Desa Sampang, Kecamatan Karangkobar, Banjarnegara, Jawa Tengah. Dalam kejadian tersebut, beberapa ratusan rumah tertimbun longsoran dari tebing terjal di kawasan tersebut.
Badan Penanggulangan Bencana melansir sebanyak 32 korban telah ditemukan tewas dan 76 lainya masih dalam pencarian sampai informasi ini direlease. Tetapi jumlah akan terus bertambah karena proses pencarian korban hilang terus berlangsung. Pencarian dilakukan oleh gabungan tim SAR, TNI, Polri dan tim Relawan SAR dari berbagai daerah juga Aktivis Kemanusiaan. Kejadian ini sudah merenggut puluhan korban jiwa dan masih banyak lagi yang dinyatakan hilang serta puluhan luka-luka. Adapun beberapa Korban luka sementara ini dirawat di Puskesmas terdekat dan RSUD Banjarnegara.
Kira-kira tak lekang sewindu lalu juga telah terjadi musibah serupa yakni longsor di Sijeruk Kecamatan Banjarmangu yang juga tetangga kecamatan karang kobar. Namun musibah kali ini memang lebih dahsyat dari sebelumnya. Bila 2006 lalu Sijeruk Banjarnegara dilanda longsor yang tak kalah hebat dan menelan korban jiwa hampir sebagian besar pendududk desa, bahkan sejumlah orang, hewan pepohonan dan rumah rumah penduduk sebagian tertimbun tanah, maka kejadian longsor ka
li ini pula berpesan dengan suatu pemandangan yang sama terlihat menyayat hati terulang kembali. Namun tak kejam dirasa bila itu hanya sebagai wacana yang juga akan terus terulang bila tak segera diambil hikmahnya sebagai peringatan dariNya.
Seni yang Lestari atau awal Petaka Mati
Beberapa tahun terakhir booming seruan mempopularkan kearifan loka di Banjarnegara, di antaranya tradisi tari "embeg" atau lebih dikenal dengan “kuda lumping". Beberapa tahun terakhir kesenian ini menjadi ajang promosi wisata kebudayaan yang cukup gencar dipopulerkan dari anak-anak sampai remaja dewasa di masyarakat, bahkan tak berlebihan bila menjadi keunggulan yang diselenggarakan di berbagai jenjang sekolah dan perlombaan. Akal nafsu manusia memang selalu meminta pembenaran bahwa inilah melestarikan tradisi parade budaya sebagai wujud apresiasi dan penghargaan yang tinggi terhadap budaya lokal.
Bila ini sebagai dalih yang kuat sejalan dirasa baik, tapi hal ini tidak berlaku bila ternyata malah bertentangan dengan aturan pemilik jagat ini, Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Alih-alih berharap dianggap mampu mempercepat perkembangan sektor kepariwisataan yang bermuara kepada peningkatan perekonomian masyarakat. Tapi apa dikata, bencana akhirnya turun juga datang, mungkin hari ini hanya menyisakan isapan jempol yang menggoreskan luka dan musibah melara-lara.
Embeg atau kuda lumping merupakan kesenian tari yang lebih bisa dikatakan “ritual mengundang roh halus" dengan di iringi suara gamelan, gending, gong dan lain-lain, serta seorang sinden yang melantunkan lirik-lirik yang mendayu-dayu.
Bila sebagian awam mengatakan sisi keunikan dari tari ini tapi boleh juga sebagai seorang muslim bisa menyuarakan bahwa ini bertentangan dengan keimanan karena adanya unsur mistis yang justru mengikis keimananya. Betapa tidak, karena biasanya para penari malah dianggap hebat bila sudah kesurupan, kemudian melakukan atraksi kekebalan dan kekuatan diluar akal waras, atraksi seperti makan kemenyan, rerumputan, bunga, mengupas kelapa dengan gigi, makan beling (pecahan kaca), dan atraksi kekebalan tubuh terhadap golok maupun pecut. Hal aneh lainya ialah ritual yang dilakukan sebelum memulai pertunjukan. Biasanya seorang pawang atau paranormal "dukun" akan melakukan ritual untuk mempertahankan cuaca agar tetap cerah, karena biasanya dilakukan dilapangan terbuka.
“Allah memerintahkan kepada kaum Mukminin agar tidak mendiamkan saja kemungkaran terjadi di sekitar mereka sehingga azab tidak menimpa secara merata kepada mereka. Di dalam Shahih Muslim dari Zainab binti Jahsy bahwasanya ia bertanya kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah, apakah kami akan dibinasakan padahal ada orang-orang shalih di tengah kami.?” Beliau menjawab, “Ya, bila keburukan telah demikian banyak.”
Bila memang benar adanya realita ini, tentu menjadi renungan tersendiri bagi para tokoh dan pemimpin beserta masyarakat untuk tak terus bersikap kritis terhadap syariat-Nya, bahwa ternyata sang Kuasa Pun juga tak pernah berhenti mengingatkan hambaNya dengan segala cara dan kuasa-Nya, bahkan jauh lebih bersyukur itu semua ialah bentuk kasih sayang agar terus memperbaiki diri dan mendekatkan diri dg ketaatan kepadaNya menjauhi lubang-lubang kebinasaan. Wallahua`lam. [PurWD/voa-islam.com]