View Full Version
Rabu, 17 Dec 2014

Jokowi dan Pencabutan Subsidi BBM

Oleh: Abdul Halim                

Sahabat VOA-Islam.com...

Ditengah-tengah turunnya harga minyak dunia dimana sekarang sudah mencapai level USD 55 per barelnya (padahal asumsi APBNP 2014 sebesar USD 105 per barel), Presiden Jokowi tetap nekat menaikkan harga BBM sebesar Rp 2.000 sehingga harga Premium menjadi Rp 8.500 dan Solar Rp 7.500, sementara harga Pertamax tetap Rp 9.500 per liter.

Logikanya, karena harga Pertamax mengikuti trend harga minyak internasional, seharusnya sekarang turun menjadi Rp 8.300 per liternya, sehinggga lebih rendah dari harga Premium. Padahal Pertamax oktannya 92, sedangkan Premium hanya 88. Dengan demikian pemerintahan Jokowi untung besar dengan naiknya konsumsi Pertamax pasca naiknya harga Premium dan Solar. Pemerintahan rezim Jokowi tampaknya sudah terlanjur menaikkan harga Premium dan Solar, sehingga lupa untuk menurunkannya. Sementara perekonomian rakyat semakin menderita dengan naiknya berbagai harga kebutuhan pokok sehari-hari.

Berdasarkan data dari Kementerian ESDM, konsumsi BBM bersubsidi yang terdiri dari BBM, Bahan Bakar Nabati (BBN) dan LPG (Liquid Petroleum Gas) 3 kg telah dipatok APBN 2014 sebesar Rp 211 triliun. LPG sendiri bahan dasarnya adalah minyak bumi seperti premium dan solar, berbeda dengan LNG (Liquid Natural Gas) dan CNG (Compressed Natural Gas) yang bahan dasarnya adalah gas alam yang tidak mendapat subsidi. Subsidi sebesar itu belum termasuk subsidi listrik yang mencapai hampir Rp 100 triliun. Jadi total subsidi energi mencapai lebih dari Rp 300 triliun.

Namun hingga kuartal pertama tahun ini, BBM bersubsidi yang digunakan telah mencapai 24 persen sehingga terjadi peningkatan cukup signifikan atas penyaluran BBM bersubsidi. Diperkirakan penggunaan BBM bersubsidi akan melonjak tajam tahun ini jika pemerintaan Jokowi tidak mampu pengelolaannya.  

Jika mengutip laporan World Bank triwulan pertama tahun ini, lembaga keuangan internasional itu memperkirakan tahun ini akan terjadi lonjakan subsidi BBM hingga Rp 267 triliun atau kelebihan Rp 56 triliun dari patokan Rp 211 triliun, suatu jumlah yang cukup besar jika subsidi tidak dicabut. Maka World Bank merekomendasikan dua opsi agar pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi jika ingin mengurangi lonjakan anggaran subsidi tersebut.

Pertama, menaikkan harga BBM sebesar Rp 2.000 per liter untuk premium dan Rp 1.000 per liter untuk solar. Maka akan terjadi penghematan sebesar Rp 45 triliun tahun 2014 dan Rp 97 triliun tahun 2015. Kedua, memperkecil disparitas harga BBM bersubsidi dengan harga pasar internasional, yakni menaikkan harga premium 30 persen dan solar 50 persen, dimana harga internasional saat ini mencapai Rp 10.000 per liter. Maka opsi kedua ini akan mampu menghemat anggaran Rp 69 triliun tahun 2014 dan Rp 144 triliun tahun 2015. Terbukti saran World Bank tersebut dengan patuh telah dilaksanakan pemerintahan Jokowi.

Dengan subsidi BBM Rp 211 triliun padahal besaran APBN 2014 Rp 1820 triliun, berarti 12 persen APBN hanya habis untuk subsidi BBM. Belum lagi pembayaran hutang luar negeri beserta bunganya yang mencapai Rp 220 triliun, sehingga 25 persen APBN habis hanya untuk mencicil hutang luar negeri dan subsidi BBM. Mayoritas subsidi BBM habis digunakan untuk transportasi.

Padahal Indonesia telah berubah dari negara pengekspor minyak sehingga pernah menjadi anggota OPEC, sekarang menjadi negara pengimpor minyak utama dunia. Produksi minyak bumi Indonesia terus menurun dari tahun ke tahun, dimana tahun lalu hanya 840 ribu barrel per hari (bph) sementara kebutuhannya mencapai 1,4 juta barrel per hari dan akan terus mengalami peningkatan 8 persen per tahun seiring dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi nasional. Jika subsidi BBM terus dipertahankan seperti sekarang ini, maka dalam 7 tahun mendatang bisa mencapai Rp 500 triliun per tahun.

Namun tampaknya Allah Swt masih mencintai bangsa dan negara ini meski sering dicoba dan diuji dengan berbagai musibah berupa bencana alam. Terbukti ditengah-tengah persediaan BBM semakin menipis dengan jarang ditemukannya ladang minyak baru, ladang gas baru justru bermunculan dan jumlahnya semakin banyak, sehingga kekuatan energi bangsa dan negara kita masih tetap besar. Belum lagi energi panas bumi (geothermal) terbesar di dunia, dimana 48 persen berada di bumi Indonesia. Pasalnya jumlah gunung berapi di Indonesia baik di daratan atau lautan mencapai 125 gunung, yang semuanya bisa dieksplorasi untuk menghasilkan panas bumi. Belum lagi energi batubara yang termasuk salah satu terbesar di dunia, juga energi nuklir yang belum sempat dimanfaatkan secara maksimal melalui dibangunnya PLTN dan sumber energi lainnya termasuk energi terbarukan.

Sudah semakin jelas sekarang gas telah mengeser minyak yang menjadi kebutuhan pokok energi rakyat Indonesia. Kalau sebelumnya minyak menjadi primadona energi, maka sekarang gas telah mengambilalih peran sebagai sumber energi utama di Indonesia terutama pada pasar domestik. Pasalnya, mulai tahun 2013 konsumsi gas bumi untuk kebutuhan domestik lebih besar daripada minyak bumi. Sebab alokasi gas bumi untuk domestik terus meningkat rata-rata 9 persen per tahun semenjak tahun 2003. Tahun 2013 lalu alokasi gas untuk domestik mencapai 3.774 miliar BBTUD atau 52,1 persen dari total penyaluran gas sacara nasional.

Padahal alokasi gas bumi untuk kebutuhan domestik tahun 2012 baru 3.550 BBTUD atau 49,5 persen dari total penyaluran gas secara nasional. Sedangkan tahun 2014 ini alokasi gas bumi untuk kebutuhan konsumen domestik kembali naik sesuai kontrak menjadi 3.782 miliar BBTUD atau 52,7 persen dari total penyaluran gas secara nasional.

Karena gas sudah menjadi kebutuhan pokok energi secara nasional yang melebihi minyak bumi, maka sudah waktunya pemerintahan Jokowi mensubsidi gas, bukan malah akan menaikkannya pada awal tahun ini terutama tabung 3 kg yang menjadi kebutuhan pokok rakyat kecil.

Memang diakui dengan dikuranginya subsidi BBM maka berbagai harga kebutuhan pokok akan mengalami kenaikan dan jumlah keluarga miskin akan bertambah. Seharusnya pemerintahan Jokowi tidak mencabut subsidi BBM, sebab masih ada alternatif lainnya seperti memberantas mafia migas yang merugikan negara mencapai USD 6 miliar pertahunnya, juga menaikkan pajak. Sebab jika pajak tidak dinaikkan, maka lambat atau cepat negara akan collaps secara ekonomi yang pasti akan berimbas pada krisis politik seperti tahun 1998 lalu. Penerimaan pajak untuk negara tahun ini diperkirakan mencapai Rp 1.000 triliun atau lebih dari setengah besarnya APBN 2014.

Selain itu nantinya alat transportasi harus dirubah dari BBM ke gas alam seperti LNG (Liquid Natural Gas) atau CNG (Compressed Natural Gas) yang sudah digunakan untuk transportasi keski asih terbatas. Sebab harga gas alam jauh lebih murah bahkan ramah lingkungan jika dibandingkan dengan minyak bumi. Maka akan terjadi efisiensi dan penghematan anggaran luar biasa besar yang bisa mencapai Rp 150 triliun setiap tahunnya. Anggaran sebesar itu bisa digunakan untuk membangun ribuan SPBG (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas) untuk menggantikan 5.000 SPBU yang saat ini beroperasi di Indonesia. Sekarang pertanyaannya, maukah Presiden Jokowi kembai menurunkan harga BBM ditengah-tengah menurunnya harga minyak dunia. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version