Oleh: Abdul Halim
Menjelang Hari Pahlawan 10 Nopember 2014 lalu, kembali muncul usulan kepada Presiden Jokowi untuk menjadikan mantan Presiden Soeharto agar mendapat gelar pahlawan nasional.
Pak Harto meninggal pada 27 Januari 2008 lalu dalam usia 86 tahun dan dimakamkan di Karanganyar, Solo, Jawa Tengah. Mantan penguasa Orde Baru selama 32 tahun itu kelahiran 8 Juni 1921 di Kemusu, Argomulyo, Bantul, Yogyakarta itu memang dikenal sebagai penguasa yang licin dan lihai dalam politik dan memimpin pemerintahan, terbukti mampu bertahan begitu lama tanpa gejolak politik yang berarti.
Memang diakui, Soeharto memiliki jasa besar terhadap bangsa dan negaranya, namun kesalahannya tidak kalah besar daripada jasanya. Sehingga timbul pertanyaan, pantaskah Soeharto mendapat gelar pahlawan nasional?
Memang mantan PM Singapura Lee Kwan Yew, ketika menjenguk sakitnya Soeharto di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) menjelang wafatnya, sempat menyindir bangsa Indonesia dengan mengatakan sepertinya bangsa Indonesia tidak pernah menghargai jasa Soeharto yang telah memimpinnya selama 32 tahun.
Sebab bangsa Indonesia selalu mempersoalkan berbagai kesalahan Soeharto. Terbukti selama 10 tahun status hukum Soeharto masih mengambang dan belum jelas penyelesaiannya. Komentar bapak bangsa Singapura tersebut sangatlah wajar, sebab dirinya bersama Soeharto sama-sama berkuasa lama secara otoriter di negara masing-masing.
Pahlawan Nasional ?
Kriteria seorang tokoh dianugerahi gelar pahlawan nasional bukan hanya karena jasa-jasanya yang besar kepada bangsa dan negara, tetapi karena keteladanannya yang mampu memberi pengaruh dan inspirasi bagi masyarakat luas.
Jika mengacu pada kriteria pemberian gelar pahlawan nasional, jelas Soeharto tidak termasuk karena tidak memberi suri tauladan yang baik kepada bangsanya selama berkuasa, seperti budaya KKN yang sulit untuk dihilangkan.
Kalau mengacu pada pertanyaan diatas, pantaskan bangsa Indonesia memaafkan Soeharto yang telah berkuasa secara otoriter selama 32 tahun dan memberinya gelar pahlawan nasional ?
Pertama, sudah seharusnya bangsa Indonesia jangan mudah mengobral perilaku pemaaf. Perilaku mudah memaafkan kesalahan orang lain atau seorang pemimpin harus dilihat dari konteksnya terlebih dahulu.
Jika secara pribadi barangkali dapat dimaafkan, namun jika dilihat dari lembaga kenegaraan, maka sulit dilakukan dan harus mendapat konsensus nasional dari berbagai lembaga yang memang berwenang seperti eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Dengan demikian, kepentingan pribadi harus dipisahkan dari kepentingan negara yang lebih besar. Sebagaimana dilakukan anggota DPD, AM Fatwa, meski pernah selama 9 tahun dipenjara Soeharto, secara pribadi dirinya telah memaafkannya. Namun secara kelembagaan negara, tidak dapat menyatakan telah memaafkan Soeharto
Kedua, jika bangsa Indonesia dengan mudah memaafkan para pemimpinnya yang telah melakukan kesalahan besar selama berkuasa, maka akan menjadi blunder dan bumerang bagi bangsa ini. Sebab setiap pemimpin selalu beranggapan, jika melakukan kesalahan pasti akan dimaafkan dan diberi gelar pahlawan nasional.
Dengan demikian setiap muncul pemimpin bangsa, mereka merasa tidak pernah bersalah dan selalu benar atas segala policy meski berakibat bencana besar bagi bangsanya. Sebab mereka menganggap kepemimpinan bukan merupakan amanah, tetapi kesempatan untuk menyalahgunakan kekuasaan (abuse of power) yang merugikan bangsanya sendiri.
Ketiga, seharusnya bangsa Indonesia perlu belajar dari Filipina yang terus mengusut penyalahgunaan kekuasan mantan Presiden Ferdinand Marcos meski sudah meninggal dunia.
Sebab hal itu dapat menjadi pelajaran sangat berharga bagi para pemimpin bangsa sesudahnya agar tidak lagi menyalahgunakan kekuasaan ketika berkuasa sehingga merugikan negara dan menyengsarakan rakyat.
Sesungguhnya Soeharto belum waktunya mendapat gelar pahlawan nasional, menginggat abuse of power yang dilakukannya secara diktatorial selama 32 tahun kekuasaannya. [syahid/voa-islam.com]