Oleh: Abdul Halim
Sungguh mengherankan ketika Presiden Jokowi berkunjung ke Papua dalam rangka Natalan baru-baru ini. Betapa tidak, sebagai Presiden RI, Jokowi justru menerima para tokoh adat Papua yang mendukung gerakan separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang ingin mendidikan Negara Papua Merdeka sehingga memisahkan diri dari NKRI.
Ketika menerima Ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Lenis Kogoya di Lembah Baliem, Ahad (28/12/2014), Lenis Kogoya meminta Presiden Jokowi agar merangkul dan memberi peluang kelompok separatis untuk terus terlibat aktif dalam proses pembangunan di Papua.
“Mengenai isu separatis yang dikaitkan dengan warga asli Papua, Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla ke depan jangan terus memerangi mereka, tetapi harus memberi peluang agar mereka ikut aktif dalam pembangunan di tanah Papua,” ujar Lenis Kogoya yang membacakan hasil musyawarah adat Papua.
Bahkan LMA juga mengusulkan agar Pemerintah membangun Istana dan Kantor Kepresidenan di Papua.
Sementara itu menjawab permintaan Ketua LMA tersebut, Presiden Jokowi menyatakan dirinya akan lebih banyak mendengar dan berdialog dengan warga, selain mencari solusi yang tepat untuk menyelesaikan persoalan masyarakat Papua. Bahkan Presiden Jokowi berjanji akan datang tiga kali setiap tahun ke tanah Papua. (Kompas, 29/12/2014).
Apa yang dilakukan Presiden Jokowi ketika berkunjung ke Papua itu sungguh disayangkan, sebab seolah-olah memberi “angin surga” bagi gerombolan teroris separatis OPM untuk terus mengangkat senjata demi mewujudkan cita-citanya mendirikan Negara Papua Merdeka.
Dokumen Kopassus
Sementara itu tahun 2011 lalu sebanyak 19 dokumen rahasia Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI-AD sempat bocor ke koran dan dimuat jaringan media Fairfax Australia pada (13/8/2011) lalu. Dokumen yang berjudul “Anatomi Separatisme Papua” itu memaparkan secara detail gerakan separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM). Selain itu juga menyebutkan beberapa tokoh internasional yang mendukung OPM, seperti mantan PM Papua Niugini, Michael Somare, Pemenang Hadiah Nobel dan Uskup Agung Afrika Selatan, Desmond Tutu, Senator AS dari Partai Demokrat Dianne Feinstein dan 40 anggota Kongres AS, serta anggota Parlemen dari Partai Buruh Inggris, Andrew Smith dan sejumlah tokoh lainnya.
Dokumen rahasia yang dibuat antara tahun 2006-2009 itu juga menyebutkan OPM mampu melakukan taktik perang gerilya di seluruh Papua, dimana kelompok separatas itu memiliki 1.120 anggota dengan 131 senjata dan 4 granat. Meski akhirnya dibantah Mabes TNI Cilangkap dengan menyebutkan sebagai isu lama yang sengaja digulirkan media Australia untuk memecah belah persatuan rakyat Papua, namun hal itu menunjukkan kelompok separatis di Papua semakin besar dengan bantuan asing.
Double Standard
Meski masyarakat Barat termasuk Australia dikenal demokratis, namun ternyata media massanya selalu tidak seimbang bahkan munafik (double standard) jika memberitakan mengenai umat Islam termasuk di Indonesia. Seperti ketika mereka memberitakan soal teroris yang selalu distigmakan kepada umat Islam. Media Barat dengan jelas menyamakan teroris identik dengan Islam, padahal Islam dikenal sebagai agama damai dan anti kekerasan serta rahmatan lil alamin, sedangkan perbuatan para teroris itu hanyalah tindakan para oknum. Jadi tidak bisa digeneralisir sebagai tindakan yang mengatas namakan Islam dan umat Islam.
Sangat berbeda jika mereka memberitakan tentang separatis RMS dan OPM yang memang Kristen dan Katolik. Para separatis itu diberitakan sebagai para pejuang yang ingin membebaskan negerinya dari “kolonialisme” yang dilakukan Pemerintah Indonesia yang mayoritas Islam. Maka tidaklah mengherankan ketika tahun 2010 lalu Densus 88 menangkapi para aktivis yang mengibarkan bendera RMS menjelang kedatangan Presiden SBY ke Ambon Maluku untuk membuka event internasional Sail Banda 2010, media massa Australia meminta pemerintahnya agar segera meninjau ulang bantuan tahunannya kepada Polri. Sebab sesungguhnya Densus 88 dibentuk untuk menghadapi teroris yang diistilahkannya sebagai para “jihadis radikal” yang mengacu kepada umat Islam, sementara RMS dan OPM adalah gerakan pembebasan, bukan separatis apalagi teroris. Jelas ini suatu kebijakan diskriminatif yang selalu diterapkan media massa Barat terhadap umat Islam Indonesia.
Bahkan Koran The Sydney Morning Herald dalam edisinya 13 September 2010 tidak mempersoalkan pelanggaran HAM yang dilakukan Densus 88 terhadap para teroris yang ditangkap karena mereka beragama Islam, sementara koran terkemuka Australia itu memprotes kasus serupa yang dilakukan terhadap separatis RMS hanya karena mereka beragama Kristen. “Dia bukan jihadis radikal. Dia seorang Kristen dan kesalahannya adalah memiliki dua bendera RMS”, tulis The Sydney Morning Herald ketika mengisahkan nasib aktivis RMS Yonias Siahaya yang menderita karena ditahan Densus 88 di Ambon pasca insiden pengibaran bendera RMS menjelang Sail Banda 2010 lalu.
Separatis Teroris
Setelah pemerintah pusat sukses mengatasi ancaman separatisme GAM di Aceh, kini tinggal RMS di Ambon Maluku dan OPM di Papua yang menjadi ancaman nyata disintegrasi bangsa. Karena mayoritas rakyat Indonesia Muslim dan GAM juga Muslim, maka ancaman separatisme di Aceh mudah diselesaikan apalagi tidak adanya campur tangan asing. Namun sebaliknya RMS dan OPM sulit diselesaikan karena mereka Kristen dan Katolik dan terlalu kuatnya campur tangan asing termasuk Vatican. Bahkan ditengarai berbagai kekuatan asing dari Australia, Eropa dan AS itu telah melakukan insurgensi (operasi kontra intelijen) dengan tujuan agar Papua memisahkan diri dari NKRI. Mereka merupakan non state actor yang telah lama bermain di Papua sejak zaman Orde Baru lalu.
Sebagaimana Aceh, Papua telah diberi Otonomi Khusus (Otsus) berdasarkan UU Nomor 21 Tahun 2001, namun ternyata dana Otsus yang besarnya hampir Rp 40 triliun itu selain di korupsi, sebagian diselewengkan untuk membiayai gerakan makar separatisme OPM, padahal penduduk Papua hanya 3 juta orang. Maka tidaklah mengherankan jika sekarang gerakan separatisme untuk memisahkan diri dari NKRI selalu menjadi isu sentrtal, semakin berani dan bertambah kuat Papua dengan membunuhi aparat Polisi dan TNI.
Memang selama ini gerakan separatis OPM di Papua selalu menyerukan referendum seperti Freetelin di Timor Timur ketika masih menjadi wilayah NKRI. Padahal rakyat Papua telah secara resmi masuk kedalam pangkuan NKRI sejak Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) yang disponsori PBB tahun 1969 lalu. Dengan pengalaman referendum di Timur Timur tahun 1999 yang menyebabkan wilayah bekas jajahan Portugis itu memisahkan diri dari NKRI, maka jangan sampai terulang kembali Pemerintah Pusat meloloskan opsi referendum yang selalu disuarakan pemerintah asing, media Barat yang selalu double standard dan NGO asing termasuk melalui operasi kontra intelijen di Papua. Jika hal itu sampai terjadi termasuk seruan referendum di Maluku, maka Pemerintah Pusat yang saat ini dipimpin Presiden Jokowi telah menghianati amanat UUD 1945 dan rakyat Indonesia wajib menolaknya bahkan memintanya turun dari kursi RI-1. Untuk selamanya Papua dan Maluku harus tetap berada dalam pangkuan NKRI.
Sekarang pertanyaannya adalah, mengapa media Barat tidak pernah menyebut RMS dan OPM sebagai teroris tetapi hanya separatis, padahal mereka melakukan gerakan bersenjata untuk memisahkan diri dari NKRI dengan tujuan mendirikan Negara Kristen di Maluku dan Negara Katolik di Papua dengan mencontoh saudara Katoliknya di Timor Leste yang berhasil mendirikan negara tahun 1999 lalu dengan bantuan negara Barat dan PBB. Apakah karena mereka beragama Kristen dan Katolik sehingga hanya disebut sebagai separatis bukan teroris, sementara kalau pelakunya beragama Islam dan dituduh ingin mendirikan Negara Islam, maka mereka disebut sebagai teroris dan wajib diberantas sampai keakar-akarnya. [syahid/voa-islam.com]