View Full Version
Rabu, 31 Dec 2014

Serangan Budaya di Tahun Baru

Sahabat VOA-Islam...

Momen tahun baru masehi 2015 sudah semakin dekat. Kedatangannya bagaikan sihir yang membuat para penguasa dan mayoritas rakyat lupa akan berbagai musibah yang melanda negeri ini. Berbagai pesta telah disiapkan secara khusus untuk menyambutnya. Misal, Jakarta Night Festival diperkirakan akan menelan dana Rp 1 M. Pengelola TMII yang telah menyiapkan 4000 kembang api untuk detik-detik pergantian.

Bila kita hitung harga satu kembang api adalah 200 ribu rupiah, maka biaya untuk kembang api saja 800 juta rupiah, ini belum termasuk biaya panggung hiburan dan sebagainya. Hal ini baru dari dua titik di Jakarta. Padahal ada ratusan bahkan mungkin ribuan titik perayaan tahun baru masehi di seluruh kota di Indonesia.

Bila kita seorang muslim, ada baiknya mencermati terlebih dahulu asal muasal perayaan tahun baru masehi. Kata masehi tidak bisa dilepaskan dengan kata Al Masih, yakni nama lain dari Nabi Isa dalam keyakinan agama Nasrani. Buletin Gaul Islam edisi 010/tahun I, 2007 mengungkapkan sebuah catatan Encarta Reference Library Premium 2005.

Berdasarkan catatan tersebut penanggalan kalender yang pertama kali dilakukan pada 45 SM oleh seorang kaisar Romawi, ia terkenal dengan nama Gaisus Julius Caesar. Lalu, pada perkembangannya, kalender tersebut dimanfaatkan oleh seorang pendeta Nasrani yang bernama Dionisius. Kalender tersebut diadopsi sebagai penanggalan yang didasarkan pada tahun kelahiran Yesus Kristus. Oleh karena itu, untuk penanggalan tahun setelah kelahiran Yesus Kristus diberi tanda AD, singkatan dari Anno Domini, yang berarti: in the year of our lord, yakni Masehi. Sementara untuk jaman prasejarahnya dituliskan BC (Before Christ) atau SM (Sebelum Masehi).

Paus Gregory III kemudian mengukuhkannya sebagai sistem penanggalan yang harus digunakan oleh seluruh bangsa Eropa. Bahkan penanggalan tersebut kini berlaku umum bagi siapa saja di seluruh dunia. Sehingga, kalender Gregorian yang kita kenal sebagai kalender masehi dibuat berdasarkan kelahiran Yesus Kristus dalam keyakinan Nasrani. Adapun kata Januari dijadikan sebagai awal tahun karena diambil dari nama dewa Romawi “Janus”. Dewa yang digambarkan bermuka dua ini, satu muka menghadap ke depan dan yang satu lagi menghadap ke belakang, diyakini sebagai dewa penjaga gerbang Olympus. Sehingga diartikan sebagai gerbang menuju tahun yang baru. Karena itulah, pada zaman romawi, perayaan tahun baru dilakukan untuk menghormati Dewa Janus. Perayaan ini terus dilestarikan dan menyebar ke Eropa pada abad permulaan Masehi. Seiring muncul dan berkembangnya agama Nasrani, akhirnya perayaan ini menjadi wajib dan sepaket dengan Natal. Karena itulah, ucapannya menyatu menjadi selamat Natal dan Tahun baru.

Mencermati fakta historisnya, maka merayakan tahun baru masehi adalah sesuatu yang terlarang bagi muslim. Karena kaum muslim dilarang menyerupai kaum kafir baik secara umum maupun khusus. Secara umum, Rasulullah SAW bersabda : “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” (HR Ahmad).

Sehingga, meniru adat istiadat dan budaya mereka secara umum diharamkan. Misal topi kerucut, kristolog Hj. Irene Handono menjelaskan bahwa topi Sanbenito tersebut erat hubunganya dengan pembantaian kaum muslim di Andalusia. Pada 6 abad tahun yang lalu, Ratu Isabela memberikan pilihan kepada kaum muslim Andalusia, keluar dari Islam atau dibunuh. Bagi yang tetap memegang Islam, maka ia dibunuh. Adapun bagi yang murtad, maka ia dipisahkan dengan dikenakan topi kerucut Sanbenito tersebut. Namun pada akhirnya, yang murtad juga tetap dibunuh. Alasannya, terhadap agama yang sebelumnya dan dianut sejak lama saja mereka berkhianat, apalagi terhadap agama yang baru saja dianutnya.

Terkait aktifitas ritual secara khusus, kaum muslim juga dilarang memperingati hari raya orang-orang kafir. Allah SWT berfirman, yang artinya : “Dan orang-orang yang tidak menghadiri/menyaksikan az-zûr, dan apabila mereka melewati al-laghwu (perbuatan dan perkataan yang tidak berguna), mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (TQS al-Furqan [25]: 72).

Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Abu ‘Aliyah, Thawus, Muhammad bin Sirrin, adh-Dhahhak, ar-Rabi’ bin Anas, dan lainnya, memaknai az-zûr itu adalah hari raya kaum Musyrik. Selanjutnya, beliau menjelaskan bahwa keseluruhan ayat ini memberikan pengertian bahwa mereka tidak menghadiri az-zûr. Dan jika mereka melewatinya, maka mereka segera melaluinya, dan tidak mau terkotori sedikit pun olehnya. Bahkan Berdasarkan ayat ini, banyak fuqaha’ yang menyatakan haramnya menghadiri perayaan hari raya kaum kafir. Ibnu Qayyim al-Jauziyyah pun mengatakan bahwa tidak boleh pula kaum Muslim menyetujui dan membantu mereka melakukan syiar itu serta hadir bersama mereka. Sehingga kaum muslim tidak boleh menyerupai umat lain, termasuk ikut-ikutan merayakan hari raya mereka.

Tidak hanya berhenti pada tataran pertentangan secara i’tiqodi yang menjadi dasar perayaan tersebut. Perayaan tahun baru dari tahun ke tahun penuh dengan kemaksiatan. Budaya permissive dan hedonis menjadibumbu utama setiap momennya. Bahkan, pesta tahun baru 2014, berbagai media cetak maupun online banyak yang menyoroti tingginya angka penjualan alat kontrasepsi dan miras. Kondom dan pil KB adalah alat kontrasepsi yang laku hampir di seluruh toko dan apotek di kota-kota besar.

Pesta dan hura-hura yang terlahir dari budaya hedonis tak jarang dihiasi dengan miras dan narkoba. Semua aktifitas tersebut dilakukan hanya dengan satu alasan, yaitu merayakan tahun baru. Itulah sebabnya, angka penjualan miras meningkat tajam pada setiap menjelang pergantian tahun, dan puncaknya adalah pada malam menjelang detik-detik pergantian tahun.

Bila mencermati berbagai fakta historis maupun faktual yang rutin terjadi, keterlaluan bila saat ini kaum muslim malah saja merayakan tahun baru masehi. Padahal Rasulullah SAW telah mengingatkan kepada kita semua : “Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (yang sempit sekalipun, -pen), pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?” (HR. Muslim no. 2669).

Namun terkadang serangan budaya itu datang secara sangat halus. Sehingga tidak sedikit dari kaum muslim yang berpendapat boleh merayakannya asal tidak disertai hal terlarang, semisal seks bebas, miras dan narkoba. Mereka berpendapat bahwa bila hanya mengucapkan selamat, memeriahkan, bersuka ria, menyalakan kembang api, memadati tempat-tempat hiburan sambil menanti detik-detik pergantian tahun adalah kegiatan yang wajar dan boleh.

Menyikapi hal tersebut, sebaiknya kita renungkan pula apa yang diceritakan oleh Anas r.a. bahwa ketika Rasulullah saw datang ke Madinah, mereka memiliki dua hari raya yang mereka rayakan -hari Nayruz dan Mihrajan- maka beliau pun bersabda: “Sungguh Allah SWT telah mengganti dua hari itu dengan dua hari yang lebih baik yaitu :Idul Adha dan idul Fithri.” (HR. Abu Dawud dan an-Nasa’i dengan sanad yang shahih). Ibn Hajar al-‘Ashqalani berkomentar bahwa dari hadits tersebut dapat bermakna larangan bergembira di hari-hari raya kaum musyrik dan menyerupai mereka.

Walhasil, bagi seorang muslim, tanggal 1 Januari tidak layak diagungkan dan dirayakan. Begitu pula tidak perlu mengucapkan selamat karenanya. Sebab, 1 Januari adalah hari raya umat lain.. Tahun baru masehi biarlah tetap menjadi hari raya umat yang lain. Biarkanlah mereka merayakan sesuai dengan keyakinannya. Berbagai perayaan, kegembiraan, ucapan selamat dan sejenisnya yang dilakukan semata-mata karena hadirnya 1 januari adalah bentuk pengekoran terhadap budaya di luar Islam. Kaum muslim telah memiliki dua hari raya yang jauh lebih baik, yaitu Idul Fithri dan Idul Adha.

Serangan budaya permissive dan hedonis yang terlahir dari sistem sekulerisme yang kapitalistik akan terus terjadi dan berulang. Jika kaum muslim diam, kita dan khususnya generasi muda akan terus menjadi objek. Bahkan ibarat dada seseorang yang terbuka tanpa perisai, ribuan anak panah terus menghunjamnya. Memakai istilah Nopriadi, Penulis buku The Model, kaum muslim sedang di-tuning (distel) budaya umat lain. Oleh karena itulah, kita harus maju dan melawan, men–tuning ulang peradabannya dengan berjuang bersungguh-sungguh mewujudkan kembali peradaban Islam. Kita mesti mengerahkan berbagai kemampuan demi tegaknya syariah Islam dalam bingkai khilafah islamiyyah di atas manhaj kenabian. Wallohu a’lamu bishshowwaab.

Kiriman: Ary Herawan, ST., M.Pd. – Guru SMP Terpadu Fajrul Islam Kota Tasikmalaya


latestnews

View Full Version