View Full Version
Sabtu, 03 Jan 2015

Jebakan AS dalam Perang Melawan Islam

Oleh: Hanif Kristianto (Lajnah Siyasiyah HTI Jawa Timur)

Fenomena ISIS (Islamic State in Iraq Suriah) belumlah memudar. Bahkan pers dan pemerintah sejumlah negara Barat mulai meninggalkan kata “negara” dalam menyebut kelompok ekstimis ISIS yang kemudian menyebut diri “Negara Islam (Islamic State)” dan menggantinya dengan kata Daesh dari bahasa Arab.

Menurut televisi CBS News Network di Kanada, Amerika Serikat mulai mengganti ISIS/ISIL/IS dengan kata akronim Daesh, karena dinilai untuk merendahkan kelompok militan itu.

Daesh (Daulah al Islamiyah fil ‘Iraq wal-Sham), tapi kedengaran seperti kata daes atau dahes dalam bahasa arab yang berarti “orang yang menyebarkan perselisihan” (www.antaranews.com).

Di sisi lain, pro dan kontra ISIS masih terjadi baik di dunia Islam ataupun Barat. Bahkan akibat fenomena ISIS terjadi monsterisasi simbol-simbol Islam. Badan keamananan di beberapa negara dan urusan luar negeri disibukan dengan merebaknya pengaruh ISIS.

Di Indonesia fenomena ini disikapi dengan lembut dan keras. Tak tanggung-tanggung BNPT bekerja sistemis ke pesantren dan pemerintah daerah untuk membuat suatu konsensus menolak ISIS dan ideologinya.

Aparat keamanan dari militer dan kepolisian tak ketinggalan pula. Penyuluhan dan penyadaran kepada masyarakat dilakukan, tak jarang mereka pun menangkap tangan “terduga anggota ISIS atau pendukung ISIS”.

Bagi orang-orang yang memiliki kesadaran iman dan politik, ISIS dijadikan mailstone (batu loncatan) untuk menghantam Islam dan ideologinya.

Lebih tepatnya, terorisasi Islam yang ujungnya Islamophobia. Islam yang mulia ini coba dimatikan cahayanya dan dilarang penerapannya. Umat Islam yang tidak memiliki panduan dan saringan yang benar sesuai Islam, akhirnya mengenalisir dan memunculkan fitnah.

Inilah bahaya terbesar bagi umat saat ini di kala Islam kehilangan ruh dalam jiwa umatnya.

Di tengah-tengah berkecamuk memerangi ISIS oleh AS, Eropa, dan Pakta Arab, muncul pernyataan yang semakin menunjukan tujuan dari penyerangan. AS dan Eropa selama ini sering bermain di konflik Timur Tengah.

Baik melalui intervensi militer ataupun diplomasi antek-anteknya. AS dan sekutunya sejak Agustus telah melakukan 1.361 serangan udara di Irak dan serangan diperluas ke Suriah pada September.

“Kelompok Taliban dan ISIS/ISIL adalah penyebab munculnya ketakutan masyarakat dunia atas Islam, Islamophobia,” kata Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan .

“Mengeyahkan pemimpin-pemimpin kunci merupakan alat untuk mengacaukan rencana dan menurunkan kemampuan. Tetapi itu tidak mengalahkan atau menghancurkan organisasi-organisasi teroris,”kata Bruce Riedel, mantan agen intelijen CIA dan penasihat Presiden AS Barack Obama.

“Jika Baghdadi dilenyapkan sebelum kekhalifahannya berdiri tegak, kelompok Negara Islam akan menghadapi masalah serius. Namun, dengan para letnan yang pandai, kelompok itu tidak akan tamat tanpa bertempur lebih jauh,”kata Michael Ryan dari Jamestown Foundation di Washington.

“Negara Islam akan dapat dikalahkan jika jubah legitimasi keagamaan mereka dilucuti dan masyarakat yang mendukungnya menolak kelompok itu,” ungkap Jendral Martin Dempsey, pipinan angkatan bersenjata AS di depan senat AS (www.hidayatullah.com).

Menjebak Indonesia

Wacana ISIS di Indonesia kian menyeruak. Hingga ISIS dijadikan musuh utama oleh Presiden. Genderang perang melawan terorisme ditabuh kembali. Baru-baru ini Australia menawarkan kerja sama penanggulangan anti-terorisme.

Indonesia yang berada di kawasan Asia Tenggara dan Australia akan senantiasa menjalankan war on terorism di kawasan Asia Pasifik.

Panglima TNI Jendral Moeldoko mengatakan pemerintah Indonesia melihat Islamic State of Iraq and Suria (ISIS) sebagai ancaman besar dunia, dan Jakarta berkeinginan meningkatkan kerjasama dengan Washington untuk menghadapi kelompok radikal ini di Asia Tenggara.

Secara personal Jendral Moeldoko meminta Kepala Kerjasama Militer AS Jendral Martin E Dempsey untuk mengizinkan pejabat tinggi TNI ikut berpartisipasi sebagai peninjau dalam Gugus Tugas anti-ISIS di Washington.

Selain itu, Moeldoko juga menyarankan agar Jakarta lebih mengedepankan keinginan untuk menjadi partner lebih dekat dengan AS seperti dalam menghadapi isu China.(dilansir The Washington Times 19/12/2014 dan detik.com).

Fenomena penangkapan WNI yang akan berangkat ke Irak dan Suriah terjadi di Indonesia. Setelah WNI dideportasi dari Malaysia. Begitupula pengawasan imigrasi di bandara diperketat.

Mereka yang akan berpartisipasi bergabung dengan ISIS akan dikenai sanksi pemenjaraan hingga penghilangan status kewarganegaraan.

Tampaknya isu ISIS di Indonesia masih akan dijadikan mainstream untuk menghadang laju kerinduan umat pada Islam ideologis. Islam yang dijadikan sebagai standar dalam pengaturan hidup dan hukum negara.

Upaya kriminalisasi dan adu domba dijadikan untuk memecah belah umat. Akhirnya umat Islam terpecah dengan sebutan ‘moderat’ dan ‘ekstrim-radikal’.

Pada ujungnya, sering terjadi fitnah tak berdasar hingga sikap takfiri (saling mengafirkan). Umat pun tak punya pilihan selain mereka diam dan melihat fenomena ganjil ini. 

Menyibak Kepentingan AS

Jika difikir sederhana, mengapa fenomena ISIS di Timur Tengah berhasil di ekspor luas ke belahan dunia? Sampai-sampai Indonesia dibuat kalang kabut. Begitu juga Barat.

Masalah Timur Tengah saat ini menjadi masalah internasional. Lahan subur perebutan kepentingan kapitalis global untuk menyedot sumber daya alamnya. Tak peduli dengan cara apa pun, hegemoni dan kelicikan politik mereka masih terasa hingga sekarang.

Bagi AS dan sekutunya, kawasan Timur Tengah dijadikan lahan subur untuk menggusur pengaruh Rusia dan China. Politik luar negeri AS adalah politik orang kaya dan para pemilik perusahaan monopoli.

Artinya, AS adalah politik imprealisme murni, yang tidak mengenal nilai-nilai luhur. Mereka memiliki kemampuan yang tinggi untuk berubah cepat, kemudian membuat beraneka ragam strategi dan memecahkan masalah.

Kemampuan militer, politik, dan ekonomi yang besar bagi AS, membuat AS mengintervensi seluruh negara yang ada di dunia ini. Hal itu juga membuat AS menjadi bagian politik lokal di setiap negara di dunia.

Semisal pendudukan Afghanistan, Irak, Pakistan, dan lainnya. Selain itu, AS semakin berpengaruh pada setiap masalah yang ada di dunia. AS-lah yang menyulut krisis di wilayah yang berkobar.

AS membuat klasifikasi-klasifikasi baru untuk negara, misalnya negara poros kejahatan (evil axis), negara pendukung terorisme, dan lainnya. Pengaruh itu pun nampak di bidang pendidikan, media masa, sosial, pemikiran, ideologi, dan keamanan.

Tak ayal, kepongahan AS sering menjadikan suatu negara berkecil hati dan memberikan hormat untuk taat pada kepentingannya.

Fenomena persoalan ISIS di Timur Tengah dikelola baik oleh AS dan sekutunya. Pengelolaan ini untuk menunjukan hegemoni AS dan keserakahannya.

Sesungguhnya masalah timur tengah adalah masalah terkait dengan Islam, letak strategis, negara Yahudi, penjajahan, dan minyak. Adapun Islam senantiasa menjadi bahaya besar atas AS dan Barat. Kawasan Timur Tengah dapat dianggap tempat titik tolak yang alamiah untuk dakwah Islam ke seluruh Dunia.

Karena itu, tidak aneh AS setelah runtuhnya sosialisme menjadikan Islam sebagai musuh utama dan satu-satunya. AS menggunakan slogan terorisme, ektrimisme agama, dan fundamentalisme agama sebagai kedok untuk menyerang Islam dan kaum muslim di kawasan ini.

AS dengan segala kekuatannya menjauhkan gerakan-gerakan Islam politik dari kekuasaan.

Penyerangan dan pendudukan Timur Tengah oleh AS dan sekutunya terhadap ISIS, Al-Qaidah, Afghanistan, Irak, dan lainnya menjadi bukti bahwa ideologi Kapitalismelah yang mendorong mereka menjajah.

Demokratisasi dan liberalisasi hanya dijadikan pemanis bagi rakyat untuk terbebas dari otoritarian penguasanya. Padahal penguasanya itu juga boneka dan antek AS.

Jika sudah tidak berguna lagi, kapanpun siap digulingkan dengan revolusi dan peperangan. Umat Islam di Timur Tengah kini mulai sadar bahwa keberadaan AS lah yang menjadi pangkal konflik. Sampai-sampai para penguasanya pun membentengi diri. Karena mereka berdiri di dua sisi.

Sisi pertama, menjadi pelayan dan antek asing. Sisi kedua, kemarahan rakyat siap membuncah untuk menumbangkan penguasa melalui jalan revolusi.

Berkaitan dengan Indoensia yang berada di Asia Tenggara. Hegemoni AS sudah terasa semenjak awal pergolakan kemerdekaan Indonesia. Hal utama yang menjadi masalah AS dan Barat adalah perkembangan Islam yang semakin pesat di wilayah Asia Tenggara, khususnya Indonesia dan Malaysia.

Kekhawatiran ini terus membuat Barat merasakan adanya bahaya yang terdapat pada Islam dan kebangkitan Islam. apalagi lebih dari 250 juta jiwa umat Islam berdomisili di Asia Tenggara.

Indonesia adalah negeri muslim terbesar di dunia. Maka Indonesia menjadi kekuatan menentukan di Asia Tenggara. Apa yang sudah disampaikan Panglima TNI menjadi salah satu bukti ketergantungan Indonesia pada AS. AS pun menjadikan Indonesia sebagai anak emas dan AS bermain untuk mentukan corak politik Indonesia.

Pada intinya, AS dan Barat masih menjadikan Islam ideologi sebagai momok. Hal ini dikarenakan ide kapitalisme yang mereka emban dan sebarkan. Sayangnya, tak banyak kalangan intelektual dan umat Islam memahami dengan benar skenario mereka.

Apa yang dilakukan AS dan Barat begitu halus seolah semut hitam kecil yang berada di batu hitam. Sampai-sampai umat Islam yang tak memiliki kesadaran akhirnya larut dalam jebakan hitam mereka. Kondisi seperti ini harus segera diakhiri dengan mewujudkan wa’yu siyasi (kesadaran politik) Islam bagi umatnya. 

Jalan Menuju Khilafah

Berlepas dari perdebatan sengit AS dan sekutunya dalam memberantas gerakan Islam ekstrimis. Hal yang patut disadari adalah kesadaran kembali kepada Islam dari kalangan umat mulai tumbuh.

Umat sudah menyadari demokrasi dan liberalisme telah menhancurkan kehidupannya. Padahal Allah sudah mengingatkan bahwa jika manusia ini berlepas dari dzikir kepada Allah maka kehidupan semakin sengsara. Makna dzikir ini berarti menerapkan syariah kaafah dalam institusi Khilafah.

Tak jarang ‘Khilafah’ saat ini menjadi trending topic (topik pembicaraan) bagi siapa pun. Bahkan rasa rindu yang membuncah kepada Khilafah telah mengispirasi kemunculan gerakan-gerakan Islam. Hal yang tepat kiranya saat ini gerakan Islam mulai merumuskan penegakan Khilafah secara syar’i sebagaimana metode kenabian.

Penegakan Khilafah bukan dengan cara-cara yang akhirnya membuat umat apriori bahkan ketakutan. AS dan Barat memang telah berhasil memberi sinyal untuk menghinakan Islam dalam rekayasanya.

Dibuatlah Khilafah sebagai bahan tertawaan dan kehinaan. Tak pelak untuk mewujudkan Khilafah yang shahih haruslah dimulai dengan pembinaan umat. Umat dibekali mulai dari aqidah, syariah, dakwah, jihad, hingga khilafah.

Setelah umat memiliki kesadaran, merekalah yang akan mendakwahkan dan membina umat lainnya. Bersama-sama mewujudkan opini umum akan kepentingan ukhuwah Islamiyah, serta penyatuan umat dalam institusi Khilafah.

Hal-hal yang dilakukan dengan perjuangan politik mengungkap makar-makar kafir Barat. Mengungkap kebatilan ide-idenya dan menggantinya dengan ideologi Islam. Jika Islam sudah menjadi opini umum, umat akan menuntut penerapan Syariah dan Khilafah.

Opini inilah yang akan menjadi penekan bagi pemilik kekuatan yakni kalangan militer. Yang dibutuhkan adalah kalangan militer yang sadar. Mempunyai keimanan yang kuat dan hanya takut kepada Allah Swt. Serta memiliki keikhlasan untuk menolong pejuang Islam dalam menegakan Khilafah. Siap menjadi pembela terdepan dalam melindungi para pejuang dan umat Islam.

Dengan demikian maka tak lama lagi, syariah Islam dapat dengan mudah dalam bingkai Khilafah. Karena itu yang dibutuhkan saat ini bagi orang-orang merindukan Khilafah.

Satukan langkah padu Anda. Kembalilah kepada manhaj kenabian. Janganlah Anda bertikai satu sama lain, agar orang-orang dekat Anda yang mukhlis dengan serta merta membantu Anda.

Biarkan AS dan Barat menggonggong menstigma negatif, tapi kafilah pejuang Khilafah teruslah berlalu maju ke depan! Wallahu a’lam. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version