Oleh: Umar Syarifudin (Lajnah Siyasiyah Hizbut Tahrir Indonesia Kota Kediri)
Sahabat VOA-Islam...
Tahun 2015 telah tiba, kapitalisme-demokrasi yang menjelma menjadi ‘agama global’ trendnya kian ditinggalkan penganutnya. Pilihan bangsa Indonesia menjadikan demokrasi sebagai sistem politik terbukti menyengsarakan masyarakat. Tidak menghasilkan kesejahteraan. Upaya demokratisasi yang dinamakan reformasi pada praktiknya menjadi kesempatan para kapitalis untuk menggiring negera pada jurang liberalisasi di segala lini.
Pertumbuhan kemiskinan, konflik, dan pembodohan, secara intrinsik terkait dengan budaya ketergantungan ekonomi yang berhasil ditanamkan oleh Barat. Hal ini dilakukan dengan sejumlah langkah, seperti manipulasi mata uang, pemanfaatan pinjaman negara, dan legalisasi perusahaan multinasional yang menidakstabilkan dan menghancurkan aktivitas perekonomian dalam negeri.
Sering ada ungkapan, “apapun sistem politiknya, yang penting rakyat sejahtera”. Dari sekian sistem politik yang ada, demokrasi dipercaya sebagai sistem politik terbaik yang akan mewujudkan misi itu. Bukan benar-benar terbaik, tetapi terbaik di antara yang buruk (the best among the worst).Pada praktiknya, demokrasi semakin jauh dari realisasi politik “demi kepentingan rakyat.” Para pemilik modal itulah yang akhirnya secara efektif memiliki akses dan kemampuan untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah. Tak heran bila kemudian kebijakan yang diambil oleh pemerintah lebih cenderung menguntungkan para pemilik modal atau kelompok kaya yang tidak lain adalah mereka yang telah mendukung rezim naik ke tampuk kekuasaan sehingga yang kaya semakin kaya, sedangkan yang miskin makin tersisihkan.
Mau dibawa kemana “rakyat”?
Flashback tahun 2014 bisa dikatakan sebagai tahun bencana politik. Masyarakat disuguhkan carut marut kegaduhan dan tragedi politik yang dimainkan partai dan politisi pragmatis oportunis. Liar dan tidak mencerminkan sebagai negarawan yang sedang membela kepentingan rakyat. Ya, karena madzhab perjuangan mereka adalah uang dan kekuasaan. Inilah yang membuat rakyat dalam kondisi penuh beban.
Slogan revolusi mental yang diusung Rezim Jokowi semasa kampanye tidak menemukan realitas politik keberpihakan. Kebijakan-kebijakan yang semakin liberal diterapkan menambah luka rakyat. Berbagai kebijakan pemerintah lebih memihak pasar yang dikuasai para kapitalis. Contoh nyata adalah kebijakan menaikan harga BBM. Alasannya adalah karena standarisasi harga minyak dunia, menghapus subsidi barang sekaligus mengalihkannya ke subsidi orang. Padahal yang dilakukan adalah untuk mengundang masuknya kapitalis asing dalam sektor ini. Disusul liberalisasi di bidang kesehatan, pendidikan, juga memihak pemilik modal.
Negeri ini dibawa ke arah negara korporasi yang lebih melayani kepentingan perusahaan daripada rakyat. Menurut Kwiek Kwan Gie, bahwa sejak bulan November tahun 1967 Indonesia sudah menyerahkan dirinya untuk diatur dan dijadikan target penghisapan oleh korporasi internasional. Para pemimpin kita sendiri ketika itu menuntun korporatokrasi mulai beroperasi di Indonesia atas dasar infrastuktur hukum yang dirancang oleh korporasi-korporasi asing. (Koran.internet.com, 25/5/2008)
Ingat, Indonesia bukanlah seorang Jokowi atau JK, melaikan sebuah sistem yang memiliki ideologi, institusi politik, sistem yang berjalan secara kompleks. Apa yang diterapkan baik di barat sampai ke timur, menjadi sebuah pola bahwa demokrasi menjadi pilar dari liberalisme politik dan pasar bebas (market forces) sebagai pilar yang bersinergi. Karenanya, demokrasi tidak seiring dengan kesejahteraan, namun seiring dengan penguasaan aset-aset milik rakyat oleh para pemilik modal.
Situasi Klimaks 2015
Setelah memahami realitas politik nasional dan membaca kecenderungan akar rumput, 2015 menjadi tahun yang suram. Hal ini karena efek kebijakan rejim yang semakin tidak berpihak pada rakyat, sekaligus menjadi tahun hentakan kesadaran bagi rakyat untuk mengambil tindakan-tindakan serius untuk melepaskan diri dari belenggu-belenggu penjajahan. Akhirnya semakin menuntun kita pada kesimpulan:
Apa Jalan Selamat itu?
Agama mayoritas penduduk negeri ini adalah Islam, sistem ekonomi Islam sangat berbeda dengan sistem ekonomi Kapitalis dalam hal landasan maupun rinciannya. Berbeda dengan perspektif fundamental Kapitalis yang menganggap sumber daya yang ada di dunia ini terbatas, Islam memandang bahwa bumi ini sangat kaya dengan sumber daya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar seluruh umat manusia. Begitu pula Syariah Islam juga mengatur aspek sosial kehidupan.
Islam bukanlah agama ritual semata, melainkan sebuah ideologi. Sebagai sebuah ideologi yang shahih, tentu Islam memiliki cara-cara yang lengkap untuk mengatasi berbagai problematika manusia, termasuk problem penindasan dan pemiskinan. Kesenjangan kaya miskin, tingginya angka korupsi dan segudang problemdi Indonesia saat ini adalah buah dari diterapkannya Sistem Demokrasi yang sangat kapitalistik dan individualis itu. Sebagai contoh, dalam pandangan kapitalis penanggulangan kemiskinan merupakan tanggungjawab si miskin itu sendiri, kemiskinan bukan merupakan beban bagi umat, negara atau kaum hartawan. Sudah saatnya kita mencari dan menerapkan sistem alternatif selain Kapitalisme, yakni satu paket konsep Islam secara komperehensif, tanpa perlu ada tawar menawar lagi. Mau? [syahid/voa-islam.com]
Image: fikratulummah.blogspot.com