Sahabat VOA-Islam...
Ulama-ulama muslim di Prancis baru-baru ini mengecam serangan terorisme yang dilakukan atas nama Islam. Mereka mendorong warga muslim Prancis untuk ikut dalam aksi untuk menghormati korban tewas dalam penembakan Charlie Hebdo.
Seruan ini disampaikan di lebih dari 2.300 masjid yang ada di seluruh wilayah Prancis. Terdapat sekitar 5 juta warga muslim di Prancis. Demikian seperti dilansir AFP, Sabtu (10/1/2015).
Pernyataan kontroversial muncul dari pengusaha raksasa media, Rupert Murdoch melalui akun twitternya mengenai siapa pihak yang bertanggung jawab atas serangan teror pekan ini terhadap majalah satir Perancis, Charlie Hebdo. Tweet tersebut langsung mengundang reaksi marah dan kritik keras di media sosial.
Murdoch mengunggah tweetnya Hari Sabtu kemarin kepada lebih dari 500,000 pengikutnya: " Mungkin mayoritas muslim pencinta damai, tapi sampai mereka mengenal dan menghancurkan kanker jihad mereka yang terus berkembang, maka mereka harus bertanggung jawab,", tudingnya.
Amerika Serikat, melalui Barack Obama menawarkan dukungan kepada Perancis pada Jumat (9/1) setelah insiden penyerangan majalah Charlie Hebdo di negara tersebut.
"Saat serangan keterlaluan terjadi, kami akan mengarahkan semua operasi penegakan hukum dan kontra untuk memberikan dukungan apa pun yang dibutuhkan sekutu kami dalam menghadapi tantangan ini," kata Obama, seperti dikabarkan AFP.
Didalam negeri sendiri, tindakan yang terkesan lebai dan membebek Barat dikeluarkan Sekretaris Eksekutif Pusat Kajian Trisakti Fahmi Habsyi yang mengingatkan kejadian penembakan dan penyerangan kantor majalah Charlie Hebdo di Paris, Prancis, yang menewaskan 12 orang termasuk 10 jurnalis merupakan tragedi memilukan yang harus menjadi renungan banyak pihak.
Menurutnya, kejadian ini harus menjadi peringatan pula bagi pemerintahan Presiden dan Wakil Presiden, Joko Widodo-Jusuf Kalla, supaya pejabat di bidang politik hukum dan keamanannya meningkatkan kepekaan. "Tidak boleh bekerja setengah hati menghadapi terorisme yang mengancam keamanan bangsa," ujar Fahmi, Sabtu (10/1).
Charlie Hebdo, sejarah berulang penghinaan terhadap agama islam
Majalah Satir Charlie Hebdo adalah media yang sering melukai hati kaum muslimin. Tahun 2006, Charlie Hebdo menyerang Islam dengan mempublikasikan kembali kartun satire Jyllands-Posten, sebuah koran Denmark, tentang Nabi Muhammad. Salah satu kartun, yang memicu protes seluruh umat Islam di dunia, memperlihatkan Nabi Muhammad dengan sorban dan bom di atasnya.
Pada Tahun 2008, Pengadilan Prancis membebaskan Charlie Hebdo dari semua tuduhan menghina umat Islam lewat kartun Nabi Muhammad. Pengadilan beralasan, karikatur yang diterbitkan Charlie Hebdo bertujuan mengkritik ekstremis Islam, bukan seluruh komunitas Muslim di dunia.
Pada Tahun 2011, Charlie Hebdo mengubah masthead untuk 'Syariah Hebdo, dan menampilkan gambar Nabi Muhammad tertawa. Akibatnya, kantor majalah berusaha dibakar, dan pemerintah mengklaim tindakan itu dilakukan Muslim fundamentalis.
Stephane "Charb" Charbonnier, pemimpin redaksi Charlie Hebdo, adalah salah satu korban serangan itu. Ia juga kartunis. Bersamanya, tiga kartunis lain menemui ajalnya dalam penembakan itu.
Pada Tahun 2012, kartikatur Charlie Hebdo memicu kritik keras banyak negara Muslim, dan memaksa pemerintah Prancis bereaksi.
Hanya saja dari serangkaian kekurangajaran kartun-kartun yg di publish majalah Charlie Hebdo, tidak ada satupun yg mendapat reaksi yg cukup oleh penguasa untuk mengambil tindakan terhadapnya.
Bahkan otoritas Perancis berada di Garda terdepan dalam memberikan perlindungan dan pembelaan atas tindakan-tindakan penghinaan nabi Muhammad hanya atas dalih "kebebasan berekspresi".
Standar Ganda Barat yang absurd, kejahatan atas nama Negara.
Nampaknya masyarakat barat memiliki penyakit pikun yg luar biasa akut, sehingga jurang langit dan bumi antara "penghinaan dan kebencian" seolah sama dan sebangun dengan "kebebasan berekspresi".
Rezim Perancis yang mengklaim menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan secara represif mengeluarkan kebijakan pelarangan burka (jilbab), hanya dengan dalih mengancam nilai-nilai kebebasan dan internalisasi nilai dan budaya barat di kalangan muslim dan pendatang.
Hal ini dapat disejajarkan dengan kebijakan Amerika yang melakukan penyerangan dan pembantaian muslim Irak dengan dalih adanya senjata pemusnah masal, demi dan atas nama demokrasi, pembunuhan suatu komunitas bangsa tertentu dianggap legal karena mendapat stempel "kebijakan negara".
Pengusiran kaum muslim di Burma, pembantaian rakyat Suriah oleh rezim Basar asad, penjagalan aktivis islam oleh al Sisi di Mesir, penyerangan Palestina oleh tentara Israel, pembunuhan etnis muslim oleh rezim Hindu di India, semuanya dianggap legal karena dilakukan oleh Negara.
Yang semisal lagi adalah kutipan yang diambil oleh preman pasar dianggap ilegal, sementara penarikan pajak yang mencekik leher rakyat dipandang legal, semua semata-mata karena adanya legitimasi negara.
Apa yang dilakukan oleh pelaku aksi Charlie Hebdo, segera disimpulkan sebagai sebuah tindakan barbarisme bahkan langsung mendapat stigma teroris, semata-mata bukan karena tindakannya, apalagi jika dikaitkan latar belakang penghinaan yang bertubi-tubi kepada islam oleh majalah Charlie Hebdo.
Tetapi tindakan tersebut disematkan predikat aksi terorisme semata-mata karena dilakukan oleh individu atau entitas kekuatan selain negara. Aksi tersebut menjadi Sahih disebut aksi teroris karena korbannya adalah pengagum kebebasan dan memiliki latar belakang menghina islam. Seolah-olah, kesimpulan yang hendak dibangun dalam tataran opini publik adalah bahwa terorisme identik dengan islam.
Publik telanjur mengikuti ritme opini yang ditabuh barat dengan berbagai media yang bekerja siang dan malam untuk memusuhi islam. Sementara dua pria terduga pelaku aksi Charlie Hebdo tewas dalam aksi kontak senjata dengan aparat Perancis.
Belum ada pengajuan tuntutan dan pemeriksaan secara hukum melalui pengadilan, sayangnya publik telanjur diajak memvonis pelaku yang mengeksekusi kartunis Charlie Hebdo sebagai teroris, sementara kartunis penghina nabi Muhammad dianggap pejuang kebebasan yang layak mendapat simpati dan dibanjiri dukungan.
Urgensi Khilafah sebagai benteng dan penjaga kemuliaan islam
Ada kewajiban dalam islam yang tidak bisa dilakukan individu atau jamaah, melainkan harus dijalankan dengan metode kekuasaan. Kekuasaan inilah yang akan menjadi sumber legitimasi atas serangkaian perbuatan yang telah diwajibkan syara, kekuasaan pula yang akan menjadi rujukan bagi umat untuk meminta pertanggungjawaban penguasa atas legitimasi yang dijalankan.
Penerapan sanksi hudud, Qisos, diyat, ta'jier, mukholafah, mengemban misi jihad dan melakukan berbagai penaklukkan adalah kewajiban dimana syara' telah mensaratkan penunaiannya harus dengan metode Negara.
Dengan adanya Negara (Khilafah) semua hukum tersebut menjadi legal diterapkan dan umat dapat melakukan kontrol terhadap penerapannya. Kewajiban Jihad yang Agung, dalam kapasitas menyerang negara lain untuk ditaklukkan hanya menjadi legal atas perintah Khilafah.
Khilafah pula, didalam negeri akan melakukan riayah (pelayanan) terhadap kebutuhan kemaslahatan umat, termasuk sebagai jembatan artikulasi semangat jihad dan pembelaan akidah seluruh umat.
Dengan adanya Khilafah, umat dapat melakukan eksekusi terhadap para penghina Rasulullah tanpa khawatir disebut teroris, karena ada legitimasi negara. Bahkan, Khalifah secara langsung akan memobilisir pasukan dan umat untuk memberikan hukuman kepada kekuasaan dan negara yang melindungi penghina Nabi.
Dengan demikian sikap yang diambil kaum muslimin adalah sikap ksatria, sikap yang akan menjaga izzul islam Wak muslimin, sikap yang akan membebaskan seluruh dunia dari belenggu "kebebasan". Khilafah pula yang akan menjadikan setiap hukum islam termasuk jihad, sebagai hukum yang diterapkan secara legal bahkan menjadi puncak kemuliaan yang dicita-citakan setiap muslim, dimana dengan Jihad mereka merindukan Syahid di jalan-Nya.
Dengan Khilafah, umat akan terhindar dari sikap inferior, merasa tertuduh, melakukan pembelaan dengan mencoba melakukan tafsir ulang terhadap Nash syara sesuai keinginan barat, atau bahkan yang lebih parah dapat terhindar dari rasa simpati dan empati pada pelaku kemaksiatan, sebagaimana dilakukan para pemimpin negeri kaum muslimin yang menjadi antek barat.
Mereka berbondong-bondong memberikan simpati dan empati, bahkan ikut turut dalam kegiatan merespons peristiwa Charlie Hebdo. Pada saat yang sana, sikap tersebut tidak muncul manakala Rasulullah Muhammad SAW dicaci dan dihina, mereka merasa cukup dengan hanya memberikan pernyataan dan kutukan.
Dengan Khilafah tidak akan ada lagi yang berani menuding dan lancang mereduksi Jihad sebagai aktivitas Teroris. Tidak akan adalagi opini negatif penerapan syariah islam, tidak ada lagi tindakan penghinaan terhadap nabi. Pendeknya, umat ini memang sangat mendesak untuk Menegakan Khilafah. Wallahu a'lam.
Kiriman Ahmad Khozinudin, SH. (Advokat & Aktivis Hizbut Tahrir Kota Bekasi)