View Full Version
Ahad, 22 Mar 2015

Harga Keadilan Bagi Nenek Asiyani

Sahabat VOA-Islam…

Berapa harga sebuah keadilan? Pertanyaan itu berulang-ulang hadir dalam benak. Kisah mbah Asiyani (63 tahun) yang sempat merasai dinginnya lantai penjara selama tiga bulan hanya karena 7 batang kayu jati yang diduga dicurinya, adalah pemicu pertanyaan ini. Atau cerita mbah Harso (67 tahun) yang ditahan selama 23 hari karena memindahkan potongan kayu milik Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Paliyan yang berada di lahan yang disewanya. Baru diketahui kemudian jika lahan yang disewanya tersebut ternyata miliki BKSDA. Sekalipun kedua orang tua ini telah dibebaskan, namun proses hukum masih dilanjutkan.

Sedikit mundur ke belakang, ada pula kasus Rahmat Bin Abdullah yang divonis 5 bulan penjara dalam sidang pembacaan putusan hakim, dalam kasus pengerusakan barang di Kantor Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Nunukan Kalimantan Utara yang digelar tanggal 9 Februari 2015.

“Saya ngamuk di kantor kenapa? Bayangkan saja saya patroli di hutan, nangkap orang yang ngerusak hutan, kita tangkap tersangkanya, kita bawakan ke polisi tidak diproses. Malah berapa hari kemudian kami malah yang dikeroyok di hutan, mau dipotong-potong oleh mereka. Saya ke kantor polisi, saya laporkan lagi peristiwa itu, apa kata polisi? Tidak usah lapor ke sini, karena bapak tidak bisa lapor secara pribadi harus kedinasan. Saya pergi lagi ke kantor minta tanda tangan untuk kembali lapor ke polisi, malah kepala dinas tidak mau tanda tangan, entah dengan alasan apa?” cerita Rahmat, beberapa waktu lalu (beritakaltara).

Berapa harga sebuah keadilan? Saat rakyat kecil tersandung ‘kekeliruan’, tidak ada kompromi, hukum harus ditegakkan tanpa peduli kemanusiaan. Saat rakyat kecil berupaya menegakkan kebenaran, jika menggunakan kekerasan maka tidak akan dimaafkan. Tanpa memedulikan penjelasan dan mengabaikan fakta ada kejahatan lebih besar yang dibiarkan. Ternyata harga sebuah keadilan tak lebih dari persepsi manusia semata. Dan seringkali, uang menjadi terlalu ahli mempengaruhi persepsi manusia. Dan di dunia seperti inilah kita hidup.

Bukankah ini saatnya kita menyepakati satu persepsi yang ajeg? Satu persepsi tanpa perdebatan, diamini oleh semua orang. Itulah persepsi dari Sang Pencipta, yang jelas tak memihak, pasti keadilanNya bagi semua. Saatnya kita berpaling pada hukumNya. Sebagai seorang muslim, saya memiliki keyakinan tak tergoyahkan bahwa Islam memiliki seperangkat aturan yang lengkap termasuk dalam hukum dan keadilan.

Hanya dalam Islam terjadi kisah seorang khalifah (Umar bin Khattab) yang menghukum walinya (gubernur) karena menggusur rumah seorang Yahudi, bahkan beliau menggantinya dengan harga berlipat-lipat. Rasulullah pun bersabda

Sesungguhnya yang membinasakan umat sebelum kamu adalah apabila ada bangsawan mencuri, dibiarkan. Namun jika ada orang rendahan mencuri dikenakan atasnya hukum had. Demi Allah, andaikan Fatimah putriku mencuri maka akan kupotong tangannya (HR. Bukhori Muslim).

Inilah gambaran keadilan yang ditawarkan Islam. Karena Islam hanya menjadikan syariat Islam sebagai sumber hukum, maka tidak akan ada keragaman persepsi, nilai keadilan pun dapat ditentukan dengan mudah. Namun hal ini akan menjadi mustahil tanpa kesadaran dan perjuangan umat mewujudkannya. Maka disinilah diperlukan upaya menyeru umat terus menerus agar menyadari kebutuhan serta kewajiban menerapkan syariat Islam dalam naungan Khilafah Islamiyah ‘ala minhajin nubuwwah, yaitu khilafah yang berdasarkan manhaj/thariqah kenabian, itulah khilafah yang tegak dengan dakwah pemikiran tanpa kekerasan yang akan memastikan setiap syariat Allah terterap kaffah. Walahualam bi showab. [syahid/voa-islam.com]

Kiriman Oktavia Nurul Hikmah (Mahasiswa Fak. Ekonomi dan Bisnis Univ. Airlangga Surabaya)


latestnews

View Full Version