Oleh : Abu Fikri (Aktivis Gerakan Revivalis Indonesia)
Sahabat VOA-Islam...
Belum pernah satupun peristiwa dugaan terorisme yang mengaitkan keberadaan Ustadz Basri berujung penangkapan. Saat euforia isu ISIS bergulir deras menimbulkan reaksi over-akting seluruh pemangku kebijakan negeri ini. Mulai pusat maupun daerah dikomandani BNPT yang selalu menekankan pentingnya gerakan penyadaran melalui dialog.
Baru-baru ini justru hadir di tengah-tengah kita sebuah tontonan drama menonjolkan cara-cara represif dan tidak berperikemanusiaan. Ustadz Basri pimpinan ponpes Tanfidzul Alquran yang cacat kakinya (maaf) berlokasi di kawasan belakang Polda Sulsel dikenal sebagai mubaligh berintegritas tinggi terhadap perjuangan Islam, diperlakukan sebagaimana layaknya binatang.
Seolah beliau sulit dilunakkan sehingga perlu ditabrak sepeda motornya, diinjak tangannya, diborgol dengan todongan senapan laras panjang oleh segerombolan pasukan bersenjata lengkap Densus 88 AT.
Sepeda motor yang ditabrak sekembalinya dari pasar sebagaimana kegiatan beliau setiap hari itu akhirnya digeletakkan bersama putranya berusia 3 tahun yang menangis histeris sambil berucap "abahku ditembak abahku ditembak".
Sesaat mau dimasuk paksakan ke dalam mobil dengan pengawalan ketat bak seperti komandan pasukan separatis di medan perang yang perlu diperlakukan secara dramatis dengan level keamanan tingkat tinggi, pekikan takbir kemudian meluncur dari mulut beliau.
Berkembang asumsi dugaan apa yang kira-kira dituduhkan, mengingat hingga detik ini belum ada konfirmasi resmi dari Mabes Polri berkaitan dengan kesalahan apa yang ditimpakan.
Sudah banyak statement dan analisa berkaitan dengan treatment Densus 88 AT dalam berbagai kasus penangkapan terduga teroris. Termasuk dalam kasus hari Jum'at, 24 April 2015 Jam 09.00 WITA di Sudiang, Makassar, Sulawesi Selatan kemarin. Dan menunjukkan kinerja penangkapan organ anti teror berlambang burung hantu itu hari demi hari semakin buruk tidak semakin membaik.
Apalagi diantaranya banyak juga terjadi beberapa kesalahan penangkapan. Bahkan kesalahan penembakan yang berujung merenggut nyawa manusia. Tapi semuanya tidak membuat organ itu bergeming.
Seperti tidak pedulikan apapun statement yang meluncur dari banyak pihak bahkan dari tokoh umat. Atas nama penindakan terorisme, apapun akan dilakukan meski kadang terdapat kesalahan mencabut nyawa manusia karena sudah dilegitimasi undang-undang. Begitu dalihnya.
Sebelumnya berkembang pemberitaan seputar Ust Basri:
Pertama, pada 9 Agustus 2014 sebagaimana dilansir oleh Tribun Timur dengan judul berita "Soal ISIS di Makassar, Kapolda: Ustad Basri Bukan Teroris" dijelaskan bahwa Ust Basri mengaku tidak mengenal ISIS.
Seperti yang disampaikan oleh Kapolda Sulsel saat itu yang mengaku telah memediasi Ustad Basri, namun hasil mediasi itu tidak ada hasil yang membuktikan bahwa Ustad Basri itu melakukan penyimpangan atau akhir ini disebut " teroris" kata Irjen Pol Burhanuddin Andi. "Dia (Ustad) mengaku ke saya, tidak tahu siapa itu ISIS," tambah kapolda.
Kedua, sebagaimana juga diberitakan oleh media lain yang berjudul "Ust Basri: ISIS ? Bukan di Sini Tempatnya". Berita yang dilansir oleh Celebes News, 31 Maret 2015, “ISIS ? Jangan mi tanya saya kalau soal ISIS. Salah ki, bukan di sini tempatnya. Di sini tempatnya orang hafal Alquran,” terang Ustaz Basri.
Ketiga, sebagaimana yang diungkap oleh Koran Rakyat Sulsel, penanggung jawab Tahfidzul Quran Masjid Ridha, Ustaz Muh Basri memberikan keterangan terkait pembaiatannya dengan Daulah Khilafah islamiyah atau Negara Islam yang ditegakkan oleh Islamic State of Irak and Syira (ISIS) di Masjid Ridha, Jl Mannuruki, Sudiang Raya, Biringkanaya, Makassar, Rabu (6/8).
Penanggungjawab Tahfidzul Quran Masjid Ridha itu membantah bila kegiatan ini bagian dari jaringan ISIS yang selama ini diberitakan. Tapi Basri juga mengakui keberadaan Daulah Khilafah Islamiyyah, negera Islam yang didirikan ISIS, di Irak dan Syria.
Yang ganjil dari proses penangkapan tidak berperikemanusiaan Ust Basri kali ini adalah sebagai berikut :
Pertama, nampaknya Mabes Polri dalam hal ini Densus 88 AT telah mengamati gerak gerik Ust Basri sudah lama. Tinggal mencari momentum yang tepat sebagai pembenaran atas penangkapan Jum'at kemarin.
Meski terdapat banyak bantahan yang disampaikan oleh beliau keterkaitannya dengan ISIS sebagaimana diungkap oleh beberapa media di atas. Tapi jejak rekam beliau sebagai veteran mujahidin Afghanistan dan beberapa istri para mujahidin syahid korban kriminalisasi yang ditampungnya cukup sebagai modal legitimasi mengkaitkannya dengan cerita panjang war on terrorism.
Meski faktanya kegiatan pesantren yang diasuhnya hanyalah berisi Tahfidzul Qur'an. Jauh dari dugaan keterkaitan dengan jaringan ISIS seperti yang dituduhkan selama ini. Seolah terjadi sebuah operasi khusus yang berisi rangkaian kegiatan pengamatan, pembiaran, penyusupan, dan berujung pada penangkapan.
Kedua, meski dibantah dan diyakinkan baik oleh Kapolda sebelumnya maupun Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo bahwa Sulsel terkendali dan jangan berlebihan menyikapi ISIS. Namun kasus penangkapan kemarin seperti menjadi momentum pembenaran bahwa keberadaan ISIS di Sulsel perlu disikapi dengan kewaspadaan yang sangat tinggi.
Langkah-langkah Densus 88 AT kadang-kadang tidak dipahami atau tidak terkonfirmasi di organ kepolisian yang berada di level daerah. Ada agenda-agenda khusus yang menggerakkan setiap operasi atas nama war on terrorism di berbagai daerah oleh Densus 88 AT.
Ketiga, kasus penangkapan Ust Basri di tengah secara masif dilakukan berbagai rangkaian kegiatan kampanye masif penanggulangan terorisme dan radikalisme di Sulawesi Selatan. Diantaranya :
1) Sertifikasi Da'i, Perlukah ? di kantor PWNU Sulsel, 2) Seminar Nasional Kebangsaan "Menjaga Keutuhan NKRI" di Universitas Islam Makassar dihadiri oleh PBNU (Masdar F Mas'udi), Kodam VII Wirabuana, MUI Pusat, 3) Sosialisasi Sinergitas Penanggulan Terorisme dan Radikalisme di Kantor Gubernur dihadiri oleh KH Hasyim Muzadi, BNPT, Gubernur, Mabes Polri, 4) Pelatihan Da'i yang difasilitasi oleh FKPT (Forum Komunikasi Penanggulangan Terorisme) Sulsel dan BNPT di beberapa masjid di Sulsel, 5) Seminar Nasional Emansipasi Wanita di Universitas Hasanuddin yang menghadirkan delegasi resmi dari Iran, 6) Dan sederetan kegiatan lain dengan visi dan misi yang sama.
Ini semua seolah menggambarkan bahwa kampanye masif penanggulangan terorisme dan radikalisme menemukan relevansinya dengan kasus penangkapan itu.
Keempat, kasus penangkapan itu terjadi pada menjelang berakhirnya moment internasional KAA 2015 dan menjelang akan diselenggarakannya perayaan outdoor hari independence day AS di Losari Makassar, Sulawesi Selatan bulan Mei 2015.
Di tengah masifnya opini perdagangan internasional melalui AFTA dan MEA 2015. Dan kita ingat bahwa liberalisasi perdagangan adalah salah konten dari Structural Adjusment Program (Program Penyesuaian Struktural) Letter Of Intent (LOI) IMF yang dipaksakan pada pemerintah RI.
Sulawesi adalah koridor ekonomi yang diprioritaskan sebagai pusat produksi dan pengolahan hasil, pertanian, perkebunan, perikanan, migas dan pertambangan nasional.
Dimana di Sulawesi ini terdapat sebuah kandungan energi sejenis uranium yang sedang diincar oleh AS. Yakni sejenis zat energi bervolume sebesar tempat korek api saja bisa menjadi energi yang mampu menggerakkan mobil dalam hitungan puluhan tahun lamanya.
Belum lagi nilai strategis perairan dari aspek kandungan hayati maupun sebagai jalur perdagangan internasional. Kasus penangkapan itu mengisyaratkan seolah-olah sebagai jaminan kepastian keamanan internasional oleh RI atas ancaman terorisme sebagaimana komitmen RI diantaranya yang disampaikan dalam forum KAA 2015 kemarin.
Kelima, kasus penangkapan itu seolah memberikan signal kepada siapapun yang terlibat mengambil bagian dalam perjuangan umat islam melalui jalan jihad di berbagai negara muslim termasuk di Afghanistan, Palestina maupun Syam dan Irak demi menjaga kehormatan islam beserta saudaranya dari tirani internasional di bawah komando AS maka sekembalinya di Indonesia sudah pasti akan ditangkap dan dijerat hukum. Kenapa ?
Karena mindset yang diadopsi RI melalui dua organ pentingnya Densus 88 dan BNPT memiliki kesamaan pandangan dengan National Inteligent Council AS dalam melihat terorisme.
Dengan kata lain tidak ada ruang bagi kaum muslimin yang memiliki aspirasi atau keinginan mengimplementasikan keyakinan islamnya dalam perkara jihad. Karena ajaran jihad adalah kata kunci simbol perlawanan yang berada di garda terdepan dalam menghadapi penjajahan militer barat (Eropa dan AS).
Sebaliknya mereka yang mendukung kepentingan invasi militer dengan segala dalih termasuk melapangkan jalan mulus terjadinya neo imperialisme dan neo liberalisme dengan berbagai logika dan argumentasi mendapatkan support dan fasilitasinya.
Termasuk fasilitasi dana dalam kerangka kepentingan proyek war on terrorisme. Di sinilah terjadinya pertemuan kepentingan antara kalangan liberalis, pragmatis, dan utopis. Yang melihat war on terrorisme tidak lebih sekedar sebagai proyek. Tidak lebih dari itu.
Keenam, kasus penangkapan itu sebagai warning bahwa boleh saja kaum muslimin mendakwahkan apa saja tentang ajarannya. Asal sesuai dengan koridor yang ada di negeri ini. Apa maksudnya ? Yakni bahwa ada ajaran islam yang kontekstual dengan Indonesia dan ada juga yang tidak kontekstual.
Seperti tercermin dalam statement Hasyim Muzadi yang menyatakan bahwa "bukan bagaimana mengislamkan Indonesia melainkan meng-Indonesiakan Islam". Dengan kata lain tidak semua ajaran islam dipakai atau dimaknai secara syar'i melainkan harus disesuaikan. Seperti ajaran jihad dan khilafah misalnya.
Ketujuh, kasus penangkapan itu mengisyaratkan bahwa kaum muslimin boleh memperjuangkan dan mendakwahkan islam tetapi tidak boleh dengan jalan jihad atau menjelaskan makna syar'i jihad. Melainkan dengan jalan damai melalui pemikiran dan politik. Dengan kata lain boleh menjadi wacana pemikiran entitas/komunitas dakwah. Tetapi tidak boleh dipaksakan sebagai konsensus nasional.
Alhasil beragam kasus penangkapan terduga terorisme oleh Densus 88 AT termasuk yang terjadi di Sudiang, Makassar, Sulawesi Selatan Jum'at kemarin menyisakan pertanyaan besar kemana arah penyelesaian penanggulangan terorisme dan radikalisme mau dituju ?
Di tengah ketergantungan politik dan ekonomi yang sangat besar kepada AS melalui IMF dengan jerat hutangnya. Wallahu a'lam bis showab. [syahid/voa-islam.com]
image: ilustrasi/okezone