Oleh: DR. H. Abdul Chair Ramadhan, SH, MH, MM*
Sahabat VOA-Islam...
Penyimpangan terhadap ajaran pokok agama bukanlah fenomena baru, melainkan telah berlangsung sedemikian lama dan beragam rupa. Penyimpangan yang melahirkan konflik horisontal (das sein) di masyarakat tentunya memerlukan das solen. Konflik tersebut merupakan kenyataan alamiah atau peristiwa konkret (das sein), oleh karea itu memerlukan kenyataan normatif atau apa yang seyogyanya dilakukan (das solen).
Dalam hukum yang terpenting bukanlah apa yang terjadi, melainkan apa yang seharusnya terjadi. Kaidah hukum bersifat memerintah, mengharuskan atau preskriptif, maka diperlukan suatu pengaturan normatif dalam bentuk peraturan perundang-undangan.
Penyimpangan terhadap ajaran pokok agama ternyata sangat terkait dengan pandangan ideologi para penganutnya. Dikatakan demikian oleh karena, dalam aspek teologis terkandung muatan ideologis dan bahkan pula politis. Sejalan dengan itu, maka dapat dikatakan penyimpangan terhadap ajaran pokok agama tidak dapat dilepaskan dengan aspek ideologi yang menghubungkannya. Ideologi dimaksud adalah ideologi transnasional yang mampu menembus batas-batas yuridiksi suatu Negara yang berdaulat (non territorial).
Tentu ideologi transnasional ini dapat menjadi ancaman nirmiliter bagi kelangsungan hidup suatu Negara, tidak terkecuali Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang diikat dengan ideologi Pancasila, baik sebagai dasar Negara, maupun pandangan hidup bangsa (Wawasan Nusantara).
Masuknya ideologi transnasional yang didasarkan atas keyakinan keagamaan yang menyimpang belumlah diantisipasi oleh pemerintah melalui seperangkat peraturan perundang-undangan. Sampai saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang merumuskan ancaman terhadap Keamanan Nasional yang didasarkan atas ideologi religius transnasional.
Ideologi yang didasarkan pada ajaran agama yang menyimpang dapat ditemukan pada ideologi Syi’ah Iran
Ideologi yang didasarkan pada ajaran agama yang menyimpang dapat ditemukan pada ideologi Syi’ah Iran. Ideologi Imamah yang dianut oleh Syi’ah Iran memiliki bentuk dan corak yang berbeda dengan penyimpangan agama lainnya. Begitupun bentuk ancamannya, selain ditujukan terhadap kepentingan agama juga terhadap keutuhan dan kedaulatan Negara. Di sisi lain, peraturan perundang-undangan yang ada belum mampu menjangkau ancaman dimaksud.
Dalam kasus penistaan dan penodaan ajaran agama oleh Syi’ah Iran, ternyata perbuatan melawan hukum itu merupakan resultan dari ideologi Imamah, yang dikembangkan oleh Syi’ah Iran. Ideologi transnasional Syi’ah Iran ini menyebabkan memudarnya semangat nasionalisme dan kecintaan pada bangsa dan Negara. IdeologiSyi’ah Iran yang mengusung doktrin Wilayat al-Faqih menjadikan penganut Syi’ah cenderung lebih mengedepankan Waly al-Faqih daripada kepentingan nasional.
Contoh aktual adalah sebagaimana yang terjadi di Lebanon dengan kehadiran gerakan Hizbullah, dan termasuk Syi’ah Houthi di Yaman. Hizbullah telah menjelma sebagai non state actor yang menjadikan Lebanon sebagai Negara bagian Republik Iran. Adapun Syi’ah Houthi sama dengan kasus gerakan Amal – sebelum menjadi Hizbullah – juga bermaksud menjadikan Yaman sebagai bagian integral Iran dalam kepentingan geopolitik di Timur Tengah.
Penguatan ekspansi tersebut telah menggerakkan para penganutnya untuk melakukan perilaku menyimpang dan mengundang timbulnya konflik horisontal di masyarakat. Ekspansi ideologi Syi’ah Iran, pada tahap awal mengambil bentuk perbuatan melawan hukum di bidang agama. Dalam spektrum yang lebih tinggi, ideologi Syi’ah Iran ini diarahkan untuk membentuk kesetiaan dan kepatuhan kepada Waly al-Faqih melalui Marja al-Taqlid di Negara target. Pada tahap yang demikian tentu menjadi ancaman bagi eksistensi NKRI, mengingat agenda politis jangka panjang Iran untuk menjadikan suatu Negara sebagai bagian dari Republik Iran.
Terkait dengan keterbatasan peraturan perundang-undangan yang ada, akan menjadi preseden buruk dalam kaitannya dengan memperkuat sistem Ketahanan Nasional Indonesia. Kita ketahui bahwa aspek pengaturan dalam sistem Ketahanan Nasional merupakan bagian terpenting dalam menghadapi perkembangan lingkungan strategis yang terjadi, baik global, regional maupun nasional. Untuk itu, diperlukan suatu upaya yang komprehensif, integral dan holistik dalam merumuskan kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana (penal policy).
Dalam hal ini terdapat masalah sentral, yakni (1) perbuatan apa yang perlu ditentukan sebagai tindak pidana (kriminalisasi), (2) masalah pelakunya menyangkut kesalahan atau pertanggungjawaban pidana, dan (3) sanksi pidana apa yang selayaknya dikenakan pada pelaku. Dengan bahasa lain dapat dikatakan, ketika hukum pidana dipilih dan ditetapkan sebagai sarana penanggulangan kejahatan, maka ada dua masalah sentral dalam kebijakan kriminal (legal policy) yaitu masalah penentuan perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana dan sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar. Kedua masalah itu dikenal dengan istilah “kriminalisasi”.
Kriminalisasi merupakan tindakan atau penetapan penguasa mengenai perbuatan-perbuatan tertentu yang oleh masyarakat atau golongan-golongan masyarakat dianggap sebagai perbuatan yang dapat dipidana menjadi perbuatan pidana atau proses penetapan suatu perbuatan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. Proses ini diakhiri dengan terbentuknya undang-undang yang mengancam perbuatan itu dengan suatu sanksi yang berupa pidana. Jadi kriminalisasi itu adanya di depan, bukan di dalam proses peradilan pidana (law enforcement).
Lebih lanjut, upaya kriminalisasi dalam menyikapi ekspansi ideologi transnasional Syi’ah Iran, memerlukan suatu pengaturan normatif dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang mampu menjamin kepentingan agama sebagai bagian dari Keamanan Nasional. Secara teoretis tindak pidana terhadap kepentingan agama, dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu: pertama, delik-delik yang bersangkutan dengan agama (relating, concerning), dan kedua, delik-delik yang ditujukan terhadap agama (against). Kedua aspek mengenai tindak pidana terhadap kepentingan agama tersebut diatur dalam KUHP, dengan tujuan melindungi kepentingan agama.
Tindak pidana yang ditujukan terhadap agama (againts) adalah benar-benar membahayakan agama dan yang diserang secara langsung
Tindak pidana yang ditujukan terhadap agama (againts) adalah benar-benar membahayakan agama dan yang diserang secara langsung. Di sini perbuatan maupun pernyataannya sengaja ditujukan lansung kepada agama.Adapun tidak pidana yang bersangkutan/berhubungan dengan agama (relating / concerning) adalah tidak ditujukan secara langsung dan membahayakanagama itu sendiri.Pada umumnya orang menyebut delik agama dalam konotasi seperti yang ditunjuk pada tindak pidana yang pertama, tidak termasuk tidak pidana yang kedua, sehingga dapat dikatakan delik agama ini dalam pergertian sempit. Sedangkan delik agama dalam pengertian yang luas mencakup baik delik yang pertama maupun delik yang kedua, yang dalam tulisan ini disebut sebagai tindak pidana terhadap kepentingan agama (tindak pidana agama).
Penggolongan tindak pidana terhadap kepentingan agama dapat diterapkan terhadap penyimpangan ajaran pokok agama yang dilakukan oleh kaum Syi’ah. Tindak pidana yang ditujukan terhadap agama (againts) menyangkut penyimpangan penafsiran atas ajaran pokok agama yakni al-Qur’an dan Hadits. Penyimpangan yang demikian melahirkan transmisi ajaran agama yang berbeda dengan Islam.
Sedangkan tidak pidana yang bersangkutan/berhubungan dengan agama menunjuk kepada turunan atau dampak dari penyimpangan penafsiran terhadap sumber pokok ajaran agama yang diwujudkan dengan adanya penodaan atau penistaan, sebagai contoh pencaci-makian dan pengkafiran terhadap sahabat dan isteri Nabi Muhammad SAW. Namun perumusan terhadap penggolongan dua bentuk tindak pidana terhadap kepentingan agama itu belum menyentuh keterhubungannya dengan kepentingan Negara terkait dengan ekspansi ideologi yang mengancam keutuhan dan kedaulatan NKRI.
Untuk menjaga keutuhan dan kedaulatan NKRI baik untuk masa sekarang maupun masa yang akan datang, mutlak diperlukan kriminalisasi terhadap ideologi transnasional yang mengancam Ketahanan Nasional Indonesia. Dalam kasus Syi’ah Iran, ideologi Imamah selain termasuk sebagai bagian dari tindak pidana yang ditujukan terhadap agama juga termasuk dalam kategori ancaman terhadap Negara. Penyimpangan ajaran pokok agama selain mengancam kepentingan agama juga mengancam keutuhan dan kedaulatan Negara, karena terkandung muatan ideologis dan politisyang hendak menggantikan ideologi Pancasila dan ini dilakukan oleh tipe “Syi’ah Ideologi”.
Adapun bentuk penodaan atau penistaan terhadap agama tidak hanya dilakukan oleh Syi’ah Ideologi, namun juga oleh penganut Syi’ah di level bawah. Dapat dikatakan penyimpangan terhadap ajaran pokok agama merupakan bentuk khusus, sedangkan penodaan atau penistaan agama merupakan bentuk umum. Namun demikian, perlu dicatat bahwa penyimpangan ajaran pokok agama, penistaan dan/atau penodaan bukan termasuk tindak pidana khusus (lex specialis), melainkan termasuk cakupan tindak pidana umum (lex generalis). Dengan mengacu kepada prinsip hukum tindak pidana umum, tentu pembuktiannya tidaklah sulit dan tanpa perlu membentuk badan atau komisi khusus untuk penanggulangannya. Disini yang diperlukan adalah ketegasan pemerintah. Melindungi agama berarti melindungi Negara, tetapi melindungi Negara belum tentu melindungi agama. Wallahu ‘alam. [syahid/voa-islam.com]
*) Penulis adalah : CEO Lisan Hal, Anggota Komisi Kumdang MUI Pusat, Ketua Litbang MIUMI DKI Jakarta, Dewan Pakar ANNAS, Pendiri dan Pengkaji Ahli LKS Al-Maqashid Syariah, Ketua DPP Bakorpa Bidang Hukum, Dosen dan Konsultan Hukum.
image: lppimakasar