JAKARTA (voa-islam.com) - Apa yang dikhawatirkan banyak pihak terbukti. Usai menghadiri undangan Presiden Jokowi di Istana Negara, para ketua BEM yang tergabung dalam BEM Seluruh Indonesia (BEM SI) berubah sikap.
BEM SI yang sebelumnya bersikeras untuk menggelar aksi bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei tiba-tiba mengendur. Perwakilan BEM yang hadir, yakni dari UI, ITB, Universitas Gadjah Mada, Universitas Parahyangan, Universitas Padjadjaran, Universitas Trisakti, dan Universitas Atmajaya, telah bersepakat untuk tidak turun ke jalan pada tanggal tersebut.
Ketua BEM UI Andi Aulia Rahman bahkan dengan tergesa-gesa menyatakan aksi tanggal 20 Mei terpaksa dibatalkan karena rentan disusupi agenda pelengseran Jokowi.
“Kami awalnya mau demo tanggal segitu, tapi ternyata tanggal 20 ada yang mainin isu lengserkan Presiden. Makanya, kami jadi (unjuk rasa) tanggal 21,” ucap Andi seusai bertemu Presiden Jokowi di Kantor Presiden, Senin (18/5/2015) malam.
Lucunya, Andi sendiri tidak tahu siapa yang menggerakkan massa menggelorakan isu pelengseran Jokowi itu. Namun, BEM UI bersama dengan BEM lain yang tergabung dalam BEM Seluruh Indonesia (BEM SI) memutuskan tidak mau berunjuk rasa dengan tuntutan agar Jokowi turun takhta.
Ketidaktahuan Andi tentang informasi penyusupan aksi yang akan berujung pada pelengseran Jokowi ini memunculkan spekulasi bahwa BEM memperoleh informasi tersebut dari istana.
Bukan tidak mungkin dalam pertemuan dengan Jokowi, para ketua BEM dicekoki informasi intelijen yang belum tentu dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Lagipula, jika kita seorang aktivis mahasiswa maka bukan merupakan urusan kita apakah aksi yang akan dilakukan berujung pada pelengseran atau tidak.
Tugas mahasiswa adalah menyuarakan kebenaran. Dengan kekhawatiran seperti yang diungkapkan Andi, maka gerakan mahasiswa (baca BEM SI) sudah terjebak dalam politik praktis.
Rencana BEM SI untuk tetap menggelar aksi tanggal 21 Mei juga menjadi absurd.
Pertama, karena belum-belum mereka sudah menyatakan aksi tidak dimaksudkan untuk menurunkan pemerintah. Menurut Andi, prinsip pergerakan mahasiswa kini berubah. Pada era reformasi, pergerakan mahasiswa berhasil karena sudah menggulingkan sebuah rezim. Namun, unjuk rasa mahasiswa kali ini akan ditujukan untuk menyadarkan pemerintah tentang masalah yang dihadapi bangsa saat ini dan masa depan.
“Kami berbeda dengan pergerakan tahun ’98 dan ’66. Kami tidak ingin gerakan mahasiswa selalu dikaitkan dengan turunnya rezim. Kami ingin membangunkan Presiden tentang persoalan di depan mata. Terlalu dini untuk mengeluarkan hal itu (pelengseran Presiden),” kata Andi.
Celotehan Andi diamini Ketua BEM ITB Muhammad Pramaditya Garry Hanantyo yang biasa dipanggil Gerry. Gerry menyatakan, “Tak ada niat buruk seperti itu dari BEM SI. Kami hanya ingin mengingatkan pemerintah agar mempercepat progress kerjanya.” Pernyataan Gerry ini seolah menegaskan peran BEM SI yang sudah berubah menjadi pasukan nasi bungkus (sebutan untuk tim media Jokowi saat Pilpres). Seluruh aktivis dan mantan aktivis mahasiswa serta rakyat Indonesia tahu bahwa rencana aksi BEM SI tanggal 20 Mei sudah lama digembar-gemborkan untuk mengkritisi pemerintahan Jokowi-JK yang tidak becus mengurus negara dan hanya menambah kesengsaraan rakyat.
Lalu tiba-tiba seorang Ketua BEM ITB menyatakan aksi BEM SI hanya untuk mengingatkan pemerintah untuk mempercepat proses kerjanya. Sungguh sebuah pernyataan yang naif dan melukai perasaan para aktivis mahasiswa dan rakyat Indonesia.
Kedua, penundaan rencana aksi dari tanggal 20 Mei menjadi 21 Mei membuat BEM SI kehilangan momentum.
Dalam dunia pergerakan mahasiswa momentum merupakan hal yang penting. Berapa banyak mahasiswa dan juga rakyat Indonesia yang menunggu untuk bergabung dengan aksi tanggal 20 Mei. Mereka ini kemudian kecewa dan merasa gerakan mahasiswa yang dimotori BEM SI tidak lagi murni untuk kepentingan rakyat, bangsa dan negara.
Penulis tidak akan terkejut jika aksi besok (21 Mei) tidak akan mampu menggerakkan massa mahasiswa. Entah apa yang dijanjikan Jokowi pada para Ketua BEM yang hadir, tapi penulis sangat menyesalkan jika berita yang dibawa angin tentang adanya transaksi dalam pertemuan tersebut benar adanya. Karena sejatinya bagi aktivis mahasiswa berlaku asas: Nahnu Minhum, Nahnu Lahum, Nahnu Ma’ahum.
Kami berasal dari rakyat, kami ada untuk rakyat dan kami selalu bersama rakyat. Wallahualam.
Oleh: Siswono Azzam*
*Penulis adalah mantan aktivis mahasiswa dan mantan Ketua Umum BEM Fakultas Ilmu Sosial UNJ.
Berikut nama-nama para pimpinan BEM yang hadir
Berikut nama-nama para pimpinan BEM dalam pertemuan tersebut dianggap sebagai penghianatan terhadap independensi mahasiswa yang dalam sejarahnya selalu menjadi oposisi bagi pemerintah, mengontrol kekuasaan pemerintah supaya tidak melenceng dari garis cita-cita bersama bangsa.
Juga pengkhianatan terhadap organ-organ kemahasiswaan yang berencana makzulkan Jokowi-JK dari pimpinan pemerintahan.
Di media sosial, beredar daftar pimpinan BEM se-Indonesia yang hadir dalam pertemuan tersebut:
1. Andi Aulia Rahman (Ketua BEM UI)
2. Rony Setiawan (Ketua BEM UNJ)
3. Aa Habibi Baihaki (Ketua BEM Unpad)
4. Ahmad Khairudin (Ketua BEM Unila)
5. M Adzhar Afif (Ketua BEM IPB)
6. MP Garry (Ketua BEM ITB)
7. Satria Tiputra (Ketua BEM UGM)
8. Imron Ibnu Fajri (Ketua BEM ITS)
9. Ketua BEM UIN Jakarta
10. Ketua BEM Atmajaya Jakarta
11. Pury (Ketua BEM Trisakti)
12. Ketua BEM ISIP Jakarta
13. Ketua BEM Unpar
14. Ketua BEM Unisba
15. Ketua BEM Unpas
16. Ketua BEM Upi
17. Ketua BEM Unikom
Diketahui, bahwa Progres 98 beserta organ-organ kemahasiswaan lainnya berencana lakukan demonstrasi besar-besaran dengan tujuan utama untuk menurunkan Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla dari pucuk pemerintahan Indonesia.
Karena dianggap telah gagal sebagai pemimpin. Dimana Ketua Progres 98 Faizal Assegaf menyatakan bahwa mahasiswa yang tidak ikut dalam upaya penurunan Jokowi-JK ini adalah mahasiswa pecundang. [adivammar/voa-islam.com]