View Full Version
Selasa, 09 Jun 2015

Siapa Sebenarnya yang Merawat Pancasila dan Memelihara Indonesia ?

Oleh : Adil Nugroho (Pemerhati Sosial Politik)
 
Awalnya sebenarnya tidak tertarik menanggapi tulisan berbau SARA yang dimuat oleh Tribun Timur, 3 Juni 2015, di rubrik opini berjudul “Merawat Pancasila Memelihara Indonesia” yang  ditulis oleh Arifuddin Balla, pengajar PIBA UIN Alauddin http://makassar.tribunnews.com/2015/06/03/merawat-pancasila-menjaga-indonesia.

Dikatakan berbau SARA karena menyebut secara terang-terangan makar oleh HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) dan Felix Siauw tanpa pernah diskusi maupun klarifikasi terlebih dulu.

Tetapi secara global nampaknya sudah bisa dibaca siapa dan dari latar belakang kepentingan mana penulisnya. Yang menarik dari tulisan tersebut adalah ketika menduga bahwa HTI menyebut sekaligus antara Pancasila dan Demokrasi sebagai sesat. Atas dasar itu dijadikan klaim pembenaran bahwa HTI melakukan makar.

Entah sudah membaca atau belum definisi makar dalam konteks hukum positip, penulis sudah berani menyatakannya. Ini sebuah sikap yang luar biasa berani jika tidak ada pihak di belakang yang mensupport dan memback upnya.

Mengingat HTI lah selama ini diantara kelompok sangat vokal terhadap kebijakan merugikan rakyat oleh para pengambil kebijakan yang justru merongrong sendiri kehormatan dan harga diri Pancasila dan Demokrasi yang telah disepakatinya sendiri.

Mari kita bedah satu per satu substansi Pancasila dan Demokrasi supaya jelas siapa yang merongrong dan berkhianat. Dan siapa yang bukan.

Pertama, ketika sila pertama menyebut Ketuhanan Yang Maha Esa yang berarti hanya mengaku atau meyakini Tuhan itu satu dan tiada lain yang patut disembah dan ditaati aturan-Nya. Akan tetapi justru kaum muslimin yang menjadi mayoritas bangsa ini diatur melalui para penguasanya dengan aturan para penjajahnya.

Mulai penjajahan jaman Belanda hingga jaman Amerika. Praktis hampir semua perundang-undangan di negeri ini tunduk pada kepentingan Asing dan Aseng yang memperdaya negeri ini melalui penguasa anteknya. Bahkan Bukan tunduk pada aturan yang datang dari Allah dan Rasul-Nya yang memuat ajarah dakwah, syariah, khilafah dan jihad.
 
Kedua, ketika sila kedua menyebut kemanusiaan yang adil dan beradab, tetapi justru yang ditunjukkan adalah bentuk pengingkaran dan pengkhianatan atas sila kedua dari Pancasila. Betapa kemiskinan semakin meningkat meski ditutup tutupi.

Beban ekonomi semakin berat akibat subsidi sosial dicabut karena dianggap membebani APBN. Sehingga tarif energi penting bagi masyarakat menjadi semakin meningkat yang sangat membebani masyarakat semua lapisan.

SDM tenaga kerja Indonesia jadi buruh di luar negeri bahkan di negerinya sendiri. Kapitalisasi dan liberalisasi terjadi di semua sektor kehidupan yang semakin menciderai kemanusiaan yang adil dan beradab bangsa ini.
 
Ketiga, sila ketiga menyebut Persatuan Indonesia tetapi lagi-lagi tidak seindah dengan simbol falsafah yang diagung-agungkan karena penguasa ini telah melepaskan bagian per bagian wilayah negeri ini. Bahkan sadar atau tidak, telah dikerat-kerat oleh para penjajah.

Timor Timur dilepaskan begitu saja. Papua seperti dibiarkan menjadi permainan ulah para separatis yang tidak boleh disebut sebagai teroris. Ternyata diketahui belakangan bahwa ada kepentingan AS dan Australia di belakangnya.

Sumber daya alam terutama yang strategis seperti migas dieksploitasi oleh Multi National Corporation atau International Oil Company. Sehingga menjadi dilema pembaharuan UU Migas terutama pada point bagaimana mengendalikan kepentingan asing.

Dimana judicial review UU Migas terdahulu dengan “sistem unbundling” sedemikian sistematis mengeleminasi peran dan kewenangan Pertamina dengan seribu dalih.
 
Keempat, sila keempat menyebut Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanan dalam permusyawatan/perwakilan. Karakter ini benar-benar sudah sirna di hadapan kita. Betapa dinamika politik dalam kehidupan politik praktis yang ditunjukkan oleh parpol sedemikian memprihatinkan.

Permusyawaratan di dalam proses politik sudah jauh mengedepankan kepentingan rakyat. Yang mengedepan adalah politik transaksi. Ujungnya sudah pasti dilihat duit dan jabatan.

Tidak cukupkah melihat bukti berapa banyak para koruptor dari kalangan pemerintah maupun anggota dewan yang dipenjara dan berpotensi bermasalah hukum. Mereka adalah para pengkhianat Pancasila yang mencederai sila keempat karena tidak mewakili rakyatnya melainkan mewakili kepentingan diri sendiri, keluarga dan kelompoknya.
 
Kelima, sila kelima menyatakan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Apakah begitu kenyataannya ? Sebagian besar kesenjangan sosial ekonomi bukan lahir karena persoalan alamiah melainkan karena kebijakan yang deskriminatif. Inilah yang disebut dengan kemiskinan struktural. Jaminan sosial atas kesehatan, pendidikan dan pangan menjadi terabaikan.

Sementara dalam konteks Demokrasi maka sistem ini hanya meniscayakan ruang apresiasi terhadap keberagaman dan pluralitas. Tetapi tidak untuk aspirasi kaum muslimin yang mengusung Islam diterapkan sebagai aturan yang membawa kemaslahatan manusia.

Belum diterapkan sudah diphobiakan secara habis-habisan. Sama persis dengan kacamata barat melihat Islam dengan penuh prasangka/prejudice. Sementara inti ajaran Demokrasi terletak pada ruang apresiasi terhadap aspirasi yang berkembang. Ternyata itu tidak berlaku untuk Islam.

Demokrasi ternyata hanya sebagai alat politik/jebakan politik (political trap). Dipakai tetapi untuk sesuatu yang berhubungan dengan selain Islam untuk menikam Islam.

Siapa sebenarnya yang merawat Pancasila dan memelihara Indonesia ? Di tengah seruan HTI untuk menjaga keutuhan wilayah dan sumber daya alam Indonesia dari cengkeraman penjajahan yang HTI sebut dengan Neo Imperialisme Neo Liberalisme.

Di tengah peringatan HTI agar negara/penguasa tidak abai dan harus memperhatikan urusan rakyatnya. Di antara saran/himbauan HTI untuk membebaskan diri dari ketergantungan asing. Melepaskan dari segala bentuk penjajahan ekonomi dan politik Asing dan Aseng.

Siapa sesungguhnya yang berkhianat terhadap isi Pancasila dan spirit Demokrasi.

Wallahu a’lam bis showab.


latestnews

View Full Version