View Full Version
Kamis, 02 Jul 2015

Fenomena Mudik dalam Perspektif Media

Oleh : Slamet Sugianto

(Pendiri Program Pendidikan Profesi Pertelevisian)

Dari sebuah diskusi media dipaket dengan buka bersama pada Rabu, 30 Juni 2015 di gedung Bhakti, Jl Mappanyuki, Makassar, Sulawesi Selatan oleh Perhimpunan Jurnalis Indonesia (PJI) Sulawesi Selatan bekerjasama dengan Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia (BaKTI), bertema “Fenomena Mudik Dalam Perspektif Media” itu sangat menarik. Diskusi yang dipandu oleh Ketua PJI, Jumadi Mappanganro dengan 3 narasumber salah satunya mantan ketua KPID Sulawesi Selatan, dosen senior jurusan komunikasi Universitas Hasanuddin nampak berjalan mengalir.

Diskusi juga dihadiri oleh para praktisi media dari berbagai media cetak maupun elektronik diantaranya Antara, Berita Makassar, termasuk salah satu lembaga pendidikan profesi pertelevisian di Makassar bernama P3TV (Program Pendidikan Profesi Pertelevisian). Forum diskusi media itu adalah pengganti materi satu tatap muka dari salah satu mata kuliah Komunikasi Massa di bawah asuhan Jumadi Mappanganro.

Terlihat beberapa mahasiswa P3TV yang ikut serta dalam acara tersebut. Awalnya diskusi fokus pada pengayaan, pembahasan seputar persoalan mudik dan peran media mengabarkan. Diperoleh temuan pada tahun 2014 fenomena mudik telah menjadi mesin pembunuh jalan dengan korban meninggal sejumlah 50 ribu jiwa. Dan diprediksikan akan cenderung naik di momentum mudik mendatang. Setidaknya ada beberapa hal penting yang dikupas pada pemaparan para narasumber sebagai berikut :

Pertama, pemberitaan oleh media atas fenomena mudik seharusnya mempertimbangkan beberapa aspek seperti proximity, relevance, kedekatan emosional di atas dasar konten berita yang berimbang misalnya proporsionalitas informasi Jawa dan Luar Jawa oleh media nasional. Seharusnya juga pemberitaan sesuai dengan spirit dari UU Penyiaran yang meletakkan konten lokal diberikan ruang pemberitaan agak lebih besar. Tetapi nampaknya tidak dipungkiri bahwa dalam konteks pemberitaan, kepentingan pemilik media terutama media mainstream telah banyak menggunakan parameter bisnis ketimbang tanggung jawab sosial dan moral. Fenomena mudik misalnya Jawa ditempatkan sebagai pusat persoalan, pusat audiense, dan pusat pengambil kebijakan sehingga lebih mendapatkan porsi berita. Inilah mindset media mainstream sebenarnya. Sebuah tolak ukur pemikiran yang meletakkan fokus pemberitaan di atas dasar pertimbangan bisnis dengan kemasan tertentu.

...media mainstream seperti menikmati fenomena mudik sebagai sebuah komuditi produk sangat menguntungkan

Kedua, dengan tekhnologi komunikasi yang flat dimana seluruh lapisan masyarakat berpotensi berperan memberitakan mestinya memberi ruang kran pemberitaan dari berbagai arah dan menghilangkan kesan monopoli. Tetapi ketersediaan tekhnologi digital yang canggih tidak serta merta membentuk karakter budaya digital yang fleksibel dan simpel. Ketergantungan budaya sosial yang besar sebagian besar diakui atau tidak karena dibentuk oleh media. Suasana heroik mudik sebagaimana pemberitaan media telah memunculkan sence of collective masyarakat larut dalam peristiwa itu. Dan media mainstream seperti menikmati fenomena mudik sebagai sebuah komuditi produk sangat menguntungkan. Bukan hanya industri media saja melainkan industri lain semisal manufacture meraup keuntungan rupiah cukup besar juga. Padahal bisa saja masyarakat diedukasi dan dibangun kultur baru mudik dengan memanfaatkan tekhnologi komunikasi yang canggih misalnya mudik online. Tanpa harus pulang kampung seseorang bisa seolah-olah pulang dengan tekhnologi tele conference dengan biaya yang murah. Tinggal menyediakan infrastruktur titik-titik lokasi area publiknya.

Ketiga, fenomena kecelakaan pada momentum mudik disebabkan salah satunya oleh faktor kesehatan para pemudik. Meski posko-posko mudik telah dibuat tetapi kesadaran masyarakat atas keberadaan dan fungsi posko tersebut belum dipahami secara merata dan mendalam. Media diharapkan bisa mengambil peran edukasi terkait dengan pentingnya menjaga kesehatan dan fungsi posko sebagai tempat informasi dan istirahat.

Keempat, secara historis fenomena mudik sebagai sebuah moment nasional tidak bisa dipisahkan dengan kepentingan industri operator seluler yang bersindikasi dengan penguasa dan media mainstream. Meski belum pernah ada sebuah riset spesifik berapa omset atau keuntungan yang berhasil diraup oleh industri pengelola udara terutama pada momen mudik. Tetapi dalam kacamata orang awam sangat mudah membaca betapa terjadi peningkatan konsumsi produk saluran seluler karena euforia kultur digital yang menggurita di masyarakat. Pertanyaannya siapa yang paling diuntungkan atas moment ini ? Siapa pula yang paling dirugikan?

Akhirnya diskusi berkembang setelah diberikan kesempatan kepada peserta untuk menanggapi atau mengajukan pertanyaan. Dan diperoleh kesimpulan bahwa mudik adalah sebuah realitas sosial kultur yang hadir membawa dampak ikutan korban terbesar dari berbagai momen peristiwa kecelakaan lalu lintas jalan raya di negeri gemah ripah loh jinawi ini. Seolah-olah menyingkap sebuah gambaran begitu sistemiknya persoalan ini. Sebagaimana sistemiknya persoalan demi persoalan yang terjadi. Tidak berdiri sendiri melainkan terkait dan disokong oleh persoalan yang lain.

Infrastruktur jalan raya yang bermasalah, kebijakan kesehatan yang timpang, pendidikan yang liberal, pembentukan karakter bangsa yang lemah, kesejahteraan ekonomi rakyat ditunjukkan dengan kemiskinan yang memprihatinkan, tekanan ekonomi dan sosial rakyat yang berat, keteladanan penguasa yang krisis, pejabat, birokrat dan politisi yang korup, kebijakan ekonomi yang kapitalistik, kesadaran hukum berkendara yang rendah, kehadiran penguasa atas setiap problem bangsa yang minim, produk perundang undangan yang pro asing, konstitusi yang direduksi melalui beberapa kali amandemen, penegakkan hukum deskriminatif tajam ke bawah tumpul ke atas dan lain-lain yang tidak cukup menuliskannya.

Semua itu adalah persoalan struktural dan kultural yang menggelayuti problem bangsa termasuk fenomena mudik. Yang berakar dari pilihan sistem politik demokrasi namun tidak demokratis dan sistem ekonomi neoliberal yang nampak dari implementasi kerangka perundang undangan negeri ini. Dibutuhkan kesadaran nasional untuk menjawab persoalan dengan pendekatan sistemik.

Sebuah pendekatan yang melibatkan lintas sektoral didukung oleh political will pemerintah. Siapa paling bertanggung jawab terhadap persoalan apa bukanlah pertanyaan yang sepantasnya dikembalikan pada semua lapisan masyarakat sehingga seolah-olah semua ikut bertanggung jawab atas persoalan demi persoalan. Negara melalui penguasanya harus berani tampil di depan untuk menyatakan yang paling bertanggung jawab dalam persoalan apapun. Termasuk persoalan mudik.

Media harus berani mengambil peran mengadvokasi rakyat dengan mengingatkan kepada para pengambil kebijakan tentang arti pentingnya solusi sistemik atas persoalan sistemik mudik sebagaimana persoalan yang lain tidak kunjung selesai

Dibutuhkan kepemimpinan nasional yang berdaulat, independen, bertanggung jawab, dipercaya, jujur, amanah, dan cerdas. Yang didukung oleh referensi ideologi negara sesuai dengan aspirasi mayoritas bangsa di negeri ini. Sebagaimana dicontohkan oleh Rasullullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam dan para Sahabat ra yang menerapkan Islam sebagai aturan hidup melingkupi  kehidupan manusia muslim dan non muslim berkembang menjadi entitas peradaban manusia yang agung dan mulia.

Media harus berani mengambil peran mengadvokasi rakyat dengan mengingatkan kepada para pengambil kebijakan tentang arti pentingnya solusi sistemik atas persoalan sistemik mudik sebagaimana persoalan yang lain tidak kunjung selesai. Semoga. Amin. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version