Oleh: Adi Victoria (aktivis dakwah)
Sebagian kaum Muslim masih meyakini dan memilih demokrasi sebagai sebuah jalan perubahan. Ini karena mereka memahami demokrasi hanya sebagai sebuah alat untuk mewujudkan suatu perubahan.
Namun faktanya, demokrasi tidak bisa dijadikan jalan untuk perubahan. Sebaliknya, para penikmat demokrasi menjadi korban dari demokrasi itu sendiri. Hal ini bisa kita lihat dari apa yang menimpa beberapa gerakan dakwah seperti Ikhwanul Muslimin di Mesir, HAMAS di Palestina dan FIS di Aljazair.
Di Mesir, melalui jalan demokrasi, Muhammad Mursi memenangkan Pilpres pada tahun 2012. Komisi Pemilihan Umum (KPU) Mesir menyatakan bahwa Muhammad Mursi dari kelompok Ikhwanul Muslimin (IM) terpilih sebagai presiden baru negara itu. Mursi dinyatakan menang dengan perolehan suara 51,7 persen atau 13,4 juta suara. Adapun penantang Mursi, Ahmed Shafiq, hanya kebagian 12,3 juta suara. Namun setahun kemudian, Mursi ditumbangkan oleh junta militer Mesir yang dipimpin oleh Letnan Jenderal Abdul Fattah al-Sisi menteri pertahanan dan produksi kemiliteran pada Rabu sore tanggal 3 Juli 2013. Padahal Mursi adalah penguasa yang legal karena terpilih melalui proses demokrasi. Para pemimpin Ikhwanul Muslimin pun ditangkap dan dipenjara.
Di Palestina, tahun 2006 HAMAS memenangkan Pemilu legislatif. HAMAS meraih 76 dari 132 kuris parlemen (lebih dari 57 persen). Adapun Partai Fatah meraih 43 kursi dan partai-partai lain meraih 13 kursi. Artinya, seharusnya HAMAS mendominasi pemerintahan di Palestina. Namun ternyata, kursi kepresidenan masih dikuasai oleh Fatah melalui Mahmud Abbas. Dengan demikian terbentuklah pemerintahan koalisi di Palestina, yang berbagi 25 kursi menteri antara HAMAS dan Fatah. Sejak kemenangan HAMAS, konflik antara HAMAS dan Fatah yang telah menelan korban ratusan jiwa dari kedua belah pihak tidak pernah berhenti. Padahal kemenangan HAMAS juga diperoleh melalui jalan demokrasi.
Demokrasi pun memakan korbannya di Aljazair. Melalui jalan demokrasi, pada Pemilu 1991 FIS meraih 54% suara dan mendapat 188 kursi di parlemen atau menguasai 81% kursi. Pada Pemilu putaran kedua, FIS pun dinyatakan menang telak. Kemenangan FIS ini disambut gembira oleh rakyat Aljazair. Namun, Mohammed Boudiaf, mewakili militer yang loyal pada Barat, segera menunjukkan kebohongan demokrasi. Mereka menggulingkan FIS, Ribuan anggota dan pendukung FIS ditangkap dan dijebloskan ke penjara, bahkan sampai dibunuh. Pemimpin FIS, Abassi Madani dan Ali Belhadj, dipenjarakan.
Benar, sebagai sebuah jalan, demokrasi bisa saja menghantarkan seseorang atau sebuah gerakan pada tampuk kekuasaan. Namun, Barat, dalam hal ini Amerika dan sekutunya, tidak akan membiarkan Islam sampai pada kekuasaan melalui jalan demokrasi. Seharusnya semua ini menjadi pelajaran berharga bahwa demokrasi bukanlah cara yang tepat untuk mewujudkan perubahan.
Mitos Demokrasi yang Terbantahkan:
1. Terpilih dengan suara mayoritas akan bisa berbuat apapun, termasuk untuk menegakkan syariah Islam.
Mereka yang memilih jalan demokrasi sebagai jalan untuk menuju perubahan meyakini bahwa jika menang dalam proses demokrasi, yakni seperti Pemilu legislatif atau Pilpres, mereka akan bisa melakukan perubahan secara mudah, termasuk untuk menerapkan syariah Islam. Alasannya, karena mereka menang dengan suara terbanyak sehingga pemerintahan mereka didukung oleh rakyat secara mayoritas.
Ini jelas konsep berpikir yang keliru. Pasalnya, masyarakat yang memilih mereka bukan karena kesadaran politik mereka terhadap syariah Islam. Keinginan parpol Islam untuk mengubah sistem sekular itu menjadi sistem Islam akan mendapat tantangan dari rakyat sendiri yang belum sadar. Bisa-bisa mereka menganggap wakil rakyat itu telah berkhianat kepada mereka sebab telah menyalahgunakan suara yang mereka berikan untuk perkara lain.
Sebagian orang juga beranggapan, bahwa jika sistem perundang-undangan diubah—misalnya mengikuti prinsip the winner takes all, yaitu pemenang Pemilu, selain berhak membentuk pemerintahan, juga berhak mengubah undang-undang dasar dan peraturan perundang-undangan—maka perjuangan untuk menerapkan syariah Islam bisa ditempuh melalui parlemen. Ini tampaknya logis. Namun faktanya, pemerintahan sekular yang didukung oleh negara-negara Barat tidak akan pernah mentoleransi keberhasilan sebuah partai Islam dalam Pemilu yang bisa merugikan kepentingan mereka. Apa yang terjadi pada FIS di Aljazair di awal tahun 1992, Hamas di Palestina, termasuk yang baru terjadi di Mesir sampai hari ini, membuktikan hal itu.
2. Jalan demokrasi dijamin aman.
Peristiwa yang menimpa HAMAS di Palestina, FIS di Aljazair dan Ikhwanul Muslimin di Mesir merupakan pelajaran berharga kepada kita bahwa walaupun terpilih secara demokratis dan legal, hal tersebut ternyata tidak memberikan jaminan keamanan bagi perjuangan untuk mewujudkan perubahan. Pasalnya, Barat hanya akan memberikan jaminan keamanan jika kelompok yang menggunakan demokrasi tersebut tidak membawa Islam pada kekuasaan.
3. Pemenang Pemilu dalam demokrasi akan dilindungi oleh Barat dan PBB
Untuk membantah mitos tersebut, kita cukup mengetengahkan pertanyaan: dimana PBB dan Amerika sebagai negara kampium demokrasi saat terjadi pembantaian di Mesir oleh junta militer terhadap Ikhwanul Muslimin dan pendukungnya? Di mana pula Barat dan PBB saat pembantaian terjadi di Aljazair terhadap FIS dan pendukungnya? Bukankah mereka adalah partai yang meraih kekuasaan melalui Pemilu yang demokratis?
4. Menyembunyikan tujuan perjuangan untuk menegakkan syariah Islam.
Demokrasi hanyalah sebagai sarana untuk mewujudkan tujuan agar bisa menerapkan syariah Islam. Namun, tujuan tersebut disembunyikan dengan cara tidak menyampaikan di panggung-panggung kampanye ataupun tidak dimasukan ke dalam visi ataupun misi dari gerakan tersebut. Alasannya, jika masyarakat tahu itu, mereka tentu tidak akan memilih karena masih menginginkan sistem sekular sekarang.
Padahal sangat penting dan suatu keharusan untuk memberikan edukasi politik di tengah-tengah masyarakat tentang Islam sebagai sebuah agama sekaligus ideologi yang memiliki seperangkat aturan yang akan memberikan solusi atas seluruh persoalan yang mendera umat manusia. Dengan adanya edukasi politik tersebut, tentu masyarakat akan menjadi sadar sehingga membentuk kesadaran umum di tengah-tengah masyarakat (wa’yul ‘am). Kemudian dari kesadaran umum tersebut akan menjadikan masyarakat secara kolektif menjadi memiliki opini umum (ra’yul ‘am) yang benar akan syariah Islam.
Dengan adanya kesadaran dan pemahaman masyarakat yang baik tersebut maka akan mudah untuk menerapkan syariah Islam. Ini berbeda jika kita menyembunyikan tujuan perjuangan tersebut. Bagaimana mungkin masyarakat akan sadar dan paham jika tidak pernah diberikan edukasi yang baik terhadap apa itu syariah Islam sebagai sebuah solusi.
5. Dengan jalan demokrasi akan bisa mewarnai dan secara bertahap akan mengubah sistem.
Masuknya seseorang atau partai ke dalam sistem demokrasi dengan niat ingin mewarnai, secara fakta tidak ada bukti sama sekali. Sebaliknya, anggota parpol yang masuk ke dalam sistem yang ada justru sering terjebak di dalamnya. Mereka, misalnya, terlibat dalam money politic. Mereka sering bungkam terhadap kezaliman penguasa dengan alasan koalisi dengan partai penguasa atau untuk kepentingan kompromi. Mereka pun kemudian sering membuat pernyataan yang berubah-ubah dan membingungkan umat, mengingat kompromi yang sudah dilakukan dengan partai-partai sekuler.
Demikianlah, yang tadinya berniat ingin mewarnai malah terwarnai; yang tadinya ingin memberikan pengaruh malah terpengaruh. Ini merupakan jebakan demokrasi itu sendiri. Sayang, banyak kaum Muslim yang terjebak ke dalam permainan demokrasi tersebut.
Dengan menggunakan jalan demokrasi, mereka pun berhasrat mengubah sistem secara bertahap (tadaruj). Bagaimana mungkin bisa melakukan perubahan secara bertahap sedangkan demokrasi tidak memberikan jalan untuk itu? Demokrasi memang memberikan tempat bagi kelompok yang menyuarakan syariah Islam, namun tidak memberikan tempat agar syariah Islam tersebut dapat diterapkan. Hal ini karena demokrasi telah menetapkan dengan tegas bahwa agama tidak boleh terlibat dalam mengatur masalah publik.
6. Demokrasi akan memberikan kesejahteraan.
Sebagian besar manusia sudah terbius oleh ide demokrasi. Mereka seolah dibuai oleh janji-janji manis yang selalu digaungkan oleh para pengusung demokrasi. Mereka mengira, sistem demokrasi akan membawa mereka pada kehidupan yang lebih baik, lebih sejahtera dan lebih modern. Padahal kenyataannya tidaklah demikian.
Demokrasi sering diperalat oleh kelompok elit masyarakat (elit wakil rakyat, elit parpol dan elit para pemiliki modal) untuk memperkaya diri mereka sendiri sembari melupakan bahkan menindas rakyat. Hal tersebut wajar, karena dalam demokrasi tidak pernah ada yang namanya rakyat sebagai penentu keinginan. Sejarah AS menunjukkan hal tersebut. Presiden Abraham Lincoln (1860-1865) mengatakan bahwa demokrasi adalah “from the people, by the people, and for the people” (dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat). Namun, hanya sebelas tahun kemudian setelah Lincoln meninggal dunia, Presiden AS Rutherford B. Hayes, pada tahun 1876 mengatakan bahwa kondisi di Amerika Serikat pada tahun itu adalah: “from company, by company, and for company” (dari perusahaan, oleh perusahaan dan untuk perusahaan).
Sejak awal kelahirannya, kedaulatan dalam demokrasi ada di tangan segelintir rakyat, yakni para pemilik modal. Hanya saja, mereka menipu rakyat dengan menggembar-gemborkan seolah-olah kedaulatan ada di tangan rakyat. Jadi, bila perubahan yang dikehendaki adalah daulat rakyat maka demokrasi tidak memberikan hal itu. Yang berdaulat dan berkuasa dalam demokrasi adalah para pemilik modal. Jadi, bagaimana mungkin demokrasi bisa memberikan kesejahteraan kepada rakyat?
7. Demokrasi Menjadikan Akal Sebagai Sumber Hukum
Di dalam ide kufur demokrasi, prinsip dasar yang tidak bisa dilepaskan adalah kedaulatan dan kekuasaan berada di tangan rakyat (as-siyadah wa as-sulthan li al-ummah). Kekuasaan di tangan rakyat tersebut diberikan oleh rakyat kepada wakil-wakilnya di parlemen sehingga mereka berdaulat guna membuat hukum-hukum sesuai dengan keinginan mereka.
Di dalam Islam kedaulatan berada di tangan Asy-Syari’, yakni Allah SWT. Artinya, kedaulatan berada di tangan syariah (as-siyadah li asy-syar’i). Adapun kekuasaan berada di tangan rakyat (as-sulthan li al-ummah). Dalam demokrasi kekuasaan diberikan kepada wakil-wakil rakyat untuk membuat hukum (bukan menjalankan hukum dari Allah SWT). Adapun dalam Islam, kekuasaan diberikan oleh rakyat kepada penguasa (Khalifah) bukan untuk membuat hukum/UU, namun untuk menjalankan hukum-hukum Allah SWT, yakni syariah Islam yang bersumber dari al-Quran, as-Sunnah, Ijmak Sahabat dan Qiyas syar’i.
Di dalam demokrasi, hukum yang dibuat untuk mengurusi rakyat adalah bersumber dari akal manusia yang serba lemah dan terbatas; akal yang tidak bisa mengetahui apa kebutuhan manusia yang lain. Sebaliknya, di dalam Islam, sumber hukum untuk mengatur persoalan setiap sendi kehidupan manusia berasal dari Zat Yang menciptakan akal manusia itu sendiri. Dialah Allah SWT, Zat Yang Mahatahu apa saja yang dibutuhkan oleh manusia. Allah SWT telah menurunkan syariah Islam untuk mengatur semua persoalan tersebut (Lihat: QS an-Nahl [16]: 89).
Jadi, masihkah kita percaya pada demokrasi sebagai satu-satunya jalan untuk meraih perubahan? Tidak! Hanya sistem Islam saja yang dapat mengantarkan kita menuju perubahan yang kita cita-citakan, yakni perubahan menuju tegaknya Islam kaffah dalam sistem Khilafah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah. Semua itu hanya bisa dilakukan dengan menempuh thariqah dakwah Rasulullah saw., bukan dengan jalan demokrasi.
Walahu a’lam. [Adi Victoria; Penulis Buku dan Aktivis HTI kota Samarinda]