Surabaya (voa-islam.com) - NU dan Muhammadiyah yang biasa ‘berseteru’ akhirnya duduk bersama dalam satu forum diskusi. Kegiatan ini diprakarsai oleh Jawa Pos yang bertempat di Surabaya pada tanggal 27 Juli 2015. Bertajuk Islam Nusantara dan Indonesia Berkemajuan, diskusi ini menjadi pengantar pra muktamar NU dan Muhammadiyah. Dalam kesempatan kali ini dari NU menghadirkan Said Aqil Siradj dan Muhammadiyah Din Syamsudin.
Masing-masing pihak memaparkan visi dan misi organisasinya menjelang muktamar. Meskipun saling balas, sindir dan intrik satu sama lain, diskusi berjalan dengan lancar dan gayeng. Situasi makin semarak ketika tiba sesi tanya jawab. Mulai dari keterkaitan peran NU dan Muhammadiyah dengan KPK dalam memberantas korupsi di Indonesia hingga dakwah di Indonesia Timur yang dianggap kurang serta pencalonan perempuan sebagai ketua NU dan Muhammadiyah.
Said Aqil menjelaskan Islam Nusantara adalah Islam yang menghormati adat dan budaya, gabungan antara semangat Islam dan kebangsaan. Menjawab keterlibatan perempuan, ketua umum PBNU ini menjelaskan bahwa NU jauh lebih maju daripada Wahabi yang baru mendirikan sekolah perempuan di tahun 1979.
“Mbah Bisri Syamsuri bahkan mengeluarkan fatwa perempuan boleh menjadi hakim. Munas NU di Lombok tengah tahun 1997 keluar fatwa perempuan boleh menjadi presiden,” jelas Said Aqil.
...Ketika Indonesia menjadi negara korup begini pasca reformasi, NU dan Muhammadiyah harus bertanggung jawab karena Gus Dur dan Amin Rais adalah lokomotif reformasi negeri ini...
Lebih lanjut Said Aqil juga menyinggung tentang Islam yang kearaban itu menghasilkan orang-orang yang bukan pintar kitab tapi ahli merakit bom. Selain menyebut pondok pesantrennya dengan jelas dan lokasi kota serta daerahnya, Said Aqil menyebut nama bani At Tamimi dengan detil aktivitas kekerasan apa saja yang telah dilakukannya secara turun-temurun. Ia menambahkan berbeda dengan dirinya yang walaupun nama Arab tapi semangatnya nusantara yang tidak suka kekerasan.
Din Syamsudin menjelaskan bahwa antara Muhammadiyah dengan NU bersifat komplementer, saling melengkapi satu sama lain. Ketika Indonesia menjadi negara korup begini pasca reformasi, NU dan Muhammadiyah harus bertanggung jawab karena Gus Dur dan Amin Rais adalah lokomotif reformasi negeri ini.
“Muhammadiyah tidak menggunakan Islam Nusantara tapi lebih ke Islam berkemajuan sebagai pilihan. Ada dimensi derap dalam istilah Islam berkemajuan sebagaimana semangat KH. Ahmad Dahlan,” jelas Din Syamsudin tentang pilihan istilah Islam berkemajuan daripada Islam Nusantara.
Diakui oleh kedua belah pihak, bahwa kegayengan seperti ini tidak mudah tercapai di kalangan akar rumput. Berkaitan dengan awal dan akhir Ramadan tahun ini antara NU dan Muhammadiyah bisa kompak bareng, ada saja akar rumput yang mempertanyakan.
“Apa dalil yang mendasari NU dan Muhammadiyah bisa barengan Ramadan dan Idul Fitrinya?” kata Said Aqil menirukan salah satu jamaah NU yang tidak terima, dengan gaya kocak. Penonton yang tak kurang dari 200 orang pun kompak gerrr semua, antara lucu dan miris menyikapi fakta keberbedaan antara dua ormas Islam terbesar di Indonesia ini. (riafariana/voa-islam.com)