Sahabat VOA-Islam...
Mari kembali ke fitrah! Ungkapan yang senantiasa terdengar berulang-ulang setiap umat Islam memasuki 1 Syawal, baik dalam koridor hubungan antar personal, sosial kemasyarakatan maupun kenegaraan yang sifatnya formal maupun non formal. Fitrah, secara bahasa berarti naluri, pembawaan dan tabiat/karakter yang melekat pada manusia sebagai makhhluk ciptaan Allah Swt.
Karenanya, secara istilah Idul Fitri biasa diterjemahkan sebagai kembalinya naluri/karakter seorang manusia dewasa ke pembawaan yang asli, yang suci dan bersih dari dosa-dosa, sebagaiamana keadaan ketika ia dilahirkan. Namun, bertahun-tahun ajakan untuk kembali ke fitrah, terasa tidak sepenuhnya berefek pada perubahan positif kehidupan sehari-hari baik dalam konteks individual, masyarakat maupun bernegara.
Begitu pula, ungkapan yang juga pasti populer, yaitu selamat meraih Kemenangan. Maksud sederhananya, seorang muslim/muslimah akan dikatakan memperoleh kemenangan bila setelah perjuangan berat menahan lapar-haus dan hawa nafsunya meninggalkan segala yang dilarang serta menjalankan yang diperintahkan sukses dijalankan dengan sempurna selama sebulan penuh. Maka, patut kiranya meraih dan merayakan kemenangan yang telah dijanjikan.
Pertanyaannya adalah sebagai individu/masyarakat/negara pemenang, kenapa kondisi kita, masyarakat dan negeri ini masih terbelit rapat akan kesulitan hidup yang sejak dulu mendera, rakyat miskin bertambah, hutang negara makin menumpuk, sembako mahal, BPJS amburadul (bahkan sekarang diharamkan oleh fatwa MUI), dan lain sebagainya.
Ujung pangkal permasalahannya pasti pada pemahaman yang kurang mendalam akan maksud kembali ke fitrah atau meraih kemenangan. Karena sesungguhnya, seorang individu/sekelompok masyarakat/bahkan negara yang kembali fitrah adalah ketika mereka benar-benar merasanya menjadi seorang hamba (apapun jabatannya/profesinya/kondisinya) yang hanya tunduk/patuh dan taat kepada Allah Swt saja sebagai Tuhannya dalam segala macam urusan kehidupan. Contoh komitment seorang individu yang fitrah adalah mulai saat ini dia tidak lagi berbuat korup (baik korupsi uang/waktu/fasilitas/dll) di segala posisi/kedudukan jabatannya.
...bila negeri ini masih belum berubah ke arah kebaikan, maka jawabannya adalah ternyata kita semua belumlah kembali ke fitrah dan belum juga layak merayakan indahnya hari-hari kemenangan
Masyarakat yang fitrah pun setali tiga uang, mulai detik ini mereka harus lebih peka terhadap penyimpangan-penyimpangan sosial yang senantiasa muncul di tengah-tengah mereka seperti adanya peredaran (jual beli) miras/narkoba atau prostitusi atau judi di lingkungannya. Lingkungan masyarakat yang baik akan membentuk karakter individu-individu yang baik, sebaliknya lingkungan masyarakat yang rusak pasti akan merusak individu di dalamnya.
Adapun negara yang fitrah pun tidak jauh beda, negara beserta penyelenggaranya wajib menyempurnakan ikhtiar kebaikan yang telah dilakukan oleh individu-individu dan masyarakatnya. Penyelenggara negara mulai dari tingkat Pusat hingga Daerah harus lebih taat pada Tuhannya karena mereka adalah pelayan sekaligus uswah hasanah bagi rakyatnya. Bukan malah sebaliknya, media-media banyak menginformasikan rutan-rutan di negeri ini sudah mulai banyak dihuni oleh para Menteri, anggota DPR, Gubernur, Bupati/Walikota dan kawan-kawannya.
Oleh karena itu, bila negeri ini masih belum berubah ke arah kebaikan, maka jawabannya adalah ternyata kita semua belumlah kembali ke fitrah dan belum juga layak merayakan indahnya hari-hari kemenangan.
Kemenangan dan Kemerdekaan
Beberapa hari lagi, negeri ini akan merayakan Hari Kemerdekaannya yang ke 70. Di usia yang sudah ‘tua’, sudah sepatutnya bila semakin dekat dengan Tuhannya. Umat Islam sebagai umat mayoritas harus semakin taat dan dekat pada Allah Swt dan Rasul-Nya, umat Kristen silahkan semakin mendekat dengan Tuhannya sendiri, Budha, Hindu dan agama yang lain pun demikian.
Pesan bijak bagi seorang manusia yang sudah tua adalah semakin tua janganlah semakin jauh dari tuntunan agama, karena sebentar lagi akan mati, dan yang diharapkan tentu akhir yang baik (khusnul khatimah) bukan akhir yang buruk (su’ul khatimah). Untuk itulah, penulis mengajak pembaca sekalian benar-benar memahami makna kemerdekaan yang sebentar lagi akan kita rayakan.
Merdeka dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti bebas dari penghambaan, penjajahan, berdiri sendiri, tidak terkena atau lepas dari tuntutan, tidak terikat, tidak tergantung pada pihak lain dan sebagainya. Kemerdekaan berarti keadaan (hal) dimana kita bebas dari penghambaan, penjajahan, dan lain-lain.
Jelaslah, bahwa orang yang merdeka adalah orang yang memperoleh keadaan seperti makna di atas. Akan tetapi, kembali lagi pertanyaannya apakah kita (sebagai individu), masyarakat dan negara kita telah benar-benar merdeka? Jika sebagai seorang individu masih saja tidak menghamba pada tuan yang sebenarnya, yaitu Allah Swt (Tuhan YME), maka sebenarnya kita masih terjajah. Tuan kita bukanlah uang/pekerjaan/manusia, sehingga ketika sudah terdengar adzan/panggilan ibadah, maka tidaklah pantas kita menunda-nunda untuk menghampirinya hanya karena kesibukan demi uang/pekerjaan/kepentingan lainnya.
Dalam konteks bermasyarakat dan bernegara pun tidak beda, bila masyarakat dan penyelenggara negara ini masih menghamba pada negara lain untuk mengatur kebijakan-kebijakan rakyatnya sendiri, atau ‘mempersilahkan’ negara lain mengeruk kekayaan alam sebanyak-banyaknya padahal sebenarnya bisa dikelola secara mandiri, atau membela mati-matian kepentingan asing dengan teganya mengorbankan kesejahteraan rakyatnya sendiri, maka jelaslah sudah masyarakat dan negara ini masih belum merdeka alias budak.
...kemerdekaan hakiki pula, yaitu terbebas dari penghambaan hanya sekedar urusan duniawi, lepas dari belenggu nafsu serakah akan harta dan tahta, syahwat politik dan kekuasaan, dan tentunya melepaskan negeri ini dari intervensi/ketergantungan pada negara-negara penjajah yang rakus akan harta
Kemederkaan yang dirayakan setiap tahun serasa hanya sekedar upacara, perayaan, perlombaan, konser, hiburan, karnaval dan pemasangan bendera. Karena faktanya, negara tidak mampu menolak Amerika mengeruk gunung emas di Papua, negara bertekuk lutut ke Israel karena bendera Yahudi dengan leluasanya menghiasi rumah-rumah warga Tolikara, sebentar lagi negara komunis China akan mendominasi apalagi Presiden kabarnya akan minta maaf ke PKI. Negara ini juga tak berdaya mendidik generasi mudanya dengan akhlak yang mulia karena negara Barat melalui agen-agennya ingin Indonesia memiliki pola pikir liberal (serba bebas) dan perilaku permissive (serba boleh) dalam pergaulan dan segala aspek kehidupan.
Marilah kita pahami nikmat kemenangan dan kemerdekaan yang telah diberikan oleh Allah Swt dengan sebenar-benarnya. Kemenangan hakiki yang kemarin sudah diraih dengan kuatnya iman taqwa dan tawakkal dalam segala urusan hanya kepada Allah Swt, harus kita lanjutkan dengan menggapai kemerdekaan hakiki pula, yaitu terbebas dari penghambaan hanya sekedar urusan duniawi, lepas dari belenggu nafsu serakah akan harta dan tahta, syahwat politik dan kekuasaan, dan tentunya melepaskan negeri ini dari intervensi/ketergantungan pada negara-negara penjajah yang rakus akan harta.
Sungguh, inilah kenikmatan yang sebenarnya ketika kemenangan dan kemerdekaan bertemu dan berkelanjutan dalam muara yang sama, yaitu kembali hanya pada ridlo-Nya. [syahid/voa-islam.com]
Kiriman dari Eka Sugeng Ariadi