Oleh: Indra Fakhruddin (Pengamat Sosial Politik di Al Amri Institute)
Sahabat VOA-Islam...
Banyak kalangan menilai Muktamar NU ke-33 di Jombang yang dilaksanakan pada tanggal 1-5 Agustus 2015 paling mendapat sorotan masyarakat. Mulai ricuhnya registrasi peserta sampai menyentuh akar persoalan pemilihan Rais Aam dinilai kontroversial oleh sebagian kubu yang berseberangan dengan sistem Ahlul Halli Wal Aqdli (AHWA).
Sampai-sampai KH A Mustofa Bisri harus turun tangan 'melerai' kedua belah kubu yang gontok-gontokan. Masyarakat menyesalkan riak-riak yang muncul diarena Muktamar Ormas Islam terbesar di Indonesia yang di bidani oleh Hadratu Syeikh Hasyim Asyari itu. Pasalnya, ormas NU menjadi simbol ulama yang seharusnya mampu menjadi prototipe organisasi yang patut menjadi tauladan.
Adanya talik ulur menyeret nahkoda ormas islam terbesar ini kekancah konstelasi politik praktis disinyalir sebagai sumber kegaduhan. Gus Sholah dalam kesempatan tertentu berujar menyikapi perjalanan muktamar. Beliau heran, "Ini Muktamar PKB atau Muktamar NU?" (tempo.co, 02/08/15). Namun hal tersebut juga ditepis oleh beberapa pengurus pusat.
Sangat sulit berkilah, ditengah arus politik yang makin pragmatis, ormas islam memiliki dengan basis masa terbesar, bagaikan gula-gula yang ranum dimata partai politik (parpol) . Simbiosis mutualisme acap kali terjadi antara ormas islam dengan parpol. Apalagi banyak sekali pengurus ormas islam bertebaran dikepengurusan parpol. Gayung bersambut,tidak heran jika keduanya saling melirik.
Dalam suatu kesempatan wawancara dengan Televisi Swasta, Hasyim Muzadi menegaskan bahwasannya NU tidak bisa dibawa ke politik praktis. NU tetap sebagai organisasi kultural yang berbasiskan akhlaqul karimah memposisikan sebagai moral force ditengah-tengah masyarakat. Namun, lagi-lagi publik justru melihat bahwa aroma pragmatisme mulai menyeruak masuk kedalam tubuh ormas berbasiskan ulama ini.
Sekulerisme Memasung Politik Ulama
Persoalannya adalah apakah benar ulama sekarang harus absen dari dunia politik? Kalau jawabannya, tidak. Faktanya para ulama membawa gerbong ormas ulama ini banyak yang berpolitik praktis. Walaupun sedikit berkelit, tidak mengatasnamakan ormas. Namun nalar politik tidak bisa begitu saja menerima. Alasannya, justru ketika sedang menjabat di struktural ormas, memudahkan melenggang didunia politik praktis.
Karena atmosfer politik sekarang masih sangat tergantung pada jumlah suara. Sedangkan pemilik suara yang riil dimasyarakat justru dikantongi ormas keagamaan bukannya parpol. Selama ini parpol gagal membangun sistem kaderisasi yang membumi di masyarakat. Bangunan parpol berwujud struktur parpol minus anggota yang terpola dalam jiwa ideologi politik yang trasendental radikal.
Lantas, jika demikian haruskah ulama harus terjun dalam kancah politik praktis mengisi kursi-kursi demokrasi? Jika jawabannya iya, maka blunder akan kembali kepada ulama yang bersangkutan dan berimbas pada ormas islam tempatnya bernaung. Mau tidak mau ulama berada di dua pijakan kaki. Kaki pertama aktif sebagai simbol ulama di ormas islam dan disatu sisi aktif beraktivitas didunia politik praktis.
Sebagaimana kita ketahui, panggung politik utama sekarang sebagai pilar utamanya adalah demokrasi sekuler. Praktek politik sekuler, memisahkan peran agama (islam) dari kancah politik. Islam dipinggirkan ditepi jalan kehidupan. Sedangkan politik yang mengurusi hajat hidup orang banyak justru bersumber pada hukum buatan manusia. Sehingga sangat naif apabila politik ulama malah asyik bermain-main didalam kancah politik sekuler.
Bagaimana bisa, ulama yang bergelar mulia ini nyaman beraktivitas politik sedangkan tangannya berlumuran kotoran hukum sekuler? Bukankah ulama tidak bisa dilepaskan dengan tsaqofah islam yang dimanahkan kepadanya sekaligus sebagai pewaris para nabi? Apabila ulama justru menjadi stempel diterapkannya hukum sekuler, apa tidak mengkhianati predikat keulamaaannya? Sedangkan sudah jamak sekulerisme dituduh sebagai biang masalah persoalan yang mendera negeri muslim terbesar ini.
Demokrasi sama sekali tidak memiliki korelasi dengan islam baik dari sejarah, asas dan penerapannya. Apabila ada sejumlah ulama yang menghukumi demokrasi sebagai pengejawantahan dari konsep syura dalam islam, maka hal tersebut sangat gegagabah dan dianggap sebagai kebodohan intelektual. Maaf, kalau harus mengatakan demikian. Karena kalau mau membedah demokrasi secara mendasar dan detail dalam kacamata islam akan sangat jelas kekufurannya.
Terbukti ulama yang rame-rame terjun kekancah politik demokrasi tercerabut sibghoh keulamaannya. Banyak tokoh ulama yang dipromosikan dari ormas islam setelah menjabat sebagai pejabat politik dan pemerintahan tersandung kasus berat. Satu persatu jeruji besi menjadi “pesantren” tempat mereka menghabiskan waktunya. Belum lagi, dampak buruk menghempas ormas islam diobok-obok oleh tangan-tangan ghaib yang berkepentingan memanfaatkan resource ormas islam demi kepentingan politik pragmatis. Akhirnya ormas islam dan parpol yang berbasis islam terpecah kapalnya dan karam didasar lautan yang gelap.
Praktek-praktek maksiat politik yang dilakukan oleh sebagian oknum ulama menambah kebingungan masyarakat diakar rumput. Umat kehilangan gambaran utuh politik islam yang rahmatan lil alamin. Dan juga umat kehilangan figur ulama ahlu sunnah yang diharapkan oleh mereka sebagai panutan dalam menjalani kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Disatu sisi, melihat kiprah sebagian ulama yang gagal dalam memberikan uswah dalam berpolitik, ada ulama yang mengambil langkah sebaliknya. Mereka lebih memilih mundur dari kancah politik praktis tetapi tidak mencoba mengambil peran sebagai simpul sekaligus pemimpin ditengah umat. Ulama yang demikian memilih menyibukkan diri dengan amaliyah ubudiyyah dan tarbiyah dilembaga pesantrennya masing-masing tanpa tahu menahu urusan politik keumatan yang sedang berlangsung. Bukan bermaksud mengecilkan peran ubudiyyah dan edukasi pendidikan pesantren, tetapi sikap ulama yang uzlah alias menutup mata dari persoalan politik mengindikasikan langkah kemunduran ulama.
Ketika politik (siyasah) didominasi oleh sistem sekuler, berakibat pudarnya gambaran politik dalam islam. Anggapan politik itu kotor, najis harus dijauhi dari kehidupan seorang muslim sangat kental masuk kedalam intelektualitas umat. Akibatnya umat semakin menjauhi urusan politik.
Persoalannya akan sangat rumit jika ulama dan umat acuh tak acuh terhadap persoalan umat islam baik didalam negeri maupun diluar negeri. Kondisi ini memperburuk suasana menuju perubahan hakiki.
Sekulerisme meminggirkan peran Islam dalam kehidupan publik. Islam Nampak sebagai ajaran spiritual ala pendeta atau biksu-biksu digereja dan kuil-kuil mereka
Reposisi Politik Dalam Islam
Sungguh umat islam telah kehilangan gambaran kehidupan islam yang utuh. Cengkraman sekulerisme pasca runtuhnya khilafah islam pada 3 Maret 1924 merenggut harga diri sekaligus kemuliaan umat Muhammad Saw . Saat hukum-hukum islam tidak diterapkan maka satu persatu problematika kehidupan mencabik-cabik umat islam diseluruh dunia tidak terkecuali di Indonesia. Salah satu efek sekulerisme, politik sebagai instrument penting dalam islam dicampakkan. Politik islam dihapus dari memori umat islam. Sekulerisme meminggirkan peran islam dalam kehidupan publik. Islam Nampak sebagai ajaran spiritual ala pendeta atau biksu-biksu digereja dan kuil-kuil mereka.
Politik secara Bahasa dari kata sasa-yasusu-siyasatan, artinya mengurus urusan orang (رعى شؤونه). Dalam Kamus Muhith dinyatakan;
وسست الرعية سياسة, أمرتها ونهيتها
“Saya memerintahkan dan melarangnya.”
Menurut Prof. Dr. Rowwas Al-Qal’aji, politik adalah :
رعاية شئون الامة بالداخل والخارج وفق الشريعة الاسلامية.
"Pemeliharaan terhadap urusan umat baik di dalam negeri maupun di luar negeri sesuai dengan syariah Islam". (Muhammad Qal'aji, Mu'jamu Lughatil Fuqaha', juz I hal 253)
Sedangkan menurut Syeikh Abdul Qadim Zallum dalam Afkar Siyaasiyah beliau mendefinisikan politik sebagai;
السياسة هي رعاية شؤون الأمة داخليّا وخارجيّا, وتكون من قبل الدولة والأمة, فالدولة هي التي تباشر هذه الرعاية عمليا والأمة هي التي تحاسب بها الدولة
“Politik ialah memelihara (mengatur) urusan umat, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Dan politik itu dijalankan oleh negara dan umat. Negara menjalankannya secara praktis, sedangkan umat melaksanakannya dengan mengoreksi negara.”
Disebutlah salah satu hadits riwayat Imam Muslim;
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَتَكُونُ خُلَفَاءُ تَكْثُرُ قالوا: فما تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ وَأَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ
Imam an-Nawawi dalam shahih Muslim bisyarhin Nawawi menjelaskan pengertian "tasusuhum al-anbiyaa'" dengan: Mengatur urusan mereka sebagaimana yang dilakukan oleh para pemimpin dan wali terhadap rakyat (nya). (Imam Al-hafidz Abu Zakaria Yahya bin Syaraf bin Marwa An-nawawi, Syarah An-nanawi 'ala Shahihil Muslim, juz VI hal 316 syarah hadits nomor 3420)
Imam Al-hafidz An-nawawipun menegaskan,
وَمَعْنَى هَذَا الْحَدِيث : إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَةٍ بَعْد خَلِيفَة فَبَيْعَة الْأَوَّل صَحِيحَة يَجِب الْوَفَاء بِهَا ، وَبَيْعَة الثَّانِي بَاطِلَة يَحْرُم الْوَفَاء بِهَا ، وَيَحْرُم عَلَيْهِ طَلَبهَا ، وَسَوَاء عَقَدُوا لِلثَّانِي عَالِمِينَ بِعَقْدِ الْأَوَّل أَوْ جَاهِلِينَ ، وَسَوَاء كَانَا فِي بَلَدَيْنِ أَوْ بَلَد ، أَوْ أَحَدهمَا فِي بَلَد الْإِمَام الْمُنْفَصِل وَالْآخَر فِي غَيْره ، هَذَا هُوَ الصَّوَاب الَّذِي عَلَيْهِ أَصْحَابنَا وَجَمَاهِير الْعُلَمَاء, ...
"Makna hadits ini adalah apabila terjadi bai'ah untuk seorang khalifah setelah (sebelumnya dibai'ah) khalifah, maka bai'ah yang pertamalah yang benar, dan wajib mencukupkan diri dengan bai'ah untuk yang pertama tersebut. Sedangkan bai'ah yang kedua adalah bathil dan haram mencukupkan diri dengan bai'ah tersebut. Dan haram atas yang kedua menuntut bai'ah, baik apakah dia tahu ataupun tidak terhadap bai'ah yang pertama. Baik mereka berdua ada di dua negeri atau di satu negeri, atau salah satu dari keduanya berada di negerinya yang (posisinya) terpisah sedangkan yang lain di luar negerinya. Inilah yang benar dimana shahabat-shahabat kita di dalamnya, begitupula Jamahir Al-ulama'…" (Imam Al-hafidz Abu Zakaria Yahya bin Syaraf bin Marwa An-nawawi, Syarah An-nanawi 'ala Shahihil Muslim, juz VI hal 316 syarah hadits nomor 3420)
Dari uraian diatas menyiratkan bahwa politik jauh dari kekotoran sebagaimana ditudingkan banyak pihak termasuk politikus. Hal ini tidaklah heran, karena praktek politik selama ini yang mereka jalankan adalah politik dalam kerangka sekulerisme. Wajar politik selalu identik dengan manipulasi dan pertengkaran. Berbeda seratus delapan puluh derajat dengan konsep politik dalam islam yang dibangun atas aqidah islamiyyah.
Memperhatikan makna politik dan pendapat ulama seputar politik yang begitu indah tersirat hubungan yang mesra antara islam dan negara. Berbeda dengan sekulerisme, agama dan negara saling bermusuhan. Satu sama lain ‘haram’ bersentuhan. Sedangkan didalam islam, negara diposisikan menjadi bagian integral dengan islam. Negara sebagai institusi penerapan, penjaga dan menyebarkan islam. Ketiadaan negara islam (daulah islam) yang menerapkan seluruh hukum islam, membuat islam seperti makhluk halus yang tak terindera. Padahal dimasa kejayaan khilafah islam kemuliaan islam sangat tergambar jelas dalam kehidupan. Tidak berlebihan jika hujjatul islam
Abu Hamid al-Ghazali, dalam kitabnya al-Iqtishad fi al-I'tiqad yang mengambarkan hubungan antara islam dengan Negara sebagai berikut:
الدِّيْنُ أُسٌّ وَالسُّلْطَانُ حَارِسٌ، مَالاَ أُسَّ لَهُ فَمْهُدُوْمٌ، وَماَلاَ حاَرِسَ لَهُ فَضَائِعُ
Agama itu bagaikan pondasi, sementara kekuasaan (imamah/khilafah) itu merupakan penjaga. Sesuatu (bangunan) yang tidak ada pondasinya, pastilah roboh, sementara sesuatu (bangunan dan pondasi) yang tidak ada penjaganya, pasti akan hilang. [Hujjat al-Islam, Abu Hamid al-Ghazali, al-Iqtishad fi al-I'tiqad, Maktabah al-Hilal, Juz 1 hal. 76]. Bersambung...