View Full Version
Selasa, 25 Aug 2015

Presiden Jokowi Jangan 'Kepala Batu', Saat Negara Terancam Ambruk

Oleh: Muhammad Mu’alimin

(Ketua Umum HMI Komisariat Universitas Al Azhar Indonesia, Ketua DPC PERMAHI Jakarta Selatan, Anggota FLP Jakarta)

Sahabat VOA-Islam...

Rupiah anjlok, inflasi ‘’mengganas’’ dan semakin mencekik rakyat. Utang negara menggunung (Rp 4.201 Triliun) dan Jokowi masih saja bicara ‘’aman?’’. Presiden macam apa yang tenang – tenang saja saat ekonomi bangsa terancam ambruk seperti ini?

Bukankah sejarah sudah mengajari kita? Ekonomi yang dibangun dari utang dan modal asing pasti akan mudah digoyang oleh negara produsen Kapitalisme global, Amerika Serikat.

Tahun 1998 ekonomi Indonesia chaos karena utang dan diperparah dengan mengenaskannya kurs rupiah terhadap dollar. Tahun 2008 Indonesia terancam ‘’sekarat’’ karena ekonomi Paman Saman sedang ‘’batuk – batuk’’. Semua itu disebabkan karena satu, Kebijakan Presiden yang ‘’bandel’’.

Kalau saja Jokowi tidak ‘’bandel’’ membiarkan Maskapai Garuda beli pesawat Boeing / Airbus dengan harga dollar / Euro, mungkin besaran ekspor kita bisa lebih tinggi dari pada impor. Harusnya pengadaan armada Garuda bernilai puluhan Trilyun itu ‘’di-PR-kan’’ PT. DI Bandung, kapan lagi BUMN kita dapat order kalau bukan dari konsumen dalam negeri?

Kalau saja Jokowi berani secara ‘’jantan’’ memaksa perusahaan – perusahaan, khususnya BUMN membayar deviden atau transaksi impor pakai Rupiah. Barangkali ‘’keperkasaan’’ dollar bisa diatasi.

Mending Presiden jangan ‘’bandel’’ deh, jangan ‘’bandel’’ kalau dikasih ‘’nasihat!’’. Tapi kalau masih saja bersikeras seperti Soeharto, ya siap–siap saja turun dari ‘’kursi’’ pemberian kami (rakyat Indonesia)

Kalau sudah tahu ekonomi global sedang krisis. Yunani, Siprus, Zimbabwe, Puerto Rico dan Nauru bangkrut gara – gara utang yang berlebihan, kenapa Jokowi masih saja ‘’bandel’’ membiarkan Rini Soemarno (Menteri BUMN) berutang Rp 520 Triliun? Ini kesannya Presiden kok ‘’hura – hura’’ tanpa memikirkan rupiah yang semakin terpuruk.

Aktivis dan rakyat bukannya sudah memberi ‘’alarm’’ pada 1998. Jika harga beras untuk perut rakyat semakin meroket, ekonomi dikuasai barat, kekayaan alam dijarah kapitalis asing dan Rupiah menjadi mata uang ‘’sampah’’, itu artinya sudah waktunya Presiden untuk turun sebelum diturunkan!.

Rakyat tidak makan pencitraan. Rakyat tidak minum demokrasi ‘’yang katanya dianggap’’ sukses. Detik semakin berjalan, Masyarakat Ekonomi ASEAN semakin mendekat bak setan yang hendak melumat perekonomian nasional.

Jika ingin mempercepat laju investasi, bukan penghapusan bahasa Indonesia untuk orang asing caranya. Investasi sangat tidak ada hubungannya dengan bahasa. Jika kau jujur, ulet, intelek, inovatif dan punya infrastruktur ‘’Iblis’’ pun mau memberimu modal usaha bung!. Ini adalah kebijakan paling tidak nasionalis yang pernah dilakukan Presiden sejak Republik ini berdiri.

Ketika orang – orang asing menyerbu Indonesia, harusnya bahasa Indonesia menjadi tameng terakhir pertahanan apakah manusia Indonesia dapat memenangkan kompetisi atau tidak. Eh ini malah dihapus, jadi sebenarnya kau ini ‘’Pelayan’’ rakyat atau asing?

Saat mahasiswa Singapura, Malaysia dan Thailand belajar keras tentang manajemen ekonomi, audit keuangan, teknik pembangunan dll. Kami mahasiswa Indonesia disuguhi pertunjukkan ‘’badut politik’’ dan ‘’tikus berdasi’’ setiap hari. Mana bisa kami berkompetisi dengan lulusan dari luar? Apa pemerintah tidak sadar kalau sistem pendidikan kita sangat tidak berkualitas? Benahi dulu pendidikan baru bicara Investasi. Kalau kita masih bodoh mana ada Investor yang mau datang? Kalau pun datang mereka sendiri yang akan menjadi Bos dan kita ‘’budaknya!’’.

Sebelum Rupiah semakin anjlok dan utang negara menggelembung hingga nominal yang tak dapat dikendalikan. Mending Presiden jangan ‘’bandel’’ deh, jangan ‘’bandel’’ kalau dikasih ‘’nasihat!’’. Tapi kalau masih saja bersikeras seperti Soeharto, ya siap – siap saja turun dari ‘’kursi’’ pemberian kami (rakyat Indonesia). [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version