Oleh: Muhammad Mualimin
(Ketua HMI Komisariat Universitas Al Azhar Indonesia)
Dunia ini, termasuk negara Indonesia berada dalam sunnatullah yang bersifat real dan objektif. Artinya siapapun yang berada di bumi ini harus tunduk pada hukum alam yang berlaku bagi siapapun tanpa pandang bulu.
Lalu apa kaitannya dengan Indonesia? Sudah menjadi kewajaran jika suatu proses yang tidak benar akan menghasilkan produk yang tidak benar pula. Kemenangan Jokowi adalah hasil suatu ‘’produk’’ ketakutan yang dimanage oleh kekuatan – kekuatan pemodal.
Secara alamiah, sifat Prabowo memang cenderung anti – kompromi terhadap tawar – menawar politik, meskipun tidak dapat dipungkiri kekuatan tersebut sangat menentukan jalannya pemilihan umum. Karakter seorang prajurit yang percaya diri dan selalu siap menghadapi resiko paling menyakitkan sekalipun sudah menjadi watak dasar dari seorang Prabowo.
Lewat permainan media, semua orang ditakuti dengan traumatisasi masa lalu Prabowo sebagai aktor pemberangus aktivis HAM. Karena dianggap produk militer, besar dalam masa orde baru dan kebetulan menantu sosok diktator (Soeharto), Prabowo dicitrakan media massa sebagai ‘’hantu’’ politik.
Prabowophobia sukses membuat pemilih awam menjerit ketakutan dan akhirnya lari ke sosok yang dianggap lebih humanis dan menghibur (Jokowi).
Ketika Jokowi meraup untung dari sosoknya yang kebetulan lucu dan humoris, akhirnya negara ini dipimpin oleh sosok yang terpilih dari apa yang disebut sebagai hasil dari ‘’moment kebetulan’’.
Akhirnya dalam situasi dunia Internasional yang tidak bisa diprediksi maupun dikendalikan, Indonesia tidak bisa berbuat apa – apa ketika dihantam resesi ekonomi global. Direktur Bank Indonesia sekalipun tidak bisa berbuat apa – apa untuk menahan anjloknya kurs Rupiah atas Dollar. Padahal seharusnya itu tugas pokok seorang Direktur Bank Sentral.
Presiden yang naik ke tampuk kekuasaan dengan ‘’jualan’’ slogan Revolusi Mental akan menghadapi kenyataan pahit bahwa rakyat tidak makan kata – kata manis. Harusnya karena perekonomian global tidak bisa dikendalikan maka dibutuhkan sosok yang dari sejak awal punya konsepsi tentang nasionalisme sebagai solusi. Nasionalisme itu berupa sikap ‘’siap mati’’ demi teramankannya kekayaan negara dari pengeruk – pengeruk rakus yang berasal dari asing.
Kalau saja PT. Freeport bisa direbut, kita bisa mengantongi 2000 Trilyun / tahun dan dampak inflasi bisa kita ‘’jinakkan’’ dengan subsidi untuk rakyat. Revolusi mental yang didengungkan harusnya bukan menjadi komoditas politik pemenangan pemilu saja, karena penyelamatan perut rakyat jauh lebih penting dari pada sekedar pertarungan kekuasaan.
Rasio utang Indonesia katanya masih aman jika dilihat dari total PDB kita. Tapi apa kita mau terus - menerus hidup dalam kondisi seperti ini? Harusnya patokannya bukan masalah aman atau tidak aman, tapi punya utang atau tidak. Suatu negara tidak akan mungkin mampu mandiri dan berdaulat jika hidupnya terlilit utang.
Dari XIV abad yang lalu, seorang ‘’Presiden’’ negara Madinah (Nabi Muhammad) sudah bicara tentang kemudlorotan orang yang hidupnya terlilit utang. Bangsa yang punya utang berarti dia lemah, tersandera secara politis dan mengalami degradasi kehormatan didepan bangsa lainnya. Bagaimana mungkin kita bisa tidur nyenyak jika bangsa ini punya utang hampir 4000 Trilyun?
Negara jiran Malaysia terancam mengalami revolusi total karena resesi ekonomi melilitnya. Rakyatnya sudah mulai sadar jika pemimpin mereka tidak becus mengurus negara. Kini giliran Indonesia terancam resesi total akibat hantaman inflasi dan turunnya daya beli masyarakat.
Pembagian hasil tambang PT. New Mount, PT. Freeport, TOTAL, EXXON dan korporasi asing lainnya harus dinegosiasi ulang.
Konsolidasi mahasiswa – aktivis kepemudaan menjamur dimana – mana. Seolah – olah alam memberi sinyal gejolak politik sudah didepan mata
Nasionalisasi yang pernah dicontohkan Presiden Iran dan Venezuela faktanya membuat USA, UK dan kapitalis lainnya diam tak berkutik. Kalau saja Presiden Jokowi berani bertindak tegas, ketakutan akan diserang atau dikacaukan oleh asing tidak akan terjadi.
Agresor dunia seperti Amerika Serikat tidak mau mengambil resiko perang dengan Indonesia. Secara hitung – hitungan ekonomi, biaya invasi yang mereka kucurkan jauh lebih besar berkali – kali lipat ketimbang kerugian pendapatan mereka akibat nasionalisasi. Lagi pula konsep nasonalisasi yang kita tawarkan disertai dengan kompensasi yang adil dan wajar kok.
Jadi Revolusi mental seperti apa yang ada dibenak Presiden? Kalau melihat gagasan revolusioner Soekarno tentang NKRI dan Revolusi Islam di Iran, Perubahan fundamental biasanya bergejolak diawal lalu diikuti dengan stabilitas yang kontinyu. Tapi ini kok malah terbalik, kampanye revolusi mental ‘’made in Jokowi ‘’ tenang di awal tapi selanjutnya kacau.
Apakah ini tanda – tanda reformasi jilid II? Angin perubahan tahun 1998 mirip yang terjadi hari ini. Ditandai gejolak ekonomi global, lalu perlahan krisis menghantam negara – negara tetangga, dan detik ini Malaysia mulai bergolak dan selanjutnya Indonesia menjadi titik sental keterpurukan di Asia Tenggara.
Tersiar kabar belasan ribu etnis Tionghoa sudah meninggalkan Indonesia. Sentimen anti - Cina dan keturunannya meningkat tajam. Di sosial media berhembus isu rasial secara intensif. Konsolidasi mahasiswa – aktivis kepemudaan menjamur dimana – mana. Seolah – olah alam memberi sinyal gejolak politik sudah didepan mata.
Meskipun semangat egaliterisme ras dan penghormatan HAM sudah dipupuk selama 17 tahun sejak reformasi. Ternyata kecemburuan dan kebencian pribumi terhadap WNI ras tiongkok tidak pernah benar – benar terhapus dari hati orang – orang.
Kini tinggal menunggu waktu. Apakah kerusuhan 98 akan terulang? Atau semua ini hanya cobaan yang akan segera berlalu kawan!
Editor: RF