View Full Version
Rabu, 09 Sep 2015

Kemarau Tanpa Solusi (Bagian-1)

Sahabat VOA-Islam...

Musim kemarau yang melanda Indonesia tahun ini belum menunjukkan tanda akan berakhir. Bahkan menurut kepala BMKG, Andi Eka Sakya, musim kemarau tahun 2015 akan lebih panjang dibandingkan tahun lalu. Hal ini sebagai dampak dari munculnya fenomena alam El Nino yang menyebabkan awal musim hujan 2015-2016 akan mengalami kemunduran.

El Nino adalah fenomena alam yang terkait dengan kenaikan suhu permukaan air laut melebihi nilai rata-rata di Samudera Pasifik sekitar Equator bagian tengah hingga timur. Posisi geografis Indonesia yang terletak pada belahan bumi dengan iklim monsoon tropis sangat sensitif terhadap anomali iklim El-Nino Southern Oscillation (ENSO) ini. Dampak dari ENSO adalah kekeringan yang memperpanjang musim kemarau.

Berdasarkan analisis iklim 30 tahun terakhir menunjukkan bahwa, ada kecenderungan terbentuknya pola iklim baru yang menyebabkan terjadinya perubahan iklim. Dampak terjadinya perubahan iklim terhadap sektor pertanian adalah bergesernya awal musim kemarau yang menyebabkan berubahnya pola tanam karena adanya kekeringan.

 

Penyebab Kekeringan

Menurut Ir.Sri Puji Rahayu, MM faktor penyebab kekeringan ada 3 yaitu:

(1)   Adanya penyimpangan iklim

Penyimpangan iklim, menyebabkan produksi uap air dan awan di sebagian Indonesia bervariasi dari kondisi sangat tinggi ke rendah atau sebaliknya. Ini semua menyebabkan penyimpangan iklim terhadap kondisi normalnya. Jumlah uap air dan awan yang rendah akan berpengaruh terhadap curah hujan, apabila curah hujan dan intensitas hujan rendah akan menyebabkan kekeringan.

(2)   Adanya gangguan Keseimbangan Hidrologis

Gangguan keseimbangan hidrologis disebabkan oleh: 1) terjadinya degradasi Daerah Aliran Sungai (DAS) terutama bagian hulu mengalami alih fungsi lahan dari bervegetasi menjadi non vegetasi yang menyebabkan terganggunya sistem peresapan air tanah; 2) kerusakan hidrologis daerah tangkapan air bagian hulu menyebabkan waduk dan saluran irigasi terisi sedimen, sehingga kapasitas tampung air menurun tajam; 3) rendahnya cadangan air waduk yang disimpan pada musim penghujan akibat pendangkalan yang menyebabkan cadangan air musim kemarau sangat rendah sehingga memicu terjadinya kekeringan.

(3)   Adanya kekeringan Agronomis

Kekeringan agronomis, terjadi sebagai akibat dari kebiasaan petani memaksakan menanam padi pada musim kemarau dengan ketersediaan air yang tidak mencukupi.

Apa yang disampaikan oleh Ir.Sri Puji Rahayu, MM mengenai faktor penyebab kekeringan terutama faktor ke-2 dan ke-3 nampaknya bukanlah sekedar isapan jempol, sebab di lapanganmemang banyak dijumpai pengalihan fungsi lahan yang seharusnya diperuntukkan untuk daerah tangkapan/resapan air di bagian hulu, beralih fungsi menjadi villa maupun obyek-obyek wisata yang menawarkan berbagai hiburan yang sangat menguntungkan bagi para investornya. Hilangnya vegetasi yang akan mengikat air ini menyebabkan tingginya laju erosi tanah permukaan lahan, erosi jurang, longsoran lereng, erosi tebing sungai, dan erosi sisi badan jalan.

Penebangan pohon di daerah tangkapan air (chatment area) baik yang terjadi di hutan rakyat, daerah sabuk hijau (Green belt), lahan pertanian, maupun di ladang-ladang, akan menyebabkan erosi permukaan lahan semakin tinggi sehingga aliran air yang membawa lumpur akan masuk ke sungai – sungai yang kemudian bermuara ke waduk. Hal ini menyebabkan laju sedimentasi dan pendangkalan ke pusat waduk semakin tinggi. Akibatnya jika musim hujan peluang banjir akan sangat besar demikian pula jika musim kemarau peluang untuk terjadinya kekeringan juga akan sangat besar (sebab cadangan air yang semakin sedikit karena terjadi pendangkalan waduk).

Demikan pula ketika petani memaksakan untuk menanam jenis tanaman yang tidak dapat bertahan di musim kemarau seperti padi dan jagung, maka sudah dapat dipastikan mereka akan mengalami kerugian akibat kekeringan agronomis yang terjadi di lahannya.Kekeringan ini umumnya terjadi di wilayah-wilayah: (1) areal pertanian tadah hujan; (2) Daerah irigasi golongan 3; (3) Daerah gadu liar; dan (4) Daerah endemik kekeringan.

...berdasarkan Peta Monitoring Hari Tanpa Hujan, wilayah-wilayah seperti Jawa, Sulawesi Selatan, Lampung, Bali, NTT  sudah mengalami mengalami kekeringan sejak bulan Mei 2015 dan diprediksikan baru akan akan berlangsung terus hingga akhir 2015

 

Dampak Kekeringan

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika memastikan bahwa sejumlah wilayah di Indonesia akan mengalami hari tanpa hujan secara berturut-turut dan sangat panjang. Bahkan berdasarkan Peta Monitoring Hari Tanpa Hujan, wilayah-wilayah seperti Jawa, Sulawesi Selatan, Lampung, Bali, NTT  sudah mengalami mengalami kekeringan sejak bulan Mei 2015 dan diprediksikan baru akan akan berlangsung terus hingga akhir 2015.

Bencana kemarau dan kekeringan yang sangat panjang ini memunculkan berbagai masalah yang sangat pelik, diantaranya:

(1)   Krisis Air Bersih

Jutaan warga pedesaan di berbagai wilayah Indonesia mengalami kesulitan untuk mendapatkan air bersih. Mereka harus berjalan atau naik motor dari rumah ke sungai-sungai atau mata air untuk mendapatkan air.  Di Bangkalan, Jawa Timur, warga harus berjalan antara 1-3 kilometer untuk mendapatkan air bersih. Untuk minum, mencuci dan mandi mereka memanfaatkan air sungai yang masih tersisa yang terkadang kondisi airnya jauh dari kualitas air yang layak untuk dikonsumsi. Akibatnya, karena menggunakan air yang rendah kualitasnya (tidak bersih) maka warga mulai banyak yang terjangkiti penyakit, mulai dari penyakit kulit hingga saluran pencernaan.

(2)   Keringnya Lahan-Lahan Pertanian

Di Jawa Timur, dari 38 kabupaten dan kota, sedikitnya ada tujuh daerah yang sudah dinyatakan darurat kekeringan lahan pertanian. Dari data Dinas Pertanian Propinsi Jawa Timur musim kemarau tahun ini sedikitnya ada 20.978 hektar lahan padi dan jagung di sejumlah wilayah di Jatim mengalami kekeringan. Kekeringan padi tersebut kebanyakan terjadi di wilayah Bojonegoro 10.623 ha, disusul Tuban 2.726 ha dan Lamongan 2.474 ha. Kekeringan juga melanda lahan jagung di Lamongan yang mencapai 2.092 ha serta kedelai 81 ha. Kondisi lebih buruk lagi terjadi di lima daerah pertanian di Nusa Tenggara Barat (NTB). Di sana petani terancam mengalami gagal panen padi akibat kemarau. 

(3)   Kualitas Udara yang buruk

Ketika kekeringan melanda, maka tanah di daerah terdampak akan menjadi tandus dan gersang. Tanah yang tandus berpotensi menyulut api dan berujung pada kebakaran hutan. Hutan yang terbakar hebat baik disengaja atau tidak disengaja meningkatkan jumlah partikel halus dan berbahaya di langit. Partikel inilah yang mengiritasi saluran pernapasan dan meningkatkan risiko infeksi saluran pernapasan

(4)   Kekeringan menjadi alasan beredarnya makanan yang kurang higienis.

Bencana kekeringan berkorelasi besar terhadap minimnya hasil pertanian. Kasus gagal panen akan meningkat drastis. Akibatnya terjadi kenaikan pada harga sejumlah bahan makanan pokok. Bagi produsen makanan yang nakal, untuk menyiasati agar biaya produksi olahan makanan mereka menjadi rendah (tidak mahal), maka tidak jarang mereka menggunakan bahan-bahan yang berkualitas rendah dan beberapa bahan kimia berbahaya untuk menutupi rendahnya kualitas produksinya sekaligus untuk mengawetkannya. Hal ini tentunya akan semakin memperparah dampak dari kekeringan dengan munculnya efek dari penggunaan bahan kimia berbahaya.

Sungguh, kemarau melahirkan rentetan bencana yag cukup membuat rakyat sengsara dan menderita, kapankah kondisi ini akan berakhir? [syahid/voa-islam.com]

Bersambung...

Penulis: Reny Widya Widati, Sp 

(Pengajar Man 1 Tulungagung dan Aktif di Muslimah Hizbut Tahrir DPD 2, Tulungagung)


latestnews

View Full Version