View Full Version
Rabu, 14 Oct 2015

Negeri Tanpa Asap, Mungkinkah? (Bagian 2-Selesai)

Sahabat VOA-Islam...

Sesungguhnya, peran penting hidrologis lahan gambut bagi suatu wilayah bahkan dunia adalah sebagai cadangan (reservoir) air dengan kapasitas yang sangat besar.  Sehingga pada musim hujan tidak terjadi banjir  dan pada musim kemarau tidak terjadi kekeringan.  Peran hidrologis ini erat kaitannya dengan karakter tanah gambut  yang bagaikan spons dengan kubah-kubahnya berkedalaman hingga puluhan meter.

Karakter tanah gambut, yang merupakan cikal bakal batu bara muda, bila kering akan sangat mudah terbakar dan bila sudah terbakar  sulit dipadamkan, mengharuskan pemanfaatan lahan dan hutan gambut harus selaras dengan karakter aslinya, yaitu agar gambut selalu basah, demikian pendapat sejumlah pakar gambut dan lingkungan, seperti  Prof Azwar M’aas, pakar Gambut dari Universitas Gadjah Mada.  Kubah gambut harus dipertahankan, dipilihan tanaman yang adaptif dengan lahan gambut yang basah, bukan sebaliknya, serta memberikan tanaman penutup. 

Prof Azwar  menyatakan, “Jika gambut ini dijadikan pada pohonan atau tanaman lahan kering, dengan memaksa gambut yang basah untuk kering. Ini bahaya…Jangan ekosistem gambut yang harus menyesuaikan diri dengan tanaman.”(www.mongabay.co.id, 16 Januari 2015, Mau Kelola Lahan Gambut? Inilah Pesan Para Pakar). IG. M.  Subiksa,Wiwik Hartatik dan Fahmuddin Agus dalam tulisan berjudul “Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan” memaparkan karakter gambut sangat ditentukan oleh ketebalan gambut, substratum atau mineral dibawah gambut, kematangannya, dan ada tidaknya pengayaan dari luapan sungai disekitarnya. 

Sesuai Kepres No 32/1990 gambut dengan ketebalan lebih dari 3m diperuntukkan kawasan konservasi.  Hal ini disebabkan makin tebal lapisan gambut, maka gambut tersebut makin rapuh (fragile).  Dengan mempertahankannya sebagai kawasan konservasi, maka fungsinya sebagai penyangga hidrologi tetap terjaga. Artinya pengelolaan gambut agar tidak berbuah bencana, wajib diselaraskan dengan karakter lahan gambut.  

Terkait kebakaran hutan dan lahan yang sudah berlangsung puluhan tahun di negeri ini, sejatinya merupakan rentang waktu yang  tidak dapat  dikatakan sebentar. Apalagi untuk urusan kehidupan jutaan jiwa. Setidaknya ini menunjukkan dua hal. Pertama: Penindakan terhadap para pelaku selama ini begitu lemah. Modus pembakaran hutan dan lahan yang memberdayakan masyarakat serta aparat desa, dan lemahnya penegakan hukum membuat para korporasi pembakar lahan gambut ini nyaris tak tersentuh hukum.

Kedua: seolah tak pernah ada upaya pemerintah untuk mengambil pelajaran. Padahal dengan belajar dari kasus-kasus sebelumnya, seharusnya kebakaran hutan dan lahan sudah bisa dicegah semaksimal mungkin oleh pemerintah. Ini merupakan bukti tak terbantahkan negara telah melalaikan fungsi dan tanggung jawab pentingnya.

Sejatinya, pengelolaan gambut sesuai karakternya gagal diwujudkan tata kelola gambut neoliberal.  Karena model tata kelola ini terpancar dari ideologi kapitalisme.  Ideologi yang berpandangan bahwa segala sesuatu dilihat sebatas materi, mengagung-agung kebebasan memiliki dan berperilaku. Tidak satu dua perundang-undangan dan peraturan yang telah dikeluarkan.  Kurun waktu puluhan tahun membuktikan semua itu gagal menundukkan kerakusan dan keberingasan nafsu serakah korporasi kehutanan.

Diberitakan oleh mongabay.co.id, 13 Juli 2015, bahwa BP REDD+ pd oktober 2014, mengeluarkan audit kepatuhan perusahaan dan pemda di Riau terkait pencegahan kebarakaran di hutan.  Hasilnya seluruh perusahaan tidak patuh soal penanganan karhutla. Pengelolaan gambut yang semestinya dimanfaatkan untuk kemakmuran rakyat, malah dieksploitasi habis-habisan oleh korporasi. 

Karenanya, berbagai terobosan berupa tindakan penyegelan, penyekatan seribu kanal, pemetaan lahan gambut yang tersisa  dan berbagai upaya lain yang dilakukan pemerintah dalam bingkai neoliberal sungguh diragukan keberhasilannya. Karena persoalan utamanya bukan pada lemahnya penegakan hukum dan lemahnya kepatuhan korporasi.  Akan tetapi tata kelola neolib berupa pemberian konsensi itulah yang telah membuka ruang selebar-lebarnya bagi pengabaian pengelolaan gambut yang selaras dengan karakter aslinya. Gambut dibawah kendali korporasi dieksploitasi dengan prinsip pengelolaan yang berbasis bisnis. 

Bencana kebakaran hutan dan lahan hanya akan bisa diakhiri secara tuntas dengan sistem Islam melalui dua pendekatan: pendekatan tasyrî’i (hukum) dan ijrâ’i (praktis)

Untuk itu pemerintah wajib melakukan koreksi total atas tata kelola gambut neoliberal.  Yaitu agar dikelola berdasar prinsip-prinsip  yang sohih, prinsip-prinsip yang berasal dari pencipta gambut itu sendiri yaitu syari’at Allah swt, syariat Islam yang agung.  Allah swt telah mengingatkan dalam QS. Ar Ruum (30): 41, artinya,”Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”.

Bencana kebakaran hutan dan lahan hanya akan bisa diakhiri secara tuntas dengan sistem Islam melalui dua pendekatan: pendekatan tasyrî’i (hukum) dan ijrâ’i (praktis).

Secara tasyrî’i, Islam menetapkan bahwa hutan termasuk dalam kepemilikan umum (milik seluruh rakyat). Rasul saw. bersabda:

Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api (HR Abu Dawud dan Ahmad).

Sebagai milik umum, hutan haram dikonsesikan kepada swasta baik individu maupun perusahaan. Dengan ketentuan ini, akar masalah kasus kebakaran hutan dan lahan bisa dihilangkan. Dengan begitu kebakaran hutan dan lahan bisa dicegah sepenuhnya sejak awal.

Pengelolaan hutan sebagai milik umum harus dilakukan oleh negara untuk kemaslahatan rakyat, tentu harus secara lestari. Dengan dikelola penuh oleh negara, tentu mudah menyeimbangkan antara kepentingan ekonomi, kepentingan rakyat dan kelestarian hutan. Negara juga harus mendidik dan membangun kesadaran masyarakat untuk mewujudkan kelestarian hutan dan manfaatnya untuk generasi demi generasi.

Jika ternyata masih terjadi kebakaran hutan dan lahan, maka wajib segera ditangani oleh Pemerintah. Karena Pemerintah wajib memperhatikan urusan rakyatnya dan memelihara kemaslahatan mereka. Pemerintah akan dimintai pertanggungjawaban atas hal itu di dunia dan di akhirat.

Adapun secara ijrâ’i, Pemerintah harus melakukan langkah-langkah, manajemen dan kebijakan tertentu; dengan menggunakan iptek mutakhir serta dengan memberdayakan para ahli dan masyarakat umum dalam melakukan pencegahan dan penanggulangan dampak kebakaran yang terjadi.

Mengakhiri kebakaran hutan dan lahan secara tuntas dengan dua pendekatan, tasyrî’i dan ijrâ’i, hanya bisa diwujudkan dengan penerapan syariah Islam secara menyeluruh. Hal itu hanya bisa diwujudkan melalui penerapan syariah Islam dalam sistem Khilafah Rasyidah yang mengikuti manhaj kenabian. Inilah yang harus sesegera mungkin diwujudkan oleh seluruh kaum Muslim negeri ini. Dengan itu berbagai bencana akibat ulah manusia, termasuk bencana kabut asap, bisa diakhiri. Selesai. [syahid/voa-islam.com]

 

Penulis: Nur Laili Kusumawati

Staf Guru LBB di Blitar, Jawa Timur


latestnews

View Full Version