Oleh: Abu Hamzah Ar Rizal
Demokrasi memberi ruang untuk mengkritik pemerintah?
Dalam sistim demokrasi setiap orang berhak untuk mengemukakan pendapat bahkan mengecam kebijakan pemerintah. Itu memang benar. Tetapi masalahnya didengarkah kritik itu? Untuk hal-hal yang bersifat lokal pemerintah sering terpaksa mau mendengar kritik dan mengikuti kehendak rakyatnya.
Tetapi apabila menyangkut kepentingan global (AS dan sekutu-sekutunya) jangan harap kritik anda akan didengar. Berapa kali puluhan ribu bahkan ratusan ribu buruh melakukan unjuk rasa yang menuntut pemerintah mencabut undang-undang tentang out-sourcing. Apakah pemerintah meluluskann keinginan mereka? Lihat puluhan ribu umat Islam di seantero Nusantara menuntut pemerintah untuk membubarkan Ahmadiyah. Dipenuhikah? Tidak, karena AS berkepentingan dengan Ahmadiyah dalam rangka peperangannya menghadapi Islam.
Demokrasi akan menciptakan pemerintahan yang bersih (Clean Government)?
Para penganut agama demokrasi meyakini bahwa pemerintahan yang bersih dapat dibentuk melalui demokrasi. Tahukah anda bahwa di Amerika korupsi begitu mewabah? Untuk suatu proyek saja bisa dipindah-tangankan kepada beberapa kontraktor tanpa melalui lelang yang jujur. Suatu ilustrasi dikemukakan disini. Di Irak (setelah penggulingan Saddam Husein), direncanakan dibangun suatu proyek. Setelah ditenderkan, yang menang adalah perusahaan A, oleh perusahaan A proyek tersebut dijual ke perusahaan B. Perusahaan B lalu menjualnya ke perusahaan C. Tapi perusahaan C kemudian menjualnya ke perusahaan D. Dapat dibayangkan bangunan macam apa yang bisa dihasilkan dari cara seperti ini. Demikian pula beberapa waktu yang lalu pemerintah Mexico mengajukan protes kepada Pemerintah AS, dikarenakan sulitnya memberantas penyelundupan narkotika yang melibatkan banyak aparat pemerintah AS.
Demokrasi Kebodohan yang Membodohi
Banyak tipu-tipuan yang dilakukan demokrasi, namun semua itu bisa dirangkum menjadi 2 (dua) hal pokok, yaitu tentang kedaulatan di tangan rakyat dan janji-janji politik.
Kedaulatan di tangan rakyat adalah jargon utama dalam sistem demokrasi. Sejatinya itu adalah tipuan yang mudah dibaca, tapi sayangnya masyarakat sering silap dengan berbagai pendapat dan tulisan “ilmiah” oleh pada ahli yang mendukung “jargon” tersebut.
Faktanya kedaulatan rakyat itu hanya berlangsung selama 5 (LIMA) MENIT di dalam kotak suara selama pelaksanaan Pemilu. Setelah itu kedaulatan mereka hilang diambil lagi oleh para penguasa (Eksekutif dan Legislatif) dan kemudian mereka ditinggal dan kembali lagi menjadi rakyat biasa yang tidak punya kekuasaan apapun juga.
Tipuan lainnya adalah janji-janji politik terutama pada saat kampanye baik dalam Pemilu, Pilpres ataupun Pilkada. Janji-janji politik itu biasanya dibungkus dengan istilah visi dan misi. Visi merupakan pandangan kedepan yang berupa janji dan harapan yang akan terwujud jika si calon terpilih menjadi pemimpin. Sedangkan MISI adalah langkah-langkah untuk mencapai visi tersebut.
Kenyataannya visi adalah ngelamun atau lamunan yang merupakan hadiah untuk rakyat dan misi adalah proyek-proyek yang merupakan milik si pemimpin. Selain itu tidak ada sanksi hukum apapun juga bagi calon yang terpilih jika ternyata dia melanggar janjinya. Dalam demokrasi kebohongan merupakan bagian dari cara berpolitik untuk mencapai tujuan.
Untuk menutupi kebohongannya itu para ahli memberikan teori tentang pilar-pilar demokrasi, yang merupakan kelanjutan Trias Politica yang ternyata gagal membuktikan bahwa kedaulatan negara berada di tangan rakyat.
Menurut mereka ada 5 pilar demokrasi yang merupakan wujud dari Kedaulatan Rakyat, yaitu Eksekutif, Legislatif, Yudikatif, Pers dan Lembaga Swadaya Rakyat. Kenyataannya, rakyat yang dikatakan sebagai pemegang kedaulatan Negara tidak pernah mampu mangatur dan mengendalikan pihak eksekutif maupun legilsatif dalam menjalankan pemerintahannya. Mereka bekerja berdasarkan undang-undang dan peraturan yang mereka buat sendiri yang acapkali bertentangan dengan kepentingan mayoritas rakyat. Bahkan seandainya mereka melanggar aturan yang mereka buat sendiri, rakyat tak mampu berbuat apa-apa. Demikian juga pihak yudikatif yang hanya punya kewajiban menegakkan undang-undang walaupun undang-undang itu merugikan bahkan menindas mayoritas rakyat.
Bagaimana dengan Pers dan LSM? Pers yang seharusnya menjadi instrument bagi rakyat untuk mengontrol pemerintah dalam kenyataannya tidak bisa dibantah selalu dan “diharuskan” berdiri sesuai dengan kepentingan para pemilik modal. Dan para pemilik modal selalu berafiliasi kepada kelompok-kelompok politik yang merupakan bagian dari sistim oligarki dalam pemerintahan, yang sama sekali tidak terkait dengan kepentingan rakyat. Kalaupun ada media pers yang membela rakyat dalam suatu peristiwa politik serta berdiri dalam posisi vis a vis dengan pemerintah, “keberpihakan” media tersebut selalu terkait dengan kepentingan pemiliknya yang kebetulan ada satu kubu dengan kelompok politik yang menjadi pesaing dari pemerintah.
Lalu bagaimana dengan Lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang katanya berfungsi sebagai kekuatan kelima untuk menjaga kedaulatan rakyat. LSM-LSM yang ada saat ini tentunya butuh biaya untuk kegiatan administratif dan operasionalnya. Pertanyaannya siapakah yang membiayainya? Rakyatkah? Sudah tentu bukan rakyat yang membiayainya, tetapi tentunya ada pihak lain yang bukan “rakyat” yang membiayai mereka. Sudah menjadi rahasia umum untuk kegiatannya banyak LSM-LSM yang datang ke pemerintah, baik itu pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah, atau juga ada dari lembaga/lembaga atau perusahaan-perusahaan swasta, bahkan banyak juga LSM yang mendapat kucuran dana dari Negara-negara asing baik langsung maupun tidak langsung (melalui lembaga-lembaga nir laba milik asing). Pertanyaan selanjutnya, kalau bukan dari rakyat (dan memang tidak mungkin meminta ke rakyat) apakah mungkin mereka akan selalu menjadi alat kepentingan rakyat? Apalagi kalau kepentingan pemberi dana bertentangan dengan kepentingan rakyat.
Demokrasi Suatu Kesesatan yang Menyesatkan
Ditinjau dari sisi agama banyak kesesatan demokrasi. Tapi saya hanya mengambil tiga point saja yang menunjukkan kesesatannya. Pertama, kebenaran Ilahiah bisa dikalahkan oleh suara mayoritas. Misalkan besok akan diadakan referendum untuk menentukan apakan wanita wajib berjilbab atau tidak, saya yakin bahwa yang akan memenangkan referendum adalah pihak yang menolak jilbab. Bahkan sebagian yang berjilbabpun akan mengatakan bahwa berpakaian muslim atau tidak itu adalah hak individu.
Kedua, suatu hal yang tidak masuk diakal kalau seorang yang sholeh, pintar lagi pula berilmu memiliki hak yang sama, yakni satu suara, dengan seorang bejad, bodoh dan berpendidikan rendah. Yang bodoh pasti lebih banyak dari yang pintar. Yang tidak berilmu lebih banyak daripada yang berilmu. Demikian pula yang berakhlak buruk akan lebih banyak daripada yang sholeh. Seorang pezina berhak mencalonkan dirinya menjadi wakil rakyat, bahkan menjadi presidenpun bukan masalah dalam sistim demokrasi. Baru-baru ini MK (Majelis Konstitusi) membatalkan salah satu pasal dalam undang-undang yang melarang narapidana dipilih menjadi kepala daerah, tak heran kini ada mantan koruptor menjadi caleg. Laporan ICW mengindikasikan 80% dari caleg ditenggarai pernah terlibat korupsi. Pernah ada seorang Artis yang melahirkan anak diluar nikah mencalonkan diri menjadi calon anggota legislatif.Audzubillah!!! Rasulullah bersabda bahwa dihadapan Alloh semua manusia itu sama, hanya ketaqwaannyalah yang membedakan. Tingkat ketaqwaan itu sendiri tergantung kepada ilmu yang dimilikinya, demikian lanjut Rasulullah. Bayangkan pemimpin macam apa yang akan didapatkan oleh masyarakat seperti ini
Ketiga, rakyat itu bodoh. Di seluruh dunia tidak ada rakyat yang pintar atau cerdas. Kalimat provokatif ini saya ucapkan dalam konteks rakyat sebagai suatu komunitas. Tentunya ada individu-individu yang pintar atau cerdas, tapi sebagai komunitas rakyat pasti bodoh. Kenapa demikian? Jawabnya pertama, rakyat tidak memiliki akses terhadap sumber informasi untuk mendapatkan informasi yang benar,lengkap dan utuh. Tolong jawab apakah semua rakyat tahu dan mengerti tentang krisis finansial global sekarang ini? Atau yang lebih mudah sajalah, apakah rakyat tahu mengenai data-data pribadi secara lengkap dan utuh dari para caleg yang berlaga pada 2014 lalu?
Contoh yang menunjukkan bodohnya rakyat adalah menangnya Abdul Hadi Djamal di Sulsel pada pemilu legislative 2009, padahal pada saat itu dia menjadi tahanan KPK, karena terlibat korupsi mega trilyun. Di AS sendiri, rakyat yang memilih calon Presiden berdasarkan program-program yang diajukannya hanyalah 9,7%. Sisanya ikut memilih karena termakan iklan Kedua, Sebagian besar rakyat adalah a politis. A politis adalah suatu kebodohan. Seorang yang a politis tidak akan mengerti dan memahami kezaliman yang dilakukan oleh para penguasa.
Berapa banyakkah rakyat yang tahu bahwa kemiskinan sekarang ini merupakan hasil dari ketidak adilan sistem? Ketiga, Mass media yang seharusnya menjadi sumber pencerahan bagi masyarakat kini telah menjadi industri. Mass media selalu berpihak. Berpihak kepada rakyat? Pastinya tidak. Keberpihakannya tergantung kepada siapa yang memiliki atau mendanai mass media tersebut. Jadi kalau begitu perlukah kita berdemokrasi? Wallahu ‘alam. [syahid/voa-islam.com]