Oleh : Abu Nisa (Pemerhati Sosial dan Politik)
Pasca pro kontra kehadiran Surat Edaran (SE) Kapolri No. 6/X/2015 hate speech bergulir di tengah masyarakat. Menimbulkan banyak reaksi dari berbagai kalangan. Termasuk beberapa asumsi, dugaan, dan spekulasi yang berkembang tentang apa dan siapa sasaran sebenarnya. Maka satu per satu meluncur alasan yang melatari munculnya produk tersebut dari pihak Polri.
Sekalipun tidak mudah menguak alasan sesungguhnya di balik pernyataan formal yang disampaikan. Mulai dari keterangan Kadiv Humas Polri hingga keterangan Kapolri sendiri Badrodin Haiti yang mantan Kapolda Jatim itu. Setidaknya sudah ada referensi peristiwa sebelumnya dan bukti hate speech versi Polri yang ditunjukkan.
Dari kasus Tolikara, kasus Singkil, kasus Sampang, kasus Cikiesik dan kasus Temanggung. Sedang bukti Hate Speech terbaru yang digunakan sebagai contoh adalah video Abu Bakar Ba'asyir dan Twitter terkait dengan Persib Bandung. Ditegaskan oleh Kapolri bahwa SE itu untuk kepentingan internal Polri. Dan dipicu oleh hasil penelitian dari Kompolnas yang menyebut banyaknya polisi yang kurang memahami deskripsi faktual ujaran kebencian di lapangan.
Banyaknya pihak yang meragukan efektifitas SE tersebut terutama kekhawatiran tentang tafsir ambigu karena diterjemahkan sendiri oleh polisi (penyidik), banyaknya pasal karet yang memberi ruang kemungkinan penyalahgunaan kewenangan, represifitas penanganan tanpa proses pengadilan, pola hubungan antara produk Polri tersebut dengan regulasi yang diacu ( KUHP, UU No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU No. 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 2 tahun 2002 tentang Polri, UU No. 12 tahun 2008 tentang Ratifikasi Konvensi Internasional Hak-hak Sipil dan Politik, dan UU No. 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial), batasan kritik terhadap penguasa, definisi amar ma'ruf nahi mungkar.
Semua itu dijawab dan ditepis oleh Polri dengan tetap keukeuh memandang urgensi pentingnya keberadaan SE yang banyak menimbulkan reaksi kemarahan dan emosi netizen tersebut. Apalagi ini didukung oleh berbagai pihak yang menilai positip dan strategisnya SE tersebut. Diantaranya Fadli Zon, Yusril Ihza Mahendra, Ruhut Sitompul, Farouk Muhammad (Wakil Ketua DPD RI), Zulkifli Hasan (Ketua MPR RI), Ridwan Kamil (Walikota Bandung) dan beberapa pihak yang lain. Bahkan Polri telah siap mendatangkan pakar bahasa untuk mengidentifikasi sebuah statemen dikatakan hate speech atau tidak.
Beberapa alasan yang disampaikan oleh pihak yang mendukung keberadaan SE tersebut antara lain :
Sementara yang kontra menyebut beberapa alasan antara lain :
Di antara pro dan kontra SE, pada saat yang sama telah terjadi beberapa penangkapan atas dugaan hate speech di beberapa tempat. Melihat masifnya penanganan terhadap terduga tindak pidana hate speech di beberapa tempat bisa dilihat sebagai indikasi awal adanya program sistemik untuk melakukan tindakan-tindakan terhadap target tertentu. Meski kita tidak bisa melihat pada akhirnya seperti apa dan siapa sasaran sebenarnya.
Tetapi jika melihat referensi kasus sebagaimana dijelaskan baik oleh Kadiv Humas maupun Kapolri yang melatari munculnya SE, cukup mengungkapkan bahwa kasus hate speech banyak berkaitan dengan isu SARA. Apalagi barang bukti hate speech secara transparan disebut oleh Kapolri salah satunya video ceramah Abu Bakar Bas’asyir.
Dari bukti yang diangkat tersebut sulit untuk tidak menyebut kelompok-kelompok yang diidentifikasi sama secara pemikiran, ideologi dan gerakan sebagai sasaran sebenarnya. Meski jika mencermati dukungan dan harapan terhadap keberadaan SE tersebut benar-benar mampu merealisasikan suasana komunikasi informasi yang santun penuh dengan etika, jauh dari hujatan dan ujaran kebencian. Namun pertanyaannya jika kita jujur untuk melihat akar persoalan sebenarnya munculnya ujaran kebencian terutama di media sosial.
Bukanlah tanpa sebab dan tanpa rekayasa. Dan harus dibedakan secara jelas identifikasi istilah faktual antara kritik dengan ujaran kebencian. Termasuk memasukkan kriteria sasaran ujaran kebencian tidak saja untuk kelompok masyarakat melainkan harusnya berlaku juga untuk pengambil kebijakan. Setidaknya ada beberapa hal yang perlu dipertanyakan terhadap SE produk Polri ini antara lain :
Akhirnya kita perlu benar-benar menyadari bahwa perlunya memutus ketergantungan negara ini terhadap negara lain yang sangat memiliki kepentingan terutama kepentingan politik dan ekonomi untuk senantiasa mendikte dalam kerangka penjajahan. Dan ingatlah Firman Allah SWT :“Dan Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan bagi orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin.” (QS. An Nisa 141). Wallahu a'lam bis shawab.