Oleh: Lusiyani Dewi, S.Kom (Aktivis MHTI)
Sekitar 900 wanita di Kabupaten Bandung Barat menikah di bawah usia 18 tahun. Hal itu membuat angka pernikahan dini di daerah ini menempati urutan tertinggi di Jawa Barat. Hal itu dikatakan Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana Kabupaten Bandung Barat Asep Ilyas, Kamis (12/11/2015). (http://www.pikiran-rakyat.com/bandung-raya/2015/11/12/349675/900-wanita-di-kbb-menikah-pada-usia-dini).
Menurut dia, sebanyak 60 persen pasangan menikah di wilayah KBB melangsungkan pernikahan pada usia dini. Padahal idealnya, menurut dia, usia wanita saat menikah yaitu 20 tahun, sementara pria 25 tahun. Pada usia tersebut, wanita dan pria dinilai sudah memiliki kesiapan secara emosional dan psikologis untuk berumah tangga.
Sementara pada usia di bawah 18 tahun, seorang wanita dinilai belum memiliki kematangan tersebut, sehingga konflik dalam berumah tangga bisa terjadi tanpa penyelesaian yang diharapkan. Akibatnya, hal itu bisa berujung pada perceraian.
Wilayah selatan KBB, seperti Cililin, Cipongkor, Sindangkerta, Gununghalu, dan Rongga, lanjut Asep, hingga kini menjadi penyumbang terbesar angka pernikahan dini. Faktor pendidikan dan ekonomi, menurut dia, menjadi penyebab utamanya. “Namun selain itu, ada juga faktor budaya yang memengaruhi. Namun, kebanyakan karena faktor ekonomi dan pendidikan yang minim,” tuturnya.
Untuk meminimalisasi angka pernikahan dini, Asep mengaku terus melakukan berbagai upaya. Di antaranya dengan memberikan konseling dan penyuluhan keluarga berencana kepada masyarakat. Untuk melakukannya, pihaknya juga bekerja sama dengan tokoh agama, pemuda, dan masyarakat setempat. Tak hanya soal pencegahan pernikahan dini, penyuluhan tersebut juga mencakup pentingnya keluarga berencana dan pendewasaan usia perkawinan. Dengan penyuluhan itu, dia berharap agar pasangan yang menikah bisa terhindar dari penyakit menular seksual, HIV/AIDS, seks bebas, serta narkoba. Dengan berbagai upaya tersebut, Asep mengklaim bahwa laju pertumbuhan penduduk di KBB bisa terus ditekan.
Di tempat yang sama, Bupati Bandung Barat Abubakar mengungkapkan, perencanaan berkeluarga ini diharapkan tak hanya untuk menekan laju pertumbuhan penduduk, tetapi juga untuk mengurangi angka kemiskinan. Sebab, menurut dia, pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali bisa berdampak terhadap peningkatan angka kemiskinan. “Untuk mewujudkannya, memang harus ditopang dengan berbagai sarana dan prasarana. Dan kami telah menginstruksikan BP3AKB untuk menggiatkan program bulan pelayanan KB bagi masyarakat,” ujarnya.
Tampaknya banyak pihak yg merasa khawatir dengan fenomena nikah dini tersebut. Ketakutan terhadap pernikahan dini, melebihi ketakutan terhadap maraknya perzinahan dini. Ada apa dibalik ketakutan pernikahan dini ? Alasan psikologi yang dilontarkan merupakan alasan yang dibuat-buat karena ada ketidak konsistenan antara upaya penyelamatan psikologi anak bila menjalani pernikahan dini dengan keresahan yang dialami anak menghadapi maraknya pergaulan bebas (berupa fakta-fakta dan pemikiran-pemikiran yang merangsang bangkitnya naluri seksual yang menuntut pemenuhan). Anak-anak semakin mengalami keresahan dimana pendidikan yang ada di negeri ini juga tidak menyiapkan mereka untuk memiliki kematangan berpikir dan bersikap dengan landasan nilai Islam. Anak atas nama ”menikmati hak anak untuk ceria” diabaikan dari penanaman tanggung jawab terhadap kehidupan di hadapan al-Khaliq (Allah). Anak-anak tidak dipersiapkan untuk mengetahui bagaimana mempersiapkan diri untuk menjadi seorang mukallaf dihadapan Allah, yaitu saat dia telah baligh maka memiliki kewajiban untuk terikat dengan segala ketentuan syara’. Saat anak sudah baligh dan ingin menikah tetap dianggap anak tidak layak karena ia akan kehilangan hak untuk ceria dan membebani anak dengan tanggung jawab yang belum seharusnya ia pikul.
Dapat kita bayangkan anak-anak yang sudah baligh mengalami penderitaan, di satu sisi dilarang menikah (karena adanya batasan definisi anak-anak dibawah 18 tahun), disisi lain mereka senantiasa mengkonsumsi produk-produk yang membangkitkan naluri seksual (film,sinetron,buku,komik,video dan di tempat-tempat umum). Ini akan membuat mereka gelisah,bingung bahkan sangat mudah terjerumus kedalam pergaulan bebas termasuk perzinahan. Ditambah lagi peran orangtua sebagai pendidik dan penanggung jawab telah digantikan oleh benda-benda elektronik dan pembantu karena orangtua sibuk berada di luar rumah mengejar materi dan eksistensi diri. Menurut polling yang dilakukan lembaga anti kekerasan online anak-anak, National Society for the Prevention of Cruelty to Children (NSPCC), sebesar 75% atau 3 dari 4 anak tersasar dan menemukan gambar-gambar porno dan kekerasan di internet.
Hal yang cukup menggelitik adalah mengapa pernikahan dini lebih ditakuti dibandingkan rusaknya pergaulan anak-anak; maraknya hubungan sejenis (Gay-Lesbian) dan eksploitasi pornografi dan pornoaksi di berbagai media. Perlu ditelusuri apakah yang sebenarnya dikhawatirkan dari pernikahan dini. Apakah betul semata-mata karena pertimbangan psikologi dan kesehatan reproduksi yang belum matang sehingga pernikahan dini dilarang oleh hukum-hukum positif negeri ini? Mengapa pemimpin negeri ini tetap mempertahankan keberadaan hukum-hukum positif tersebut padahal bertentangan dengan hukum agama yang dianut oleh mayoritas penduduk muslim negeri ini? Apakah ada motif politik dibalik semua ini dan apakah ada tekanan dari pihak-pihak luar untuk memaksa pemerintah negeri ini tetap mempertahankannya?
Larangan Pernikahan Dini Upaya Kontrol Populasi
Pernikahan dini bagi seorang perempuan berpeluang untuk memiliki keturunan yang lebih banyak apalagi bila suami memiliki kemampuan nafkah lebih dari cukup dan orangtua dapat memberikan pendidikan yang layak. Pernikahan dini dalam masyarakat Indonesia tidaklah asing, dimana terbukti dengan pernikahan dini tidak mengganggu kondisi psikologi ibu; hubungan ibu dengan anak lebih dekat karena perbedaan usia tidak terlalu jauh; orangtua berpeluang untuk menyaksikan anak-anaknya menginjak usia dewasa bahkan menghantarkan kepada jenjang pernikahan bahkan masih berkesempatan untuk menyaksikan lahirnya cucu-cucu sampai mengikuti pertumbuhan dan perkembangan mereka.
Adanya upaya larangan pernikahan dini tersebut sangat berkaitan dengan pencegahan pertambahan populasi penduduk muslim. Ketakutan pertambahan penduduk pada negeri-negeri muslim ditutup-tutupi dengan jargon-jargon “kepedulian terhadap angka kematian ibu; memberi kesempatan untuk hidup sejahtera ; adanya kesulitan pemenuhan konsumsi barang produksi karena SDA terbatas,dll). Teori kontrol populasi dipelopori oleh munculnya teori “Ledakan Penduduk” yang dikeluarkan oleh Thomas Robert Malthus (1798) seorang pemikir Inggris yang ahli pada bidang teologi dan ekonomi. Teorinya menyatakan: “Jumlah penduduk dunia akan cenderung melebihi pertumbuhan produksi (barang dan jasa). Oleh karenanya, pengurangan ledakan penduduk merupakan suatu keharusan, yang dapat tercapai melalui bencana kerusakan lingkungan,kelaparan,perang atau pembatasan kelahiran”.
Disamping itu terbukti telah banyak kesepakatan, organisasi gereja dan berbagai lembaga yang mengucurkan dana melimpah untuk merealisasikan program pembatasan kelahiran tersebut, khususnya di Dunia Islam. Misalnya kesepakatan Roma, Lembaga Ford amerika (yang menyokong apa yang disebut dengan program “kesehatan/kesejahteraan keluarga”), Lembaga Imigrasi Inggris (yang dengan terus terang menyerukan perlindungan alam dengan membatasi pertumbuhan manusia,walaupun harus melalui pembantaian massal). Bersambung... [syahid/voa-islam.com]