View Full Version
Rabu, 16 Dec 2015

Sejarah 'Perampokan' Tanah Papua

Sahabat VOA-Islam...

PT Freeport Indonesia adalah sebuah perusahaan pertambangan yang mayoritas sahamnya dimiliki Freeport-McMoran Copper & Gold Inc. (AS). PT Freeport Indonesia menambang, memproses dan melakukan eksplorasi terhadap bijih yang mengandung tembaga, emas, dan perak.

Freeport telah melakukan eksplorasi di dua tempat di Papua, masing-masing tambang Erstberg (dari 1967) dan tambang Grasberg (sejak 1988), di kawasan Tembaga Pura, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua.

Data pada tahun 2010 menyebutkan saham perusahaan ini dipegang oleh: (1) Freeport-McMoran Copper & Gold Inc. (AS) sebesar 81,28 persen; (2) pemerintah Indonesia memegang 9,36 persen, dan PT. Indocopper Investama memegang 9,36 persen. Perusahaan tambang ini tidak hanya menghasilkan emas, tetapi juga tembaga, emas, perak, molybdenum dan rhenium. Selama ini hasil bahan yang di tambang tidaklah jelas, karena hasil tambangnya dikapalkan ke luar untuk dimurnikan, sedangkan molybdenum dan rhenium  merupakan sebuah hasil sampingan dari pemrosesan bijih tembaga.

Freeport adalah perusahaan asing pertama yang kontraknya ditandatangani Soeharto ketika UU No.1/1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) - yang draftnya dirancang di Jenewa (Swiss) yang didiktekan Rockefeller – disahkan pada tahun 1967. Inilah gong ‘perampokan’ legal tanah Papua itu dimulai. Meskipun perjanjian tertulis di atas kertas sejak tahun 1967, namun Lisa Pease, seorang penulis sebuah artikel menarik berjudul “JFK, Indonesia, CIA & Freeport Sulphur” asal Amerika Serikat, mengatakan kiprah Freeport di Indonesia sudah dimulai sejak beberapa tahun sebelumnya.

Perkenalan Freeport Sulphur (nama awal sebelum menjadi Freeport-McMoran Copper & Gold Inc ) dengan tanah Papua dimulai ketika pada Agustus 1959 Van Gruisen, Direktur Pelaksana East Borneo Company, bercerita bahwa dirinya menemukan sebuah laporan penelitian atas Mountain Ersberg (Gunung Tembaga) di Irian Barat yang ditulis Jean Jaques Dozy di tahun 1936. Padahal, laporan itu sebenarnya sudah dianggap tidak berguna dan tersimpan selama bertahun-tahun begitu saja di Perpusatakaan Belanda.

Pada saat itu kondisi Freeport Sulphur hampir gulung tikar karena situasi politik akibat pergantian kekuasaan di Kuba tahun 1959. Freeport Sulphur yang baru saja hendak melakukan pengapalan nikel produksi perdananya terkena imbasnya karena Fidel Castro berhasil menghancurkan rezim diktator Batista dan kemudian dia menasionalisasikan seluruh perusahaan asing di negeri itu.

Van Gruisen bercerita kepada Forbes Wilson, pimpinan Freeport Sulphur kala itu, bahwa tanah Papua memiliki alam yang indah serta kekayaan alam yang begitu melimpah. Kandungan biji tembaga yang ada di Gunung Ersberg itu terhampar di atas permukaan tanah, jadi tidak tersembunyi di dalam tanah. Kemudian Wilson melakukan perjalanan ke Irian Barat dan melakukan survei dengan seksama atas Gunung Ersberg dan juga wilayah sekitarnya. Penelitiannya ini ditulisnya dalam sebuah buku berjudul The Conquest of Cooper Mountain.

Wilson menyebut gunung tersebut sebagai harta karun terbesar yang untuk memperolehnya tidak perlu menyelam lagi. Karena semua harta karun itu telah terhampar di permukaan tanah. Dari udara, tanah di sekujur gunung tersebut berkilauan ditimpa sinar matahari. Wilson juga mendapatkan temuan yang nyaris membuatnya gila. Karena selain dipenuhi bijih tembaga, gunung tersebut ternyata juga dipenuhi bijih emas dan perak. Menurut Wilson, seharusnya gunung tersebut diberi nama Gold Mountain, bukan Ersberg Mountain atau Gunung Tembaga.

Pada 1 Februari 1960, Freeport Sulphur menekan kerjasama dengan East Borneo Company untuk mengeksplorasi gunung tersebut. Namun lagi-lagi Freeport Sulphur mengalami kenyataan yang hampir sama dengan yang pernah dialaminya di Kuba. Perubahan eskalasi politik atas tanah Irian Barat tengah mengancam. Hubungan Indonesia dan Belanda telah memanas dan Soekarno malah mulai menerjunkan pasukannya di Irian Barat. Tadinya Wilson ingin meminta bantuan kepada Presiden AS John Fitzgerald Kennedy agar mendinginkan Irian Barat.

Namun ironisnya, JFK malah sepertinya mendukung Soekarno. Kennedy mengancam Belanda akan menghentikan bantuan Marshall Plan jika bersikeras mempertahankan Irian Barat. Belanda yang saat itu memerlukan bantuan dana segar untuk membangun kembali negerinya dari puing-puing kehancuran akibat Perang Dunia II terpaksa mengalah dan mundur dari Irian Barat. Ketika itu, sepertinya Belanda tidak tahu jika Gunung Ersberg sesungguhnya mengandung banyak emas, bukan tembaga. Sebab jika saja Belanda mengetahui fakta sesungguhnya, maka nilai bantuan Marshall Plan yang diterimanya dari AS tidak ada apa-apanya dibanding nilai emas yang ada di gunung tersebut.

Dampak dari sikap Belanda untuk mundur dari Irian Barat menyebabkan perjanjian kerjasama dengan East Borneo Company mentah kembali. Namun segalanya berubah seratus delapan puluh derajat ketika Presiden Kennedy tewas ditembak pada 22 November 1963. Presiden Johnson yang menggantikan Kennedy mengambil siap yang bertolak-belakang dengan pendahulunya. Johnson malah mengurangi bantuan ekonomi kepada Indonesia, kecuali kepada militernya. Salah seorang tokoh di belakang keberhasilan Johnson, termasuk dalam kampanye pemilihan presiden AS tahun 1964, adalah Augustus C Long. Ia juga salah seorang anggota dewan direksi Freeport.

Selain kaitannya dengan Freeport, Long juga memimpin Texaco, yang membawahi Caltex (patungan dengan Standard Oil of California). Soekarno pada tahun 1961 memutuskan kebijakan baru kontrak perminyakan yang mengharuskan 60 persen labanya diserahkan kepada pemerintah Indonesia. Caltex, sebagai salah satu dari tiga operator perminyakan di Indonesia jelas sangat terpukul oleh kebijakan Soekarno ini.

Augustus C Long sangat marah terhadap Soekarno dan berencana agar orang ini disingkirkan secepatnya. Lisa Pease mengatakan bahwa pada Maret 1965, Augustus C Long terpilih sebagai Direktur Chemical Bank, salah satu perusahaan Rockefeller. Agustus 1965, Long diangkat menjadi anggota dewan penasehat intelijen kepresidenan AS untuk masalah luar negeri. Badan ini memiliki pengaruh sangat besar untuk menentukan operasi rahasia AS di negara-negara tertentu. Long diyakini salah satu tokoh yang merancang kudeta terhadap Soekarno, yang dilakukan AS dengan menggerakkan sejumlah perwira Angkatan Darat yang disebutnya sebagai “our local army friend”.

Salah satu bukti adalah sebuah telegram rahasia Cinpac 342, 21 Januari 1965, pukul 21.48, yang menyatakan ada kelompok Jenderal Suharto yang akan mendesak angkatan darat agar mengambil-alih kekuasaan tanpa menunggu Soekarno berhalangan. Mantan pejabat CIA Ralph Mc Gehee juga pernah bersaksi jika hal itu benar adanya. Setelah Soeharto berkuasa, maka Freeport dengan leluasa menjarah Gunung Ersberg yang disamping terkandung tembaga juga terdapat kandungan emas dan perak, bahkan terdapat kandungan uranium.

Itulah sejarah bagaimana tanah Papua mulai ‘dirampok’ oleh asing. Jelas kita bisa melihat bahwa dibalik perjanjian Indonesia-PT. Freeport bukan karena kepentingan rakyat, namun karena kepentingan kaum kapitalis yang direka sedemikian rupa sehingga tampak seolah demi kepentingan rakyat. Penjajahan gaya baru ini terus menghantui Indonesia sebagai konsekuensi logis perebutan kekuasaan Soeharto dari Soekarno. Sepanjang perjalanannya pun membuktikan bahwa keberadaan PT. Freeport Indonesia memberikan kerugian yang besar bagi Indonesia. LSM Jatam pernah mengungkapkan, “Tanah adat 7 suku, di antaranya Amungme, diambil dan dihancurkan pada saat awal beroperasi PT Freeport.

Limbah tailing PT Freeport telah menimbun sekitar 110 km2 wilayah estuari tercemar, sedangkan 20–40 km bentang Sungai Ajkwa beracun dan 133 km2 lahan subur terkubur. Saat periode banjir datang, kawasan-kawasan subur pun tercemar. Perubahan arah Sungai Ajkwa menyebabkan banjir, kehancuran hutan hujan tropis (21 km2), dan menyebabkan daerah yang semula kering menjadi rawa.” PT Freeport juga membandel dan seenaknya sendiri. Hingga saat ini, PT Freeport tak kunjung membangun smelter. Pembangunan smelter itu bahkan dijadikan “sandera” untuk memastikan perpanjangan operasinya.

Jika pemerintah benar sesuai klaimnya, memiliki kedaulatan penuh, maka operasional PT Freeport harusnya disudahi tahun 2021. Artinya, kontraknya tidak diperpanjang. Dalam UU juga dinyatakan hanya “bisa diperpanjang”, tidak wajib, tidak harus. Jika itu dilakukan, maka itu menjadi keputusan yang paling baik dan paling menguntungkan bagi negeri ini dan rakyatnya.

Apalagi pemberian ijin operasi kepada PT Freeport dan sejensinya jelas menyalahi Islam. Dalam Islam, tambang yang berlimpah haram diserahkan kepada swasta, apalagi asing. Abyadh bin Hammal ra. menuturkan bahwa:

Ia pernah datang kepada Rasulullah saw., lalu meminta (tambang) garam. Ibn al-Mutawakkil berkata, “(Maksudnya tambang) yang ada di Ma’rib.” Beliau kemudian memberikan tambang itu kepada dia. Ketika dia pergi, seseorang di majelis itu berkata (kepada Nabi saw.), “Apakah Anda tahu apa yang Anda berikan? Sesungguhnya Anda memberi dia (sesuatu laksana) air yang terus mengalir.” Ibn al-Mutawakkil berkata, “Rasul lalu menarik kembali (tambang itu) dari dia (Abyadh bin Hamal).” (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi dan al-Baihaqi).

Islam menetapkan tambang adalah milik umum seluruh rakyat. Tambang itu harus dikelola langsung oleh negara dan seluruh hasilnya dikembalikan untuk kemaslahatan rakyat. Hanya dengan pengelolaan sesuai aturan syariah seperti itulah, kekayaan alam itu akan benar-benar menjadi berkah buat negeri ini dan penduduknya.

Karena itu, pemberian ijin ataupun perpanjangan ijin kepada swasta/asing untuk menguasai pengelolaan tambang, termasuk Freeport, jelas menyalahi Islam.

Jadi, stop Freeport! Itulah yang harus dilakukan jika benar peduli dengan kedaulatan negeri, serta ingin memberikan keuntungan terbesar bagi rakyat dan memperjuangkan nasib generasi mendatang. WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [syahid/voa-islam.com]

Kiriman Tresna Mustikasari


latestnews

View Full Version