Sahabat VOA-Islam...
Islam Dipojokkan: Lain Singkil, Lain Tolikara
Kedzaliman terhadap umat Islam juga terjadi di dalam negeri. Pada Selasa, 13 Oktober 2015 terjadi bentrok antar warga Muslim dan Kristen di Desa Suka Makmur, Kecamatan Gunung Meriah, Kabupaten Aceh Singkil, Nanggroe Aceh Darussalam. Akibat bentrok itu jatuh satu korban jiwa dari kalangan Muslim dan empat lainnya luka-luka. Bentrokan itu dipicu oleh pelanggaran kalangan Kristen atas kesepakatan yang pernah dibuat sebelum. Media massa liberal mengangkat isu ini sangat besar. Mereka menuding kaum Muslim tidak memiliki toleransi atas kaum Kristen atau kalangan minoritas. Padahal fakta menunjukkan berbeda.
Benih ketidakharmonisan itu sudah ada 36 tahun lalu, sejak 1979 hingga puncaknya terjadi pada hari Selasa, 13 Oktober 2015. Dua belah pihak telah berikrar pada 13 Oktober 1979 untuk menjaga kerukunan antar umat beragama dan menaati perjanjian yang telah dibuat 11 Juli 1979. Perjanjian berikutnya dilakukan pada 11 Oktober 2001. Isinya, gereja di Aceh Singkil hanya boleh satu unit, yaitu Gereja Kuta Kerangan dengan ukuran 12×24 meter dan tidak bertingkat. Undung-undung (gereja kecil) hanya boleh empat, yaitu: satu gereja di Desa Keras Kecamatan Suro, satu gereja di Desa Napagaluh Kecamatan Danau Paris, dan satu gereja di Desa Suka Marmur Kecamatan Gunung Meriah, dan satu gereja lagi di Desa Lae Gecih Kecamatan Simpang Kanan.
Jika di kemudian hari terdapat gereja atau undung-undung selain tersebut di atas, harus dibongkar oleh umat Kristen sendiri. Tapi kenyataannya, bukannya dibongkar, tapi malah diperbanyak bangunan gereja baru dan direhab. Menurut catatan Forum Umat Islam Aceh Singkil, saat ini sudah 27 unit gereja yang telah berdiri di Aceh Singkil.
Sikap media, aktivis HAM, dan pemerintah terhadap kasus Aceh Singkil ini sangat berbeda dengan kasus di Tolikara, Papua. Bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri 1436 H, kaum Muslim yang sedang melaksanakan shalat Id di Masjid Tolikara diserang oleh ribuan kaum Kristen. Mereka membubarkan kaum Muslim yang sedang beribadah. Tak hanya itu, mereka membakar masjid tersebut serta ruko dan rumah di sekitarnya yang diketahui milik kaum Muslim.
Reaksi pemerintah sangat menyakitkan umat Islam. Kaum Muslim dituduh melakukan pelanggaran dengan suara speaker yang terlalu keras dan tuduhan-tuduhan lainnya. Pada saat yang bersamaan pimpinan Gereja GIDI—yang diduga berada di balik serangan tersebut—justru diundang ke Istana Negara oleh Presiden Jokowi.
Memang ada operator lapangan yang ditangkap aparat keamanan, namun otaknya sampai sekarang dibiarkan bebas. Padahal mereka itu jelas-jelas menulis surat yang berisi ancaman terhadap kaum Muslim. Bahkan menjelang Idul Adha, suara-suara ancaman itu pun masih terdengar di Papua.
Dalam berbagai kasus, terutama berkaitan dengan hubungan antar ummat beragama di Indonesia, Islam tak jarang menjadi sasaran sebagai ajaran intoleran (tidak toleran).
Padahal justru Islamlah yang sangat toleran. Merujuk data Kementerian Agama tahun 2008, jumlah umat Islam di Indonesia mencapai 88,8 persen. Namun, jumlah tempat ibadahnya 64,8 persen saja. Sementara jumlah pemeluk Kristen Protestan nasional mencapai 5,7 persen dengan jumlah tempat peribatan 15,38 persen, dan pemeluk Katholik nasional mencapai 3 persen dengan jumlah tempat peribatan 3,72 persen.
Fakta lain yang menunjukkan bahwa umat Islam di Indonesia sangat toleran adalah membiarkan umat non Muslim bisa hidup dan bergerak leluasa di negeri ini, termasuk dalam mengembangkan agamanya. Non Muslim yang jumlahnya hanya sekitar 15 persen pun kini banyak yang bisa jadi anggota DPR atau pejabat seperti walikota/bupati, gubernur, menteri, bahkan gubernur bank sentral dan panglima TNI. Ini tidak didapati di negara manapun. Adakah negara dimana umat mayoritas membiarkan kaum minoritas bergerak bebas sebebas Indonesia?
Hari Santri Nasional: Pengaburan dan Penguburan Sejarah
Tahun 2015 juga ditandai oleh lahirnya keputusan pemerintah yang menarik. Yakni ditetapkannya tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional. Hal itu tak lepas dari kiprah santri dan para kyai dalam melawan penjajah.Pada 21 Oktober 1945, para konsul NU se-Jawa dan Madura berkumpul di Kantor ANO (Ansor Nahdlatul Oelama) di Jl. Bubutan VI/2 Surabaya. Setelah rapat maraton, pada 22 Oktober dideklarasikan seruan jihad fi sabilillah yang dikenal sebagai Resolusi Jihad. Resolusi Jihad itu diantaranya menyerukan, berperang menolak dan melawan penjajah adalah fardhu ’ain bagi yang berada dalam jarak 94 km dari tempat masuk dan kedudukan musuh (yakni Surabaya). Sementara bagi yang di luar itu maka fardhu kifayah. Juga dinyatakan bahwa siapa yang gugur dalam jihad itu maka ia menjadi syuhada’.
Resolusi Jihad itu mendorong puluhan ribu Muslim bertempur melawan Belanda dengan gagah berani khususnya di Surabaya dan puncaknya pada pertempuran 10 November 1945. Pasukan terdepan yang bertempur kala itu antara lain: Laskar Hizbullah dipimpin KH Zainul Arifin, Laskar Sabilillah dipimpin KH Masykur, Barisan Mujahidin dipimpin KH Wahab Chasbullah, PETA, separuh batalyonnya dipimpin para kyai NU, Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan lainnya.
Penetapan 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional diharapkan bukan sekadar politik pencitraan, tetapi membawa misi untuk mengungkap kebenaran sejarah. Misi ini penting karena pelurusan sejarah akan berpengaruh besar dalam ikhtiar membangun kesadaran publik yang benar pada masa datang.
Hal itu penting,sebab sejarah perjuangan umat Islam telah menjadi sasaran setidaknya tiga ”kejahatan” terhadap sejarah. Pertama: penguburan atau penggelapan sejarah. Salah satu contohnya tentang Resolusi Jihad 22 Oktober 1945. Peristiwa sangat heroik pada 10 November 1945, yang dikenang sebagai Hari Pahlawan, tak lepas dari adanya Resolusi Jihad yang ditandatangani oleh Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945. Peristiwa heroik 10 November di Surabaya itu disebut-sebut dan diperingati sebagai hari Pahlawan. Anehnya, Resolusi Jihad dan peran para kyai, ulama, santri, laskar Hizbullah dan Sabilillah serta umat Islam yang bertempur dengan spirit jihad justru seolah sengaja dikubur atau digelapkan, tidak disebut-sebut.
Kedua: Pengaburan peristiwa sejarah. Bila sejarah mencatat secara jujur, mestinya bukan Boedi Oetomo, melainkan Syarikat Islam (SI)—merupakan pengembangan dari Syarikat Dagang Islam (SDI) yang antara lain dipimpin oleh HOS Cokroaminoto—yanglebih layak dicatat sebagai inspirator kebangkitan nasional melawan penjajah.Sebagai gerakan politik, SI ketika itu benar-benar bersifat nasional, ditandai dengan eksistensinya di lebih dari 18 wilayah di Indonesia, dan dengan tujuan yang sangat jelas, yakni melawan penjajah Belanda. Sebaliknya, Boedi Oetomo sesungguhnya hanya perkumpulan kecil, sangat elitis, di kalangan priyayi Jawa, serta tidak memiliki spirit perlawanan terhadap Belanda.
Ketiga: Pengaburan konteks peristiwa sejarah. Tentu bukan sebuah kebetulan belaka ketika Kebangkitan Nasional ditetapkan berdasarkan pada kelahiran Boedi Oetomo, bukan Syarikat Islam, sebagaimana juga Hari Pendidikan Nasional bukan didasarkan pada kelahiran Muhammadiyah dengan sekolah pertama yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan pada 1912, di mana Ki Hadjar waktu itu banyak belajar. Ki Hadjar sendiri baru mendirikan sekolah Taman Siswa pada 1922. Sebab, bila itu dilakukan maka yang akan mengemuka tentu adalah spirit atau semangat Islam.
Padahal spirit Islam sesungguhnya telah lama menjadi dasar perjuangan kemerdekaan pada masa lalu. Peperangan selama abad ke-19 melawan Belanda tak lain atas dorongan semangat jihad melawan penjajah. Jelas sekali ada usaha sistematis untuk meminggirkan bahkan menghilangkan peran Islam dalam sejarah perjuangan kemerdekaan serta menghilangkan spirit Islam dari wajah sejarah bangsa dan negara ini.
Gonjang Ganjing Rupiah
Di tahun 2015 nilai tukar rupiah terhadap dolar kembali terpuruk hingga menembus angka Rp 14.200 per dolar Amerika Serikat, pada awal September lalu. Ini merupakan level terendah sejak krisis 1998 silam. Fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar, merupakan konsekuensi logis dari sistem ekonomi kapitalis yang menjadikan uang sebagai komoditas sehingga mengikuti hukum permintaan dan penawaran.
Tingginya permintaan terhadap dolar secara internal disebabkan oleh beberapa faktor: Pertama, defisit transaksi berjalan, karena impor lebih banyak dari ekspor. Kondisi ini terjadi sejak tahun 2012 sampai quartal kedua 2015. Salah satu penyumbang terbesar terjadinya defisit transaksi berjalan adalah impor yang dilakukan Pertamina untuk memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri yang nilainya antara 70- 80 juta dolar per hari. Sementara dari sisi ekspor, komoditas barang-barang yang diekspor sangat minim nilai tambahnya. Pada saat yang sama harga jual barang-barang yang selama ini menjadi komoditas andalan untuk menghasilkan devisa seperti batubara, minyak sawit, dan karet menurun signifikan.
Kedua, capital outflow yaitu meningkatnya aliran keluar modal asing dari dalam negeri terutama yang berasal dari pasar saham dan dana obligasi. Ini terlihat dengan menurunnya IHSG secara tajam sebesar 172,22 poin (3,97 persen) ke level 4.163,73 per 23 agustus, bahkan sempat menyentuh posisi terendah pada level 4.111,11.
Ketiga, adalah politik anggaran negara yang menjadikan utang luar negeri sebagai salah satu sumber pembiayaan APBN. Posisi utang luar negeri pada akhir triwulan II-2015 tercatat sebesar USD304,3 miliar, terdiri dari Utang Luar Negeri sektor publik sebesar USD134,6 miliar (44,2% dari total Utang Luar Negeri) dan Utang Luar Negeri sektor swasta sebesar USD169,7 miliar (55,8% dari total Utang Luar Negeri). Sedangkan sebagian besar utang luar negeri tersebut sekitar 217,123 miliar mesti dibayarkan dalam bentuk dolar AS.
Keempat, kehati-hatian Bank Indonesia dalam melakukan intervensi valas. Bank indonesia menahan diri dari intervensi valas sehingga cadangan devisa tak terganggu bahkan mengalami kenaikan akibatnya rupiah terus melemah.
Sementara secara ekternal, faktor yang membuat permintaan terhadap dolar tinggi sehingga membuat pelemahan nilai rupah adalah: Pertama, kebijakan devaluasi yuan. Dalam kondisi ekonomi dunia yang tidak menentu tiba-tiba Bank Sentral Tiongkok (People’s Bank of China–PBC) melakukan devaluasi Yuan terhadap dolar sehingga mengguncang pasar valuta asing dunia dengan meningkatkan permintaan terhadap dolar. Efek domino dari devaluasi Yuan telah membuat penguatan nilai tukar dolar AS sehingga membuat banyak mata uang negara di Asia melemah, termasuk rupiah.
Kedua, isu keberhasilan pemulihan ekonomi Amerika. Ketika Amerika Serikat dihadapkan pada krisis ekonomi tahun 2008, pemerintahan Amerika melalui FED atau Bank Sentral Amerika melakukan pencetakan dolar untuk membeli obligasi sehingga dolar mengalir ke pasar modal di beberapa negara termasuk Indonesia, akan tetapi mulai tahun 2013 kondisi ekonomi Amerika Serikat diperkirakan membaik, FED atau bank sentral Amerika pada saat itu merencanakan menaikkan suku bunga FED dan melakukan penjualan obligasi untuk menarik dana dari pasar modal yang ada di dunia.
Ketidakstabilan nilai rupiah ini tentu sangat berpengaruh kepada kestabilan ekonomi masyarakat. Masyarakat yang sudah susah hidupnya, makin tertekan oleh goncang-ganjing nilai rupiah ini.
Utang, Strategi Cina Cengkram Indonesia
Tidak berbeda dengan rezim sebelumnya, pemerintah Jokowi-JK pun menerapkan kebijakan ekonomi yang bergantung pada utang luar negeri baik melalui pembiayaan APBN maupun melalui BUMN. Pada 16 September 2015 lalu, tiga bank milik negara yaitu Bank Mandiri, BRI dan BNI, mendapatkan pinjaman senilai total 3 miliar dolar AS dari China Development Bank (CDB). Masing-masing bank BUMN tersebut, menerima pinjaman sebesar satu miliar dolar AS yang 30 persennya dalam mata uang Renminbi dengan jangka waktu 10 tahun. Tingkat bunga pinjaman tersebut sebesar 3,4 persen untuk mata uang dolar AS dan 6,7 persen untuk mata uang Renminbi. Sebagian besar utang tersebut nantinya akan digunakan untuk membiayai infrastruktur.
Selain CDB, bank Cina lainnya, Industrial and Commercial Bank of China (ICBC) Indonesia juga memberikan pinjaman kepada BTN senilai 5 miliar yuan atau sekitar Rp10 triliun untuk membiayai perumahan dan infrastruktur. ICBC juga memberikan utang senilai 500 juta dolar AS kepada Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (Eximbank), untuk mendorong perdagangan luar negeri dan pembangunan infrastruktur di Indonesia (Chinadaily , 25/9/15). Sebelumnya, pada bulan Juni, tujuh BUMN yaitu: Wijaya Karya, Adhi Karya, Pelindo I & II, Angkasa Pura, Bukit Asam dan Aneka Tambang juga telah mendapatkan komitmen utang dari CDB.
Pemberian utang tersebut sejatinya merupakan realisasi komitmen Cina untuk memberikan utang kepada Indonesia. Di sela-sela pelaksanaan Konferensi Asia Afrika di Jakarta (24/4/15) pemerintah yang diwakili oleh Menteri BUMN, Rini Sumarno, telah menandatangai MoU dengan pemerintah Cina melalui CDBdan ICBC dimana kedua bank Cina tersebut akan memberikan pinjaman senilai 50 miliar dolar AS atau setara dengan Rp 700 triliun dengan kurs 14 ribu. Utang tersebut akan digunakan untuk pembangunan proyek infrastruktur nasional seperti pembangkit listrik, bandara, kereta cepat dan kereta api ringan (light rail transit) dan kereta cepat. Pemberian utang Cina itu tak lepas dari besarnya cadangan devisa negara tersebut yang mencapai US$3,5 triliun. Bandingkan dengan cadangan Indonesia yang pada periode yang sama hanya sebesar US$101 miliar.
Total cadangan devisa tersebut menjadi modal yang cukup besar untuk membangun kekuatan politik dan ekonomi negara itu. Salah satu strategi yang dilakukan oleh negeri Panda itu adalah melakukan ekspansi investasi di berbagai negara. Tujuannya antara lain agar pasokan bahan baku dan energi negara itu tetap terjamin dalam jangka panjang dan pasar ekspornya terus berkembang.
Cina kemudian secara aktif melakukan investasi dan memberikan pinjaman terutama di negara-negara berkembang yang kaya sumber daya alam seperti di Afrika, Amerika Latin dan Asia. Salah satu strategi yang ditempu negara itu adalah memberikan bantuan hibah dan utang, mirip dengan AS.
Pepatah ‘tidak ada makan siang gratis’ tentu saja berlaku pada utang-utang yang diberikan Cina. Pinjaman yang diberikan diikat dengan berbagai syarat seperti adanya jaminan dalam bentuk aset, adanya imbal hasil seperti ekspor komoditas tertentu ke Cina hingga kewajiban negara pengutang agar pengadaan peralatan dan jasa teknis harus diimpor dari Cina. Mengutip riset yang diterbitkan oleh Rand Corporation, China’s Foreign Aid and Government-Sponsored Investment Activities, disebutkan bahwa utang yang diberikan oleh Cina mensyaratkan minimal 50 persen dari pinjaman tersebut terkait dengan pembelian barang dari Cina.
Tidak mengherankan jika dalam berbagai proyek pengembangan infrastruktur di negara ini kehadiran dan peran perusahaan-perusahaan Cina menjadi sangat dominan mulai dari perencanaan, pengadaan barang dan jasa hingga konstruksi (engineering, procurement, construction). Inilah cengkeraman baru ala Cina, penjajah dari Timur. [syahid/voa-islam.com]
Lutfi Affandi (Humas HTI Jabar)