Serangan Paris, Membidik Islam
Jumat (13/11/2015) bom mengguncang Paris. Tak tanggung-tanggung, serangan dilakukan di 6 titik, secara terpisah, pada waktu yang bersamaan. Korbannya 129 tewas, dan 300 luka-luka. Menariknya, pelaku bom bunuh diri meninggalkan jejak, paspor berkebangsaan Suriah. Tak lama setelah insiden ini, PM Prancis, Manuel Valls (13/11/2015) langsung mengeluarkan pernyataan, bahwa serangan ini diatur dari Suriah. Dan itu dikuatkan dengan klaim ISIS sabagai pihak yang melakukan serangan ini.
Peristiwa ini terjadi dua hari sebelum KTT G-20 di Antalya, Turki, Ahad (15/11). Di sela-sela KTT G-20, Presiden AS Barack Obama bertemu PM Turki, Erdogan. Setelah pertemuan itu, Obama menyatakan, “Kedua pemimpin sepakat untuk menunjukkan solidaritas kepada Prancis dalam melacak pelaku serangan di Paris dan akan meningkatkan kekuatan untuk menumpas jaringan jihadis tersebut.” Hal yang sama dilakukan Obama dengan Raja Salman dari Kerajaan Saudi. Seorang pejabat AS, seperti dikutip dari AFP (15/11) menyatakan, pembicaraan dengan Raja Salman meliputi klaim ISIS di balik serangan di Paris.
Obama juga melakukan pembicaan dengan Presiden Rusia, Vladimir Putin, mengenai masalah yang sama. Pihak Gedung Putih mengatakan, kedua pemimpin itu sepakat, bahwa konflik di Suriah mendesak dicarikan jalar keluar menyusul serangkaian serangan Paris. Dua pemimpin negara-negara besar itu setuju perlunya gencatan senjata dan transisi politik di Suriah. Obama menyambut segala usaha untuk menentang ISIS dan menyerukan kepada Rusia untuk memusatkan perhatian pada kelompok itu dalam operasinya di Suriah. Namun seorang pejabat Rusia mengatakan negaranya dan Amerika masih mempunyai perbedaan tentang taktik yang seharusnya digunakan dalam memerangi ISIS (BBC, 16/11).
Setelah Serangan Paris ini, 12 pesawat tempur Prancis menyerang Raqa, Suriah. Dikutip dari AFP, Senin (15/11/2015) ini merupakan serangan udara pertama Prancis melawan ISIS setelah aksi teror kelompok itu di Paris.
Dari berbagai fakta yang janggal dan manuver politik yang ditampilkan, tidak salah jika serangan Paris ini merupakan Operasi False Flag (Bendera Palsu). Operasi False Flag adalah operasi rahasia yang dilakukan oleh pemerintah, perusahaan atau organisasi, yang dirancang untuk muncul seolah-olah ini dilakukan oleh entitas lain, untuk membenarkan menuju ke arah peperangan melawan orang-orang yang telah dituduh salah tersebut.
Pertama, terjadinya serangan di enam titik, serentak dan waktu yang sama, dilakukan di negara sekaliber Prancis, dan intelijen negara itu tidak bisa mengendusnya, tentu aneh, bahkan aib. Kedua, pelaku bom bunuh diri, yang potongan jarinya ditemukan, diketahui bernama Omar Ismail Mostefai (29 tahun), telah diinformasikan oleh Kepolisian Turki kepada Kepolisian Prancis dua kali, pada Desember 2014 dan Juni 2015, tapi tak ditanggapi. Mostefai yang dilahirkan di kawasan miskin Paris, Courcouronnes, 21 November 1985, pernah didakwa atas delapan kejahatan ringan antara tahun 2004 dan 2010, namun tidak dipenjara (AFP, 16/11). Ketiga, terjadi dua hari menjelang KTT G-20 di Antalya, Turki, juga bukan momentum kebetulan. Keempat, Senin (16/11) sebanyak 12 pesawat tempur, termasuk 10 pengebom, menjatuhkan 20 bom ke target di Raqqa, Suriah. Kelima, Prancis pun langsung mengirim Kapal induk Charles de Gaulle dikerahkan ke Mediterania Timur untuk meningkatkan operasi di Suriah.
Semuanya ini sudah cukup untuk membuktikan, apa, siapa dan motif serangan Paris yang sesungguhnya. Siapapun pelakunya, serangan Paris ini jelas telah menjadi justifikasi kebijakan Prancis untuk meningkatkan serangannya ke Suriah. Ini seperti cara AS ketika menginvasi Irak dan Afganistan, setelah Serangan WTC 9/11/2001. Serangan Paris ini juga digunakan untuk menggalang dukungan Eropa, dan negara-negara G-20, terhadap rencana AS dan sekutunya di Suriah. Bagi Perancis, ini merupakan momentum untuk meraih lebih banyak keuntungan di Suriah dan seluruh dunia, sebagaimana yang diraih AS di Irak dan Afganistan, pasca 9/11.
Sebagaimana diketahui, dalam Proposal De Mistura—buatan AS, Rusia, KSA, Iran, Suriah, Irak dan terakhir Turki berada dalam satu front AS. Sedangkan Prancis, Jerman, Inggris dan negara Eropa lainnya berada dalam satu front. Meski awalnya, mereka menginginkan Bashar Asad segera ditumbangkan, bukan untuk mendukung Revolusi Syam, tetapi untuk mengakhiri kekuasaan AS di Suriah. Namun, sebelum Serangan Perancis (Jum’at, 13/11), mereka terpaksa mengikuti rencana AS.
Meski front AS dan Eropa sepakat dalam satu hal, bahwa Revolusi Syam adalah ancaman bagi mereka. Karena keberhasilan revolusi ini berarti kembalinya Khilafah Rasyidah ‘ala Minhaj Nubuwwah, bukan Khilafah ‘ala ISIS. Hanya saja, front Eropa ingin memanfaatkan momentum ini untuk melenyapkan dominasi AS dan antek-anteknya di Suriah. Pada saat yang sama, jika ini tidak berhasil, mereka tetap mempunyai musuh bersama, yaitu ancaman Revolusi Syam, dengan tegaknya Khilafah Rasyidah ‘ala Minhaj Nubuwwah.
Karena itu, Serangan Perancis (Jum’at, 13/11) yang diikuti dengan invasi Prancis ke Suriah akan dijadikan sebagai amunisi bagi Prancis dan Eropa untuk: pertama, menjalankan rencana mereka sendiri, dan keluar dari rencana AS. Kedua, jika ini tidak berhasil, maka momentum ini akan digunakan untuk mengaborsi Revolusi Suriah, melalui tekanan bertubi-tubi, hingga para Mujahidin itu menyerah.
Pilkada Serentak Tak Beri Harapan
Pada 9 Desember 2015 lalu diselenggarakan Pilkadaserentak di 269 daerah. Berdasarkan data di situs KPU, Pilkada serentak diikuti total 830 pasangan calon (paslon). Sebanyak 20 paslon di 9 propinsi, 698 paslon di 224 kabupaten dan 112 paslon di 36 Kota.Mendagri Tjahjo Kumolo dalam Rakornas Persiapan Pilkada Serentak 2015 di Jakarta (4/5) menyatakan, anggaran pilkada serentak mencapai Rp 6,745 triliun untuk 269 daerah. Angka itu, lebih mahal sekitar 30 persen dari anggaran Pilkada sebelumnya. Menurutnya, pilkada serentak sesuai dengan tujuannya adalah untuk efektifitas dan efisiensi. Namun dalam kenyataannya kata efisien belum bisa dilaksanakan. Justru pilkada serentak jauh lebih mahal.
Pilkada serentak juga membawa cacat besar berupa defisit legitimasi yang dilegalkan. Sesuai aturan, ambang batas keterpilihan dalam Pilkada adalah 30 persen. Artinya pasangan calon yang mendapat suara minimal 30 persen pada ranking tertinggi, bisa disahkan sebagai pemenang Pilkada. Putaran kedua hanya akan dilakukan jika tak satu pun calon meraih suara sah 30 persen ke atas. Ketentuan ini menyimpang dari rumus 50 persen + 1 yang menjadi acuan universal demokrasi tentang representasi mayoritas yang sah. Hasilnya, pemerintah daerah dengan suara mayoritas tapi dukungan minoritas. Aneh, demokrasi mengklaim pemerintahan suara mayoritas, tapi pemimpin yang dihasilkan minus legitimasi. Ironisnya minus legitimasi itu dilegalkan.
Kualitas pemimpin yang ditawarkan dalam Pilkada serentak ini tidak jauh beda dengan pilkada sebelumnya. Pasalnya, lebih 170 paslon adalah petahana. Yang lain kebanyakan berasal dari birokrasi seperti Sekda atau politisi di DPR, DPRD I atau DPRD II dan PNS.
Pilkada serentak tak bisa memupus perilaku korupsi. Sebab dua pemicu perilaku korupsi masih melekat kuat dalam proses Pilkada serentak. Menurut Gamawan Fauzi mantan Mendagri dalam disertasi doktoralnya di IPDN, dua pemicu perilaku korupsi adalah: pertama, besarnya biaya calon dalam proses ikutserta dalam pilkada langsung. Kedua, gagalnya sistem rekrutmen calon kepala dan wakil kepala daerah di parpol yang tidak menjadikan integritas dan kompetensi sebagai dasar.
Biaya tinggi setidaknya karena adanya ongkos perahu atau mahar politik dan yang lebih besar lagi adalah biaya kampanye dan penggalangan dukungan dan suara yang sudah dilakukan jauh sebelum proses resmi pilkada. Total biaya yang dikeluarkan calon bisa mencapai 10 miliar bahkan kebanyakan lebih dari itu. Biaya tinggi itu mustahil kembali dengan pendapatan resmi kepala daerah. Sesuai Keppres No.68 Th. 2001 dan Keppres No.59 Th. 2003, pendapatan tiap bulan berupa gaji dan tunjangan untuk Gubernur Rp 8,4 juta, Wagub Rp 6,72 juta. Dan sesuai Keppres No.68 Th. 2011, tiap bulan pendapatan Bupati/Wali Kota Rp 5,88 juta dan untuk Wakil Wali Kota/Wakil Bupati Rp 5,04 juta.
Menurut Yuna Farhan dari FITRA (Viva.co.id, 12/2/2013), sesuai PP No. 69 Th. 2010, kepala daerah juga memperoleh insentif dari pemungutan pajak dan retribusi daerah. Besarnya 6 sampai 10 kali dari gaji plus tunjangan, tergantung jumlah pendapatan pajak dan retribusi daerah itu. Untuk daerah yang miskin Pajak dan Reribusi Daerahnya, minimal penghasilan bulanan seorang gubernur sebelum dipotong pajak Rp58,8 juta dan bupati/walikota Rp41,1 juta.
Pilkada serentak hanya memberikan pepesan kosong. Hasil Pilkada Serentak pada akhirnya tak beda dari pilkada sebelumnya. Pertama, oligarkhi kekuasaan tetap dominan. Kekuasaan tetap dikendalikan oleh sekelompok kecil elit daerah. Kedua, korupsi, suap, penyalahgunaan wewenang, memperdagangkan kekuasaan dan wewenang, serta obral perijinan akan tetap marak. Ketiga, perselingkuhan penguasa pengusaha akan terus berlanjut. Pengusaha memodali paslon. Imbalannya, proyek-proyek akan diserahkan kepada pengusaha itu melalui “pengaturan” tender, meloloskan proyek-proyek yang disodorkan oleh pengusaha atau cara lainnya.Keempat, pemimpin daerah akan lebih mengutamakan kepentingan dirinya, kelompok, partai dan pemodalnya. Sementara kepentingan dan kemaslahatan rakyat akan dipinggirkan.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Menilik berbagai persoalan yang timbul di sepanjang tahun 2015 sebagaimana diuraikan diatas, dapat disimpulkan bahwa:
Selesai. [syahid/voa-islam.com]
Penulis: Luthfi Affandi (Humas HTI Jabar)