Oleh: Khairun Nisa Dewi Nur Rahma (Aktivis Muslimah Kampus)
Sahabat VOA-Islam...
Statement Jokowi sebagaimana yang disampaikan ulang oleh Tim Komunikasi Presiden, Ari Dwipayana pada Rapat Kerja Nasional I Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Periode Tahun 2015-2020 di Hall D-2 JI Expo Kemayoran Jakarta, Minggu, 10 Januari 2016, "Tidak Ada Kata Tidak Berani" adalah bentuk pengaburan kondisi sebenarnya khususnya bidang ekonomi dan politik yang sedang dan akan terjadi.
Meski harus diakui memang Jokowi telah mengambil langkah berani untuk beberapa hal, namun di sisi lain ternyata tidak berani mengambil kebijakan yang justru sangat penting bagi negeri ini. Berikut yang diklaim sebagai kebijakan berani oleh Jokowi : 1) Menenggelamkan 107 kapal nelayan 2) Hukuman mati 14 orang kasus narkoba 3) Dibekukannya Petral. Kebijakan berani Jokowi itu digunakan sebagai basis legitimasi meyakinkan rakyat untuk berani menghadapi persaingan MEA. Dimana Indonesia menurut Jokowi harus memiliki haluan berupa Rencana Pembangunan Nasional Semesta Berencana sebagai arah kemana Indonesia berlabuh dalam jangka waktu pendek, menengah dan panjang.
Alasan lain kenapa rakyat Indonesia harus berani menghadapi MEA, masih menurut Jokowi karena kepala negara lain, takut dengan limpahan tenaga kerja dan barang dari Indonesia. Jadi tidak ada alasan untuk takut karena negara lain juga takut. Di akhir sambutannya Jokowi melihat problem yang dihadapi Indonesia terkait dengan persiapan menghadapi MEA adalah berkaitan dengan pembangunan infrastruktur yang menyebabkan problem ketidakseimbangan atau tidak meratanya hasil-hasil pembangunan hingga sampai ke pelosok-pelosok desa atau daerah-daerah terpencil dan perbatasan. Sehingga inilah yang menjadi prioritas pembangunan nasional dengan pemberian porsi besar pada pos anggaran APBN.
Alokasi anggaran infrastruktur pada APBN 2016 mencapai Rp 314 triliun. Jokowi mensinyalir bahwa pembangunan infrastruktur baik darat, air, dan udara akan memperkuat daya saing Indonesia menghadapi MEA. Di sisi lain dalam kerangka pemerataan tersebut Jokowi juga akan memperkuat desa sebagai entitas politik dan ekonomi terdepan dalam pembangunan. Oleh karenanya pembangunan desapun juga akan mendapatkan prioritas pos anggaran APBN yang besar pula. Dana desa akan ditingkatkan dari Rp. 20,7 Triliun pada tahun 2015 menjadi Rp. 46,98 Triliun tahun 2016. Dan akan didorong dibukanya lapangan kerja secara luas di tingkat desa.
Lebih jauh Jokowi juga menjelaskan bahwa pembangunan infrastruktur darat dan air khususnya terutama di daerah perbatasan akan memudahkan akses sirkulasi barang produksi dari Indonesia. Statement Jokowi pada Rakernas PDIP tersebut menyisakan beberapa pertanyaan antara lain bagaimana kekuatan daya saing sebenarnya yang dimiliki Indonesia. Untuk apa dan siapa sebenarnya pembangunan infrastruktur itu dilakukan. Benarkah untuk meningkatkan daya saing tenaga kerja Indonesia.
Deskripsi seputar kronologis historis, untuk tujuan apa dan siapa sebenarnya infrastruktur dalam kerangka menghadapi MEA dipresentasikan secara baik oleh Bonny Setiyawan (Pendiri dan Mantan Direktur dari Institute Global Justice-IGJ). Menurut Bonny, arti penting dari ASEAN Summit tahun 2011 yang diketuai Indonesia secara faktual adalah mendorong dan memfokuskan pada pelaksanaan rantai pasokan lewat program konektivitas ASEAN dan pembangunan koridor-koridor ekonomi di seluruh pelosok Negara-negara ASEAN. ASEAN terintegrasi penuh dalam Rantai Pasokan Kapitalisme Global.
ASEAN sendiri menjadi penting setelah merubah dirinya menjadi sebuah rezim Komunitas Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community-AEC) sejak 2007 serta mengadakan FTA-FTA bilateral dengan mitra dagang ASEAN. Targetnya adalah menjadi sebuah blok ekonomi yang efektif melalui yang disebutnya “Basis Produksi dan Pasar Tunggal” (Single Market and Production Base) pada tahun 2015. Didalam AEC ini ada AFTA yang sekarang menjadi ATIGA (ASEAN Trade in Goods Agreement), AFAS-7 (ASEAN Framework Agreement on Services package-7) dan ACIA (ASEAN Comprehensive Investment Agreement).
Di tingkat FTA sudah disepakati: ASEAN-China FTA, ASEAN-Korea FTA, ASEAN-Jepang FTA, ASEAN-Australia/NZ FTA, dan ASEAN-India FTA; serta masih akan diadakan FTA dengan Uni-Eropa, FTA dengan AS, dan FTA dengan EFTA (European Free Trade Area) yang non-Uni-Eropa. Untuk mencapai itu, maka dibuatlah AEC Blueprint yang menyatakan bahwa.
“A single market for goods (and services) will also facilitate the development of production networks in the region and enhance ASEAN’s capacity to serve as a global production centre or as a part of the global supply chain”
(sebuah pasar tunggal bagi barang-barang (dan jasa-jasa) juga akan memfasilitasi pengembangan jaringan produksi di dalam kawasan dan meningkatkan kapasitas ASEAN untuk melayani baik sebagai pusat produksi global maupun sebagai bagian dari rantai pasokan global). Dengan ini resmi ASEAN masuk terintegrasi ke dalam sebuah sistem produksi kapitalisme global baru yang bernama ‘Rantai Pasokan Global’ (Global Supply Chain). ASEAN menjadi pemasok berbagai bahan mentah dan bagian-bagian dari produksi serta mengintegrasikan diri dalam rantai yang panjang dan kompleks dari pasar barang dan jasa global.
Inilah arti sebenarnya dari “Single Market and Production Base” tersebut. Untuk itu pada Oktober 2010 ditetapkan pula sebuah sistem pendukung yang dinamakan “Master Plan on ASEAN Connectivity”. Konektivitas ASEAN ini bertumpu pada konsep baru yang dikenal sebagai ‘Koridor Ekonomi’ (Economic Corridor). Koridor ekonomi merupakan basis bagi pembangunan proyek-proyek infrastruktur (untuk tujuan kelancaran transportasi dan logistik) memakai pembiayaan publik, yang selanjutnya menjadi fasilitas dan prasarana bagi investor di bidang sumberdaya alam dan komoditas pertanian di daerah-daerah baru yang sebelumnya belum terjangkau dan belum dibuka.
Koridor-koridor ekonomi telah dikembangkan di bawah Program Kerjasama Ekonomi Sub-Wilayah Mekong Besar (Greater Mekong Sub-region Economic Cooperation Program/GMS-ECP). Sampai saat ini telah ditetapkan tiga koridor ekonomi yang terdiri dari: (1) Koridor Ekonomi Timur-Barat (East-West Economic Corridor/EWEC); (2) Koridor Ekonomi Utara-Selatan (North-South Economic Corridor/NSEC); dan (3) Koridor Ekonomi bagian Selatan (Southern Economic Corridor/SEC), yang kemudian ditambah lagi dengan dua sub-koridor, yaitu: (a) Sub-Koridor Pantai bagian Selatan (Southern Coastal sub-corridor); dan (b) Sub-Koridor Bagian Utara (Northern sub-corridor).
Apa yang akan terjadi di ASEAN Summit ke-19 ini adalah pengabsahan dari Masterplan, koridor ekonomi dan terutama integrasi ke dalam Rantai Pasokan Global (RPG). RPG adalah sistem baru kapitalisme global yang mengintegrasikan seluruh produksi barang dan jasa dunia ke dalam satu mata rantai yang kompleks yang melibatkan TNCs dan Kontraktor Internasional dengan ratusan jenis subkontraktor dan supplier (pemasok) dari seluruh dunia. Karena itu tidak mengherankan bahwa pada saat yang bersamaan diadakan “ASEAN Business and Investment Summit”, karena memang ASEAN dibuat untuk memfasilitasi kepentingan-kepentingan modal dan bisnis semata, bukan untuk kepentingan rakyatnya. KTT Bisnis dan Investasi ini akan menghubungkan para pejabat tinggi dengan kaum pebisnis global untuk memasarkan dan berinvestasi dalam berbagai mega-proyek infrastruktur. Juga menegaskan dijalankannya perdagangan bebas sepenuhnya dalam rangka memfasilitasi operasi jaringan rantai pasokan dari sejak tingkat global hingga ke pelosok-pelosok ASEAN. Ini sebenarnya fungsi utama dari ASEAN Summit kali ini.
Indonesia sebagai Pemasok Bahan Mentah dan Komoditas
Rantai Pasokan kini diadopsi oleh semua Negara ASEAN dan tentu saja Indonesia. Dan lagi-lagi Indonesia ada di dalamnya hanya sebagai pemasok bahan mentah primer (hasil tambang – migas, mineral dan batu bara - dan komoditas primer).
Adopsi tersebut dilakukan oleh pemerintah Indonesia lewat ditetapkannya “Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia” (MP3EI) sejak Mei 2011. Dengan cetak biru tersebut maka ditetapkan enam koridor ekonomi, yaitu (1) Koridor Sumatera; (2) Koridor Jawa; (3) Koridor Bali-Nusa Tenggara; (4) Koridor Kalimantan; (5) Koridor Sulawesi; (6) Koridor Papua-Maluku.
Intinya MP3EI ini memposisikan perekonomian Indonesia sebagai pemasok bahan mentah dan komoditas saja dalam sistem rantai pasokan. Hanya Jawa sebagai koridor “pendorong industri dan jasa nasional”. Lima koridor lainnya ditetapkan sebagai pusat produksi dan pengolahan hasil komoditas pertanian, tambang dan enerji.
Prolog dari proses ini adalah lahirnya orang-orang super-kaya Indonesia yang masuk ke dalam deretan orang kaya dunia. Indonesia tahun ini mencatat pertambahan tercepat orang-orang super-kaya di ASEAN. Dan jualan orang-orang superkaya tersebut adalah tambang (terutama batubara) dan komoditas (terutama minyak sawit). Di lain pihak rakyat yang ada di dalam kawasan tambang serta rakyat peserta kebun sawit tetap miskin dan tertindas, karena dasar pasokan adalah dari biaya buruh/pekerja murah. Belum lagi pengrusakan lingkungan dan ekologis yang dihasilkannya, serta pengambilan tanah rakyat/masyarakat asli.
Apa arti sesungguhnya penyiapan daya saing menghadapi MEA antara lain :
Pertama, hampir semua daerah di Indonesia kecuali Jawa sebagai koridor ekonomi yang menyangga suplai bahan mentah, komoditas, enerji dan tambang ke luar negeri. Ingat bahwa Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, Sumatera, Papua dan Kalimantan adalah titik-titik sumber daya alam yang sangat melimpah dengan beragam kekayaan hayati dan hewani. Meski sebetulnya Jawa sebagai koridor ekonomi penopang industri dan tenaga kerja juga memiliki SDA yang tidak kalah melimpah dengan Luar Jawa. Sebaliknya dengan potensi populasi sekitar 240 juta, Indonesia menjadi pasar potensi barang produksi barang jadi dan jasa yang besar. Di sisi lain industri strategis yang dikelola oleh BUMN selain diprivatisasi juga direduksi peran strategisnya dalam pengelolaan SDA tambang dan energi dengan legitimasi UUD dan Undang-undang yang terliberalisasi. Alhasil seluruh pengelolaan bahan mentah, tambang dan energi dikelola oleh Asing dan Aseng termasuk pembangunan berikut pengelolaan infrastruktur di seluruh wilayah di luar Jawa maupun Jawa dan hasilnya dikeruk dan dibawa lari ke luar negeri dengan harga murah atas nama sebagai pilar penyangga koridor ekonomi kapitalisasi global.
Kedua, sesungguhnya pembangunan infrastruktur yang disebut oleh Jokowi untuk meningkatkan daya saing menghadapi MEA pada dasarnya hanyalah memfasilitasi kepentingan bisnis para elit penguasa dan pengusaha negeri ini dengan para kapitalis dari korporasi global dengan penguasaan aset dan tekanan ekonomi atas pemberian upah tenaga kerja yang murah. Implementasi MEA hanya akan menambah deretan orang-orang kaya baru di Indonesia yang bersindikasi dengan para kapitalis global.
Ketiga, kesiapan tenaga kerja dalam negeri tidak gayung bersambut dengan iklim kompetisi MEA yang sangat ketat. Apalagi penyiapan kompetensi kerja terhadap tenaga kerja nasional menyisakan banyak persoalan antara lain : 1) Tidak semua bidang atau sektor yang sudah menyiapkan kompetensi kerja 2) Jumlah angkatan kerja Indonesia terbesar adalah dari golongan pendidikan setingkat SLA sederajat 3) Referensi standart kompetensi kerja nasional mengikuti standart kompetensi Australia sehingga memiliki kecenderungan ketergantungan intelektual dan politis yang tinggi di sebagaian besar bidang atau sektor 4) Tidak sinkronnya antara arah target kurikulum pendidikan menengah dan tinggi dengan kebutuhan kompetensi kerja industri di beberapa program studi 5) Ironisnya tenaga kerja dari luar negeri yang memperebutkan pasar tenaga kerja di Indonesia dari kalangan trampil, terdidik maupun ekspert. Sehingga yang dimaksud kompetisi tenaga kerja menghadapi MEA adalah melimpahnya tenaga ekspert dari luar negeri sebaliknya dikirimnya buruh ke luar negeri.
Keempat, hakekat kebijakan mengalihkan subsidi BBM oleh Jokowi beberapa waktu yang lalu kepada pembangunan infrastruktur adalah menggunakan pos pembiayaan publik (alias duit rakyat) untuk memuluskan lancarnya transportasi dan logistik dalam kerangka mewujudkan koridor ekonomi sebagaimana konsep di dalam MP3EI. Dengan kata lain duit dari rakyat untuk pembangunan infrastruktur hanya untuk kepentingan para kapitalis nasional maupun global yang bersindikasi dengan para penguasa yang memberikan fasilitasi regulasinya. Rakyat tetap ditekan melalu pajak, pencabutan subsidi energi, sosial dan lain-lain. Ditambah dengan tekanan ekonomi menjadi tenaga kerja murah sebagai basis penguatan produksi.
Lalu apa sesungguhnya arti menyiapkan daya saing menghadapi MEA. Di balik Jokowi tidak berani menolak kebijakan kapitalisasi global melalui pintu MEA atas nama keniscayaan global. Adalah ketidakberdayaan, kemiskinan, dan kebodohan struktural rakyat melalui berbagai kebijakan negara.
Sebaliknya lahirnya para kapitalis baru di kawasan ASEAN termasuk Indonesia yang bersindikasi dengan para penguasa sebagai mitranya yang tidak semakin membuat perekonomian rakyat bertambah baik karena logika pertumbuhan ekonomi tinggi ala Kapitalisme Global tidak mampu merealisasikan distribusi pemerataan dan keadilan ekonomi rakyat. Inilah sebenarnya hakekat fakta begitu kuatnya cengkeraman Neo Liberalisme dan Neo Imperialisme di Indonesia. Wallahu a'lam bis showab. [syahid/voa-islam.com]