View Full Version
Senin, 18 Jan 2016

Gafatar: Buah Liberalisasi Agama

Sahabat VOA-Islam...

Beberapa hari yang lalu Indonesia dihebohkan dengan dengan sebuah organisasi yang bernama Gerakan Fajar Nusantara. Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) mencuat setelah dokter Rica Tri Handayani menghilang dan diduga pernah mengikuti organisasi ini.

Dokter Rica bersama anaknya dilaporkan hilang sejak 30 Desember 2015 dan ditemukan di Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat  (Beritagar.id 11/1/2016)

Menurut ketua DPD Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) Provinsi Sumatera Barat Eko Riswanto mengatakan, Gafatar muncul akibat masyarakat tidak percaya lagi dengan pemerintah yang tidak bisa memberikan teladan (Sindonews.com 15/1/2016).

Adapun ciri – cirri ajaran ini adalah tidak wajib sholat lima waktu, tidak wajib puasa ramadhan, syahadat mereka berbeda, yang bukan kelompok mereka dianggap kafir. (kabarmakkah.com).

Sudah menjadi fakta yang lumrah ketika organisasi yang mengatasnamakan suatu keyakinan tertentu menjalar di bumi pertiwi. Mulai dari yang mengatasnamakan Islam sampai keyakinan yang  menggabungkan beberapa agama.  Sebenarnya Gafatar hanya salahsatu contoh dari sekian contoh kebebasan beragama yang ada di Indonesia.  Ketika Indonesia melegalkan hanya ada 6 agama yang diakui, namun aneh ketika membiarkan selain 6 agama itu bebas dijadikan keyakinan oleh masyarakatnya.

Sebelumnya masih banyak contoh lain seperti  Ahmadiyah,  Lia Eiden dan keyakinan lainnya yang telah meluas jaringannya di Indonesia tapi hal ini tidak mendapat respon serius dari pemerintah untuk menghentikan praktik keagamaan tersebut. Seperti Ahmadiyah yang notabene saat ini masih dietrapkan ajarannya oleh masyarakat Indonesia yang mengikutinya.  Bukan hanya menjalarnya keyakinan-keyakinan yang tidak diakui di Indonesia, masyarakt Indonesia pun bebas untuk keluar dari agama yang diyakininya (murtad). Wajar jika banyak warga Indonesia dari mulai jajaran artis hingga masyarakat pedalaman banyak yang menanggalkan keyakinannya atau keluar dari agama yang diyakininya.

“Ironis bin miris” melihat kondisi  Indonesia yang termasuk umat muslim terbesar di dunia namun pada faktanya muslim Indonesia bebas untuk tidak sepenuhnya meyakini Islam bahkan keluar dari Islam. Hal ini merupakan buah dari penerapan sistem  demokrasi  yang menjadikan liberalisasi agama sebagai kebebasan yang dilegalkan di Indonesia. Wajar jika banyak aliran-aliran tidak jelas yang berkeliaran di bumi pertiwi ini.

Jika Indonesia terus menerus menjadikan kebebasan beragama sebagai landasan masyarakat dalam beragama maka sampai kapanpun kasus penistaan terhadap agama maupun mempermainkan agama akan terus terjadi.

Dalam Islam, mempermainkan agama termasuk perbuatan yang dibenci Allah seperti dalam firman-Nya :

“Dan tinggalkanlah orang-orang yang menjadikan agamamereka sebagai main-main dan senda gurau, dan mereka telah ditipu oleh kehidupan dunia. Peringatkanlah (mereka) dengan Al-Quran itu agar masing-masing diri tidak dijerumuskan ke dalam neraka, karena perbuatannya sendiri. Tidak akan ada baginya pelindung dan tidak pula pemberi syafa'atselain daripada Allah. Dan jika ia menebus dengan segala macam tebusanpun, niscaya tidak akan diterima itu daripadanya. Mereka itulah orang-orang yang dijerumuskan ke dalam neraka. Bagi mereka (disediakan) minuman dari air yang sedang mendidih dan azab yang pedih disebabkan kekafiran mereka dahulu.” (TQS. Al – An’am : 70)

Jika di Indonesia hanya mengakui 6 agama maka seharusnya agama-agama selain 6 agama itu tidak dibiarkan saja. Agama yang diridhai di sisi Allah hanyalah agama Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam. Hal ini berarti bahwa agama – agama selain Islam tidak dietrima, namun bukan berarti Islam menolak keberagaman agama karena keberagaman adalah sunnatullah yang telah ditetapkan Allah SWT.

“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam.” (TQS. Ali Imran : 19)

“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (TQS. Ali Imran : 85).

Liberaslisasi agama telah mampu menjadikan konflik yang terus menerus terjadi, perpecahan antar umat kian menjadi - jadi dan keyakinan yang mudah untuk dipermainkan. Semua hal ini berkaitan dengan aqidah umat muslim, aqidah yang menajadi landasan kehidupannya dalam beraktivitas. Ketika aqidah ini diganti dengan yang lain atas nama liberalisasi agama maka wajar aturan yang memancar dari aqidah itu tidak sesuai dengan aturan buatan sang pencipta.

Sekulerisme atau pemisahan aturan agama dalam kehidupan menjadikan umat semakin tidak jelas dalam beraktivitas termasuk dalam menjalankan syariat Islam. Hal ini tidak akan terjadi manakala Islam dijadikan aturan kehidupan.

Tidak ada penistaan agama, tidak ada orang yang keluar dari agama Islam (murtad) karena ada sanksi tegas yang diterapkan, bahkan orang non muslim pun tetap menjalankan kayakinanya tanpa diganggu. Sungguh indah aturan Islam dan keindahan aturan ini hanya akan dilihat manakala institusi khilafah telah tegak dibumi ini. Wallahu a’lam bisshowab. [syahid/voa-islam.com]

Oleh: Nurhayati (Mahasiswi Prodi Pendidikan Agama Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarata)


latestnews

View Full Version